Bagian 1

500 Kata
Agra Dewantara, seorang pengusaha permata di tempat tinggalnya umurnya baru 29 tahun dan sudah menikah dengan salah satu model tanah air. Sayangnya, sang istri tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai seorang wanita yang sudah bersuami. Lenia masih saja suka menghabiskan waktu di luar bersama teman-temannya, ke bar dan klub malam. Namun, bukan hanya Agra lemah lembut dan mencintai Lenia apa adanya, ia juga terlalu lelah meminta istrinya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Agra sudah tidak lagi berharap apa-apa ke istrinya. Karenanya, Agra membiarkannya pergi ke mana pun. Cuaca di Martapura begitu panas. Agra menyipitkan matanya sambil melihat ke luar dari pintu masuk perusahaannya. Waktu menunjukan pukul 12 siang. Agra akan bertemu dengan salah satu calon investor untuk menanamkan saham di perusahannya dan juga calon pembeli batu intan atau permata. “Pak, semua sudah dipersiapkan. Bapak bisa menemui calon investor Di restoran Apung sekarang.” ucap sekretarisnya, seorang pria berkacamata, sambil membawa beberapa map dan proposal. “Apa kamu sudah membawa apa yang aku minta? Jangan sampai lupa, Jio, karena nanti dia akan membeli permata kita,” kata Agra yang berdiri membelakangi sekretarisnya. Jio membenarkan kacamatanya sambil mengangguk walaupun tidak dapat dilihat oleh Agra. “Sudah, Pak,” Agra sedikit berbalik. “Well, where is Joy?” Joy adalah pengawal pribadi Agra. Seorang wanita yang kekuatan dan ilmu bela dirinya setara dengan ahlinya. “I'm here, Captain.” Joy berlari kecil ke arah bosnya dan membawa tiga chocolate ice.  ”Ini untuk Tuan.” Ia memberikan salah satunya ke Agra yang diterimanya dengan senang hati. “And this is for you, Jio.” “Thank you, Joy,” kata Jio sambil tertawa senang. Agra bersyukur bisa mempunyai sekretaris dan pengawal yang asyik dan humble. Agra bukan tipe bos yang dingin dan kejam terhadap bawahannya dan justru sebaliknya. “Mari, Pak, kita berangkat sekarang.”  “Baiklah.” Agra Corporate adalah perusahaan yang Agra pimpin berupa sebuah gedung yang menjulang cukup tinggi berwarna hitam. *** Seorang gadis berusia 19 tahun tengah terengah-engah di sebuah lapangan kampung. Ia menyeka keringatnya yang berada di kening. kaos bola yang ia kenakan basah oleh keringat. Rahma sedang bermain bola bersama tim dan lawan mainnya. Ia kalah di babak pertama. “Ma, kamu gimana, sih, kita kalah, nih.” seru Yuan, teman Rahma dalam satu tim “Hah, maaf, aku kehabisan tenaga. Laper, pengin makan,” kata Rahma sambil mengelus perutnya “Cewek gak bakalan menang lawan cowok. Haha.” sahut Dior, kepala tim lawan Rahma. “Diem kamu!” bentak Rahma. Ia melenggang pergi ke salah satu kantin. “Bude, es jeruknya satu yang serebuan aja sama bakwan empat, ya.” seru Rahma yang langsung duduk di kursi panjang. Ia mengibas-ngibaskan pakaiannya karena panas. “Nih, Rah,” ujar bude sambil memberikan es di plastik dan sepiring gorengan. “Gak main lagi, Rah?” Bude beranjak membenahi jualannya. “Istirahat, Bude.” Rahma menyeruput esnya. Rahma Arleta Mahani gadis yang tinggal di pinggir masjid. Orangtuanya meninggal dunia.dan Rahma tidak memiliki saudara. Ia hanya dibantu warga setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya waktu masih kecil hingga saat ini. Sebenarnya, Rahma memiliki tante dari ayahnya. Hanya saja, tantenya galak. Rahma menandaskan gorengan dan seplastik es, lalu membayarnya. “Lima ribu, ya, Bude?” Ia merogoh saku celana pendeknya mengeluarkan uang lima ribu dan memberikannya ke bude. “Makasih, Bude.” Rahma beranjak dari kantin, lalu ia berlari menghampiri teman-temannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN