2

962 Kata
Pagi itu, setelah kejadian sesak napas yang menimpa Taran, Faten terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih terasa berat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Sebuah rasa bersalah yang jarang ia rasakan muncul dan menggumpal di dadaa. Ia teringat jelas wajah istrinya yang pucat, napas tersengal, dan air mata yang jatuh tanpa henti. Sebagai dokter, ia tahu itu bukan sekadar kelelahan. Sambil menyiapkan kopi di dapur kecil rumah mereka, Faten mengambil ponselnya dan menghubungi ibunya. “Bu, ini Faten. Aku mau bicara serius,” ucapnya tegas. Suaranya dingin seperti ketika ia berada di ruang operasi. Siti yang sedang sarapan di rumahnya terkejut mendengar nada anak sulungnya. Namun, Faten tidak bertele-tele. “Ibu dan Rina harus berhenti membahas soal anak. Itu urusan kami berdua. Jangan ikut campur rumah tangga lagi. Taran sudah cukup menderita karena omongan kalian. Kalau terus begini, aku yang akan membatasi kunjungan.” Siti terdiam sejenak, tersinggung sekaligus malu. “Faten... kami cuma peduli. Tapi ya sudah, Ibu salah.” “Peduli jangan dengan cara menyakiti,” balas Faten tanpa melunak. Tidak lama kemudian, telepon direbut oleh Rina. Adiknya yang biasanya cerewet kini terdengar defensif. “Kak, kenapa sih I Kami bangga sama Kakak. Tapi Taran itu cuma lulusan SMA. Kami cuma bilang yang sebenarnya.” Faten menghela napas panjang. “Justru itu masalahnya. Kalian merendahkan dia, dan itu menyakiti kami berdua. Berhenti, atau jangan datang lagi.” Suara Rina sempat meninggi, tetapi akhirnya ia berkata pelan, “Baiklah, Kak.” Mereka berdua menerima teguran itu meski hati mereka masih terbakar amarah. Faten berangkat ke rumah sakit dengan perasaan sedikit lega, meninggalkan Taran yang masih tertidur pulas. Taran bangun beberapa jam kemudian tanpa mengetahui apa yang dibicarakan Faten dengan ibu dan adiknya. Kepalanya terasa lebih ringan daripada malam sebelumnya, tetapi kekhawatiran yang sama tetap mengintip dari balik pikirannya. Rumah kecil mereka yang dibangun lima tahun lalu mengikuti impian Taran selalu terasa seperti surga kecil. Meski tidak mewah, hampir semua furniturnya adalah buatan tangannya sendiri. Dari rak buku kayu sederhana hingga meja makan yang hangat. Tempat-tempat itu menjadi ruang aman baginya, tempat ia melarikan diri ke dunia imajinasinya. Kamar tidur utama berada di belakang ruang tamu, dilengkapi tempat tidur ukuran queen, lemari built-in, dan jendela ventilasi yang membuat udara selalu segar. Di sampingnya terdapat kamar mandi sederhana dengan shower air hangat, seluruhnya dirancang untuk memberi kenyamanan. Taman belakang dengan tanaman favoritnya adalah oasis pribadi yang selalu menenangkan. Namun, pagi itu rumah yang biasanya teduh justru terasa tegang, seakan memprediksi badai yang akan datang. Saat Taran sedang menyiram tanaman melalui pintu geser dapur, bel rumah berbunyi. Ia membuka pintu depan dengan senyum kecil, mengira itu tetangga. Namun, yang berdiri di sana adalah Siti dan Rina. Wajah keduanya tegang, mata mereka menyala dengan kemarahan. “Kami mau bicara, Taran,” kata Siti tanpa basa-basi. Ia masuk ke ruang tamu tanpa menunggu dipersilakan. Rina mengikuti di belakang dan menutup pintu. Taran menelan ludah, langkahnya mundur setengah langkah. “Bu, Rin... Faten baru saja berangkat.” Siti duduk di sofa dengan tangan mengepal. “Justru itu. Faten berani tegur kami gara-gara kamu, ya I Kami tersinggung, Taran. Kami cuma peduli sama cucu, sama masa depan Faten. Kamu yang bikin dia marah dengan cerita-cerita lemahmu.” Rina menyilangkan tangan, berdiri di dekat rak buku. “Iya. Faten itu dokter hebat, kami bangga. Tapi kamu I Lulusan SMA, duduk di rumah sambil nulis cerita fantasi. Seharusnya dia menikah sama yang selevel, bukan kamu yang bikin hidupnya susah.” Taran merasa dunia berputar. Ia tidak menyangka ucapan yang ia sampaikan semalam dalam tangis dan ketakutan akan menjadi bahan amarah seperti ini. “Maaf, Bu... maaf, Rin. Aku tidak bermaksud bikin Faten marah. Aku cuma cerita apa yang kalian bilang. Aku tidak mau ribut. Tolong, maafkan aku,” ucapnya pelan. Suaranya patah, tangannya gemetar ketika ia mundur ke arah dapur. Namun, Siti berdiri dengan wajah merah padam. “Maaf I Kamu selalu maaf-maafan, tapi itu tidak cukup. Kamu yang merusak hubungan ibu dan anak.” Pertengkaran memanas. Suara mereka meninggi, memenuhi ruang tamu yang tadinya hangat. Rina menambahkan sindiran-sindiran pedas tentang istri tidak berguna. “Tapi Bu...” Taran berusaha menjelaskan, tetapi ucapannya terputus oleh gerakan cepat Siti. Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema di ruang kecil seperti petir. Rasa panas menjalar cepat di kulit pipinya seperti dibakar besi panas. Wajahnya berdenyut, mengirimkan sakit hingga ke rahang. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Itu bukan sekadar rasa sakit fisik. Itu penghinaan. Patah hati. Retakan terakhir yang membuat seluruh dunianya runtuh. Siti terpaku, tangannya masih terangkat, matanya campuran penyesalan dan kemarahan. Rina terdiam, tidak menduga ibunya akan sejauh itu. Taran memegang pipinya, tubuhnya gemetar. Ia mundur ke dapur dan bersandar pada meja, mencoba bernapas meski dadaanya sakit. Bekas merah di pipinya semakin jelas, berdenyut mengikuti ritme jantungnya yang tidak karuan. Siti dan Rina berdiri di ambang pintu geser dapur, saling pandang dengan wajah bingung dan emosi yang kacau. Namun, tiba-tiba dadaa Taran seperti diremas dari dalam. Napasnya kembali pendek-pendek, seperti tidak ada udara yang cukup masuk. Tenggorokannya terasa menyempit, kepala berputar, dan bintik hitam mulai menari di penglihatannya. “Bu... Rin... tolong...” gumamnya lemah. Langkahnya goyah. Lututnya kehilangan tenaga. Tubuhnya terjatuh ke lantai dapur. Siti memucat, tetapi detik berikutnya ia menegakkan diri, menepis rasa panik. “Rina... dia cuma pura-pura. Dia mau bikin kita kelihatan salah di depan Faten,” bisiknya cepat. Rina mengangguk meski ragu. “Iya, Bu. Pasti akting.” Tanpa menoleh lagi, Siti menarik tangan Rina dan menyeretnya keluar. Pintu depan tertutup rapat dengan bunyi klik yang dingin. Keheningan jatuh seperti selimut berat. Taran terbaring tidak sadar di lantai dapur yang dingin. Tubuhnya meringkuk, napasnya tipis dan tidak teratur. Rumah yang dahulu menjadi tempat teraman baginya kini menjadi saksi luka yang tidak terlihat. Luka yang jauh lebih dalam daripada tamparan itu sendiri. ​
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN