Malam itu, rumah kecil di pinggiran kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Taran, seorang perempuan berusia tiga puluh tahun dengan perawakan mungil yang sering kali menyembunyikan kekuatan batinnya, rambut hitam sepinggang yang selalu tertata rapi, serta mata sendu yang memancarkan ketenangan namun juga kesedihan mendalam, duduk di sudut ruang tamu. Tangannya memegang secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Jam dinding berdetak pelan menandakan pukul sembilan malam, waktu ketika Faten biasanya pulang dari rumah sakit. Namun malam ini, seperti banyak malam sebelumnya, pintu depan tetap tertutup rapat. Taran menatap layar ponselnya, berharap ada pesan dari suaminya, tetapi yang muncul hanyalah notifikasi kosong.
Sudah lima tahun sejak mereka menikah. Faten, seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun dengan tubuh tegap dan tinggi semampai yang memancarkan karisma profesional, kulit sawo matang yang tampak lelah karena jam kerja panjang, serta kumis tipis yang selalu rapi menambah kesan serius di wajahnya, adalah dokter anestesi yang andal. Ia selalu menjadi pusat perhatian di rumah sakit. Pasien memujinya, rekan kerjanya mengandalkannya. Tetapi di rumah ini, ia seperti bayangan yang datang dan pergi, meninggalkan Taran sendirian dengan keheningan yang menusuk.
Taran bukan tipe yang suka mengeluh. Ia pendiam, selalu menyimpan segala sesuatu di dalam hati, seperti batu karang yang tak tergoyahkan ombak. Namun malam-malam seperti ini membuat retakan kecil mulai terbentuk di hatinya.
Pintu akhirnya terbuka dengan suara berderit pelan. Faten masuk, tas kerjanya tergantung lemas di bahu dan wajahnya pucat karena kelelahan.
"Aku pulang," gumamnya singkat tanpa menoleh.
Taran bangkit, ingin menyambut dengan pelukan hangat, tetapi ia ragu. Faten langsung menuju kamar mandi, meninggalkan aroma antiseptik rumah sakit yang menusuk hidung. Saat ia keluar, ekspresinya sudah berubah dingin, seperti dinding es yang tak bisa disentuh.
"Hari ini operasi panjang. Jangan ganggu aku sekarang," katanya tajam sambil melempar jaketnya ke sofa.
Taran mengangguk pelan. Kata-kata tersekat di tenggorokannya. Ia ingin mengatakan bahwa ia merindukannya, bahwa hari-harinya terasa hampa tanpa perhatian kecil dari suaminya. Namun ia diam saja, seperti biasa.
Malam itu, mereka tidur membelakangi satu sama lain. Jarak di antara mereka terasa lebih lebar dari lautan.
Keesokan harinya, rumah menjadi lebih ramai. Ibu Faten, Siti, wanita berusia lima puluh delapan tahun dengan rambut pendek beruban yang selalu diikat rapi serta tubuh agak gemuk yang membuatnya terlihat hangat namun tegas, datang berkunjung bersama Rina. Rina adalah adik perempuan Faten berusia tiga puluh dua tahun dengan tubuh ramping, kulit sawo matang, dan rambut panjang bergelombang yang sering dibiarkan terurai. Ia datang dengan senyum lebar.
Mereka datang seperti jadwal mingguan, membawa makanan rumahan yang seolah menunjukkan kepedulian. Namun saat Faten masih di rumah sakit, suasana berubah. Siti dan Rina duduk di sofa, mata mereka penuh rasa ingin tahu yang menyakitkan, lalu sindiran mulai mengalir seperti air yang tak bisa dibendung.
Siti menyesap tehnya pelan, matanya menatap Taran dengan tatapan seolah penuh kasihan.
"Taran, kamu sudah lihat Aris kemarin? Teman kuliahmu itu sudah punya dua anak sekarang. Anak pertamanya sudah masuk TK, yang kecil lagi lucu-lucunya. Kalian berdua kapan? Sudah lima tahun menikah, tapi rumah ini masih sepi seperti kuburan.
"Padahal Faten dokter hebat. Prestasinya luar biasa. Kami bangga punya putra seperti itu. Seharusnya dia menikah dengan sesama dokter, yang selevel, yang paham dunia kedokteran. Ini kok malah menikah sama lulusan SMA seperti kamu? Kalau dari awal pasangannya dokter, mungkin sudah punya anak banyak sekarang. Rumah ramai, cucu-cucu kami main di sini."
Rina ikut tertawa ringan, nadanya lebih menusuk.
"Iya, Kak Taran. Faten kan dokter anestesi. Sibuk, tapi pintar banget. Kami bangga sekali punya dia. Tapi ya, seharusnya dia pilih yang setara. Dokter juga, biar bisa saling dukung karier dan urusan anak.
"Kamu kan cuma lulusan SMA. Apa bisa bantu Faten yang segitu hebatnya? Atau kamu memang sengaja menunda? Kami sudah nunggu cucu, loh. Lihat Aris saja. Istrinya dokter juga. Sudah dua anak. Harmonis banget. Kalau kamu lebih ambisius sedikit, Faten tidak akan segalak itu di rumah."
Taran menunduk, tangannya meremas ujung baju. Ia tahu ini bukan pertama kalinya. Saat Faten ada, Siti dan Rina pura-pura harmonis. Mereka bertukar senyum, berbicara ringan tentang pekerjaan Faten yang mereka banggakan. Tetapi begitu Faten pergi, sindiran itu muncul seperti duri, menusuk pelan tetapi dalam.
Mereka selalu membandingkannya dengan Aris. Teman lamanya yang hidupnya tampak sempurna. Istri penyayang, anak-anak ceria, rumah penuh tawa. Lebih parah lagi, kebanggaan mereka atas Faten justru menjadi s*****a untuk merendahkan Taran. Seolah pernikahannya adalah kesalahan. Seolah latar belakang pendidikannya yang sederhana membuat segalanya gagal. Termasuk urusan anak.
Taran ingin membela diri, ingin berkata bahwa ia dan Faten sedang berusaha, bahwa tekanan ini justru membuat semuanya lebih sulit. Namun mulutnya terkunci.
"Nanti kami kabari, Bu," ucapnya dengan senyum kaku yang menutupi luka di hatinya.
Saat Siti dan Rina pulang, Taran duduk sendirian lagi. Hatinya berat, penuh campuran rasa bersalah dan ketidakberdayaan.
---
Malam itu, rumah terasa lebih pengap dari biasanya. Taran duduk di tepi ranjang, tangannya gelisah memilin ujung selimut. Sudah hampir pukul sepuluh malam ketika Faten pulang. Pintu kamar tidur terbuka pelan. Faten masuk dengan langkah lelah dan melempar tas kerjanya ke kursi. Tubuh tegapnya yang biasanya memancarkan kepercayaan diri kini tampak membungkuk. Kumis tipisnya sedikit acak-acakan. Ia melepas kemeja kerjanya tanpa sepatah kata lalu berbaring di sisi ranjang yang jauh dari Taran.
Taran menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Sindiran Siti dan Rina masih bergema di kepalanya seperti racun yang meresap pelan. Ia ingin berbicara, ingin membagi beban yang selama ini ia pendam sendirian.
"Faten..." panggilnya pelan.
Faten membuka mata. Tatapannya dingin.
"Apa?"
"Aku... aku ingin bicara soal anak." Suaranya gemetar. "Ibu dan Rina tadi datang lagi. Mereka bilang kita sudah lima tahun menikah, tapi rumah ini masih sepi. Mereka bilang seharusnya kamu menikah sama yang selevel. Aku cuma lulusan SMA. Katanya itu alasan kita belum punya anak. Aku capek, Faten. Aku merasa... rendah."
Faten menghela napas panjang. Ia menatap langit-langit.
"Jangan terlalu mikirin ucapan ibu dan adikku. Mereka suka ngomong seenaknya. Kita lagi sibuk. Itu saja. Nanti ada waktunya."
Jawabannya datar. Seadanya. Tanpa empati. Ia bahkan tidak menoleh.
Dada Taran terasa makin sesak. Ia mencoba lagi.
"Tapi Faten... ini bukan cuma omongan mereka. Aku juga mikir... kenapa kita belum punya anak? Kamu sibuk terus. Aku sendirian di rumah. Dan setiap kali mereka datang, aku merasa... gagal. Seperti aku tidak pantas buat kamu."
Air mata menggenang. Napasnya mulai pendek dan cepat.
"Aku... aku takut... kita tidak akan pernah..."
Tiba-tiba napasnya terhenti pendek. Dadaa terasa seperti dipeluk tangan tak terlihat. Tangannya mencengkeram leher.
"Faten... susah... napas..."
Faten segera bangun. Insting dokternya langsung bekerja.
"Tenang, Tar. Duduk tegak." Suaranya tegas tetapi lembut. Ia membantunya duduk, memastikan punggung lurus. "Tarik napas pelan lewat hidung, hembuskan lewat mulut. Pelan... ikut ritmaku."
Ia mendemonstrasikan teknik pernapasan bibir mengerucut.
"Seperti meniup lilin yang jauh. Pelan... begitu."
Faten memegang tangan Taran, menjaga stabilitasnya.
"Lepas kancing bajumu yang ketat, biar Dadaa bebas." Ia membantu membuka kancing atas baju Taran, kemudian membuka jendela agar udara lebih segar.
Napas Taran perlahan melambat. Masih tersengal, tetapi lebih teratur. Faten memeriksa denyut nadinya untuk memastikan tidak ada tanda bahaya.
"Kalau tidak membaik dalam lima menit, kita ke rumah sakit. Tapi ini kayaknya karena stres. Fokus ke napasku, Tar. Ikuti saja."