Butuh Penjelasan

1126 Kata
Orang yang ditatap berdiri salah tingkah ketika menyadari semua pasang mata terpusat padanya. "Mau difotoin, gak?" cetusnya seraya cengengesan dan mendapatkan tatapan aneh dari semua orang yang ada di sana. "Ih, apaan sih, gak jelas, lo!" Deina berujar kesal sembari menghentakkan kakinya ke lantai. "Kamu kenapa, sih? tiba-tiba gitu, bikin malu aja!" Alinda menyikut perut Devino dan melempar pandangan tak enak pada semuanya. "Ya, elah, gue, 'kan, cuma mau nawarin biar gue fotoin gitu acara romantis-romantisannya. Itu juga kalau mau, kalau nggak, ya, udah." Orang yang tadi sempat menjadi pusat perhatian ternyata Devino, dia berinisiatif menawarkan diri untuk mengabadikan moment spesial bagi musuhnya tersebut. Bisa diketahui jika seorang Devino Azastrian memang se–absurd itu. "Rese, lo! Gak penting banget deh ganggu aja bisanya," ujar Deina jengkel. "Eh, niat gue kan baik, gue ma—" "Gak, perlu!" Sebelum Devino menyelesaikan ucapannya, Deina sudah menyela lebih dulu. "Udah-udah, kok malah jadi pada ribut gini, gak malu apa udah gede tingkahnya masih kayak bocah," ucap seorang wanita paruh baya menengahi keduanya. "Tau, tuh. Gak di mana, gak di mana kalau udah ketemu kerjaannya ribut mulu, gak tau tempat," cetus pria paruh baya yang ikut menimpali ucapan istrinya. Mereka adalah kedua orangtua Deina, ayahnya bernama Thomas Darendra Heroine dan ibunya bernama Kalina Adeline. Deina mendengus kesal, "Dia duluan yang suka nyari gara-gara." "Apaan, kok gue? Lo-nya aja kali yang bawaannya sensi mulu." Devino yang tidak mau kalah masih saja menimpali ucapan Deina. Semua orang yang sudah mengenal dekat keduanya juga sering merasa heran, bagaimana bisa kedua manusia berbeda jenis kelamin itu selalu saja bertengkar, sedangkan keduanya selalu dipertemukan di tempat yang sama, bahkan nyaris setiap hari mereka pasti akan bertemu. Ya, walaupun tanpa disengaja. Bukan 'kah, akan lebih baik jika mereka berdua itu akur? Karena dilihat dari segi manapun mereka berdua akan terlihat cocok jika disandingkan, mereka seperti dua anak remaja yang sedang bertengkar ketika salah satunya ketahuan selingkuh. Tak sedikit pula orang yang melihatnya pasti akan menjodoh-jodohkan mereka berdua, karena mereka terlihat cocok dan menggemaskan walau sering bertengkar. Sayangnya hal itu tidak akan pernah terjadi, karena keduanya telah memiliki pasangannya masing-masing. "Sudah-sudah, buang dulu ego kalian masing-masing sampai acaranya selesai, Papa jadi malu sendiri liat tingkah kalian." Thomas mengatakannya dengan tegas membuat Deina yang akan berbicara kembali terdiam dengan menekuk wajahnya. "Udah, sabar, jangan marah-marah mulu kasian dede bayinya tertekan kalau dengerin bundanya ngomel mulu," bisik Diego sembari mengelus perut istrinya. Padahal, sebenarnya Deina itu sosok yang kalem dan lemah lembut, tetapi entah mengapa jika sudah berhadapan langsung dengan Devino dia menjadi cerewet dan bar-bar, ditambah lagi dengan kondisinya yang saat ini sedang mengandung, membuat emosinya mudah tersulut walaupun hanya karena hal sepele. Deina mencoba untuk menstabilkan emosinya, dia tersenyum manis sembari menatap semua tamu undangan yang menyaksikan keributan yang terjadi. Setelahnya dia minta maaf dengan perasaan tidak enak, kemudian kembali melanjutkan acaranya sampai selesai. *** Ketika acaranya sudah selesai semua tamu undangan pun berpamitan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Kini tinggal Deina, Diego, Devino, dan Alinda yang masih berada disana. Sebelum kedua orangtua Deina pulang, mereka telah menceramahi mereka terlebih dahulu, mereka meminta agar Deina dan Devino bisa berdamai dan tidak ribut terus-menerus. Padahal, keluarga mereka semuanya berteman dengan baik, bahkan Deina dan Devino pun dulunya sangat dekat bagaikan sepasang sepatu yang kemana-mana selalu bersama, tetapi ketika mereka memasuki SMP keduanya tiba-tiba menjadi sering bertengkar layaknya Tom and Jerry. Bahkan, sampai saat ini tidak ada yang tahu apa penyebab dari permusuhan di antara keduanya, seperti saat ini ketika Alinda kembali bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada mereka di masa lalu, keduanya kembali bungkam dan tidak ada yang mau menjelaskan. "Gue capek deh, ngeliat kalian gini terus. Please, dong. Jangan kekanak-kanakan kalau ada masalah serius bicarain selesaikan semuanya baik-baik. Kalian berdua itu orang yang paling gue sayang, gue sedih tau kalau kalian ribut terus." Alinda merasa lelah dengan semuanya, sudah belasan tahun dia harus berada di posisi ini. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh sahabat dan suaminya selama ini, setiap kali dirinya menanyakan hal yang sama dia juga selalu menerima kekecewaan karena tidak pernah mendapatkan jawaban. Diego pun merasakan hal yang sama, walaupun dia mengenal ke–tiga orang itu saat SMA, tetapi dia juga sudah terlalu lama harus menghadapi semuanya. Dia lelah, terkadang dibuat stres sendiri melihat istrinya yang selalu bertengkar tidak tahu tempat. Coba kalau sudah jelas mengetahui apa penyebabnya dan pertengkaran yang terjadi itu masuk akal mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Sedangkan, ini apa? istrinya itu selalu saja mempermasalahkan hal sepele jika tentang Devino, di manapun dan kapanpun, apa-apa ribut. Dia juga malu karena tadi ada rekan bisnisnya yang ikut menyaksikan keributan tersebut. "Maaf," ucap Deina dan Devino secara bersamaan. Mereka berdua duduk di kursi bersisian dengan kepala menunduk, sedangkan Alinda dan Diego berdiri di hadapan keduanya. Sudah seperti seorang anak yang sedang diinterogasi oleh kedua orangtuanya, ketika ditanyai 'kenapa nilai kalian semakin menurun! Apakah kalian tidak belajar dengan baik sehingga mendapatkan nilai yang buruk seperti ini?' Ya, kurang lebih seperti itulah. "Kita gak butuh kata maaf, yang kita butuh itu penjelasan," ujap Diego dingin. Deina dan Devino saling melempar pandang seolah berbicara dengan sorot matanya, antara harus menjelaskannya atau tidak. Jika mereka tidak menjelaskan, masalahnya tidak akan pernah selesai, tetapi jika mereka menjelaskannya mereka berdua merasa malu jika harus jujur. Mereka benar-benar terlihat bingung saat ini, keduanya memutuskan pandangan dan kembali menunduk, berperang dengan pikirannya masing-masing. "Ini seriusan masih gak ada yang mau jawab?" ucap Alinda terdengar frustasi. "Kalau kalian masih diem aja kayak gini ...." Diego menggantungkan kalimatnya, "kita pulang duluan aja, Lin. Biarin mereka selesaikan masalahnya sendiri," lanjutnya. Mendengar itu Deina dengan cepat mendongak dan memandangi wajah kedua orang yang berdiri di hadapannya itu. "Ih, masa, Mas. Mau ninggalin aku sama dia?" tanyanya sembari menunjuk Devino tidak suka. "Ya, udah, makanya jelasin sekarang," ucap Diego sembari mengembuskan napas lelah. "Iya, ini udah malem tau. Gue cape mau tidur, lagian besok gue masih harus kerja," timpal Alin. "Udah, ya, gak usah dibahas, lagian seriusan gak penting kok. Ini cuma masalah kecil aja." "Terus kalau gak penting, ngapain selama ini kalian repot-repot ribut setiap ketemu." Diego menggeleng tidak habis pikir ketika istrinya mengatakan jika itu semua tidak penting. "Ya, maksudnya it—" "Biar gue aja yang jelasin," kata Devino memotong ucapan Deina. Deina menoleh terkejut ke arahnya. Deina membulatkan kedua matanya seolah berkata 'lo, gila? Mau bilang semuanya, yakin gak bakal malu?' Pasalnya, masalah mereka di masa lalu itu terbilang sepele. Namun, karena keduanya telanjur mengibarkan bendera peperangan akhirnya permusuhan itu berlanjut sampai saat ini. Lebih tepatnya, mereka terlalu gengsi untuk berdamai dan mengucapkan kata maaf, Devino terlihat biasa saja dan tidak mempedulikan tatapan tajam dari Deina. "Jadi?" tanya Alinda dan Diego secara bersamaan. "Jadi ... dulu kita itu ...." Devino melirik Deina sekilas hanya untuk memastikan ekspresi cemas wanita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN