3

913 Kata
Faten membeku di ambang pintu kamar. Napasnya seolah terhenti ketika matanya menangkap sosok Taran yang tergeletak di lantai kayu yang dingin. Cahaya lampu redup dari sudut ruangan menyapu wajah Taran yang pucat. Bibirnya sedikit membiru. Di pelipisnya, genangan kecil darah merembes dan perlahan mengalir ke celah-celah kayu. Bau metalik samar bercampur dengan aroma kayu tua memenuhi kamar, membuat perut Faten mual. "Taran!" serunya. Suara yang keluar terdengar seperti isakan yang tertahan. Sekilas matanya menyapu seluruh ruangan. Jendela terbuka lebar, tirainya berkibar diterpa angin malam. Di dekat kepala Taran, vas bunga kaca pecah berserakan. Pecahannya berkilau di bawah cahaya lampu. Jantung Faten seperti berhenti sejenak. "Taran... bangun... tolong..." bisiknya parau. Ia mengguncang bahu Taran pelan, namun tak ada respons. Darah di lantai terus mengalir, dan malam itu juga Faten membawa Taran ke rumah sakit. Taran sadar saat hari hampir beranjak siang. Kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka. Faten, yang sejak tadi duduk di samping ranjang dengan mata sembab, langsung bangkit berdiri. "Taran? Sayang? Kamu sudah bangun?" suaranya bergetar. Taran mengerjap, memandangi langit-langit putih ruangan rumah sakit yang steril. Tatapannya kemudian beralih ke Faten, namun di mata itu hanya ada kebingungan total. "Ini... di mana?" suaranya terdengar berbeda, sedikit lebih tinggi dan serak. "Kita di rumah sakit. Kamu jatuh, kepalamu terbentur," ujar Faten lembut, mengusap kening Taran dengan gemetar. Namun Taran langsung menepis tangan itu. "Jangan sentuh-sentuh!" bentaknya. Ia mencoba duduk, wajahnya meringis menahan sakit. "Jatuh? Aduh... kepala gue sakit banget." Tatapannya kemudian menatap Faten lekat-lekat, penuh curiga. "Kok lo tahu nama gue? Lo siapa? Dokter?" Jantung Faten seperti diremas. "Apa? Taran, ini aku. Faten." "Taran" mengulang nama itu, seperti memutar kata asing di lidahnya. "Faten? Nggak kenal." Ia menunduk, memperhatikan tangannya sendiri. Matanya langsung membelalak. "I-ini tangan siapa? Kok putih? Kayak tangan putri manhwa!" Napasnya semakin cepat. Tangannya gemetar saat menyentuh wajahnya, meraba pipi dan dagu. "Hah? Jerawat gue... jerawat gue mana? Kemarin breakout parah di jidat! Kok ini... mulus?!" Tangannya bergerak ke rambutnya. Saat jari-jarinya tenggelam dalam helaian hitam panjang itu, dia menjerit. "Rambut gue! Kenapa panjang banget? Kemarin 'kan baru potong sebahu gara-gara kena razia guru BP! Ini... kok terawat banget? Padahal muka gue biasanya kusam!" Selimut rumah sakit sedikit merosot. Taran melirik ke bawah, ke gaun tidur satin yang ia kenakan. Dia membeku. Matanya melebar oleh ngeri. "Ini... ini badan siapa? Kenapa mulus putih kek bihun?!" Faten menelan ludah, tubuhnya merinding. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati. "Taran, tenang dulu. Kamu kenal aku. Aku Faten. Suami kamu." Ruangan mendadak sunyi. Taran menatap Faten lurus-lurus, memproses kata "suami". Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena kemarahan dan jijik. "Suami? Suami-suami pala lo! Ngaco lo, Om!" "Taran, kita sudah menikah lima tahun..." Faten mencoba meraih tangannya lagi. "Bohong!" Taran menarik tangannya cepat. "Gue aja baru masuk SMP! Masih kelas satu!" Dengan refleks seorang remaja yang ketakutan, ia mengangkat tangan kanan dan mengacungkan jari tengah tepat di depan wajah Faten. "Gue masih suci! Belum pernah di sentuh cowok!" Perawat yang baru masuk untuk mengecek infus langsung membeku di ambang pintu. Dokter jaga di belakangnya terpaku, rahangnya hampir jatuh saking terkejutnya. Ruangan tenggelam dalam keheningan mencekam, hanya menyisakan napas Taran yang memburu. Bagi Faten, dunia runtuh untuk kesekian kalinya. Harapan yang sempat tumbuh layu seketika, digantikan oleh kepedihan yang menyesakkan. Keesokan paginya, di Ruang Konsultasi. Faten duduk berhadapan dengan Dokter Arini, psikiater spesialis trauma. Lingkar hitam di bawah matanya menjadi bukti malam tanpa tidur. Kemejanya kusut, rambutnya acak, seakan mencerminkan kekacauan batinnya. "Dokter Faten," sapa Dokter Arini tenang, berusaha menembus kabut kepanikan yang menyelimuti pria di hadapannya. "Saya sudah melakukan observasi awal." "Dia Taran, Dok. Istri saya," ucap Faten dengan suara serak. "Tapi... dia pikir dia tiga belas tahun. Baru masuk SMP. Dia panik lihat rambutnya panjang, kulitnya bersih... dia histeris lihat tubuhnya. Lalu dia... dia mengacungkan jari tengah ke saya." Nada suaranya pecah di ujung kalimat. Dokter Arini mengangguk pelan. "Saya tahu ini sulit diterima. Apalagi karena Anda seorang dokter. Anda terbiasa mencari kerusakan fisik, patologi yang tampak di layar." "Hasil CT scan-nya bersih. Selain gegar otak ringan dan luka jahitan, otaknya baik-baik saja," tutur Faten, suaranya hampa. "Itu justru menguatkan diagnosis saya," jawab Dokter Arini. "Apa yang dialami istri Anda sangat sesuai dengan Amnesia Disosiatif dengan episode Regresi Usia." Faten memejamkan mata, menelan kenyataan pahit itu. "Disosiasi... karena trauma," gumamnya. "Betul," ujar Dokter Arini, mencondongkan tubuh ke depan. "Bayangkan otak Taran seperti komputer canggih. Semalam, ia mengalami benturan yang memicu sesuatu. Tapi itu bukan hanya benturan fisik." "Maksud Anda... kejadian di kamar itu?" tanya Faten lirih. "Kemungkinan besar," jawab Dokter Arini hati-hati. "Benturan itu menjadi pemicu. Ada sesuatu yang begitu traumatis bagi Taran, sehingga otaknya menganggap ingatan itu sebagai ancaman. Jadi sistemnya melakukan hal yang ekstrem." Faten menatapnya, menunggu. "Otaknya melakukan pemulihan sistem. Menghapus atau memblokir akses ke ingatan yang dianggap berbahaya. Ini bukan keputusan sadar. Ini mekanisme bertahan hidup." "Tapi kenapa kembali ke usia tiga belas tahun?" suara Faten pecah, air matanya menggenang. "Itu titik amannya," jelas Dokter Arini lembut. "Usia terakhir di mana ia merasa dunia masih bisa dipahami. Di mana trauma yang mengancam itu belum ada." Faten menunduk. Air matanya jatuh. "Jadi... dia benar-benar tidak ingat saya." "Secara sadar, tidak," jawab Dokter Arini. "Bagi Taran sekarang, Anda hanyalah orang asing. Reaksinya, jari tengah itu... itu reaksi murni seorang anak tiga belas tahun yang ketakutan." Ia menghela napas. "Taran yang Anda nikahi sedang terkunci. Yang ada di kamar sekarang adalah Taran usia tiga belas, terperangkap dalam tubuh wanita dewasa. Tugas kita bukan memaksanya mengingat. Itu hanya akan semakin menjauhkan dia dari Anda."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN