15

1408 Kata
Pagi itu suasana di restoran hotel cukup ramai dengan beberapa tamu yang mengambil breakfast lalu terdengar alunan instrumen lembut yang cukup menenangkan. Taran menyandarkan tubuhnya di kursi dan di atas meja penuh dengan roti tawar, croissant, muffin, donat, dengan selai, mentega, madu, serta buah dan yogurt. Wajah Taran ceria dengan pipi menggembung menyantap satu per satu hidangan. Faten datang membawa dua cangkir teh hangat untuk dibawa ke kamar. “Minum dulu sayang, pelan-pelan nanti tersedak.” Setelah meletakkan teh, Faten duduk; ia menyentuh pipi Taran yang belepotan selai. Taran menerima teh hangat, tapi tatapannya heran. “Eh, lo kok santai banget sih hari ini? Bukannya kerja? Jam kerja lo ‘kan biasanya pagi.” "Aku… nggak kerja hari ini," jawabnya pelan. Taran mengernyit. “Maksud lo? Lo cuti?” Faten menggeleng. “Aku bukan cuti, Tar. Aku… dipindah tugaskan.” “Pindah ke mana?” Faten menarik napas. “Ke desa waktu kamu SMP dulu. Desa Kemiri, di Kabupaten Malang.” Taran langsung menoleh cepat. “Hah, serius lo? Desa gue dulu? Yang dekat kebun kopi sama gunung itu?” Faten tersenyum tipis. “Iya. Desa kecil yang hawanya dingin, banyak kabut pagi. Rumah-rumahnya masih jarang, jalanan sebagian tanah, sebagian batu. Orang-orangnya ramah… dan puskesmasnya satu-satunya ada di tengah desa dekat pasar kecil. Kamu sering ceritakan dulu.” Taran memicingkan mata, memori samar-samar muncul pepohonan sepanjang jalan masuk desa, aroma dari peternakan ayam, suara ayam berkokok dari kejauhan. “Gue… udah lama nggak ke sana,” gumamnya. “Desanya sepi banget, tapi damai. Dulu gue suka duduk di pinggir sawah sambil liatin matahari terbit. Tapi… Om yakin betah kerja di sana? Lo dokter anestesi, Om. Itu bukan kota besar.” Faten tersenyum sambil menyesap teh hangat. “Aku betah selama kamu ada,” katanya pelan. “Aku nggak masalah harus pindah ke mana pun.” Taran tertawa kecil "Hore.," menepuk-nepuk tangannya dan mendaratkan kecupan lembut di pipi Faten. Ia sama sekali tidak menyebutkan kebenaran bahwa ia mengundurkan diri, bukan dipindahkan. Ia meninggalkan karier besar sebagai dokter anestesi hanya demi bisa merawat Taran yang sekarang kehilangan ingatan akibat trauma. Mobil melaju dengan kecepatan sedang mulai melewati pusat kota dan terlihat langit yang cukup cerah juga lalu lintas yang mulai padat merayap. Sepanjang perjalanan terkadang Taran melihat petunjuk jalan yang sudah berbeda dari ingatan terakhirnya. "Gue ngantuk banget, Om." Taran menyandarkan kepalanya pada sandaran, lalu sedikit menguap. Faten yang sibuk menyetir, seraya tersenyum mencubit kecil pipi istrinya. “Kalau capek tidur saja sayang. Aku bakal bangunin kalau sudah dekat.” “Lo yakin nggak capek nyetir?” gerutu Taran setengah tertidur. “Aku kuat. Yang penting kamu nyaman, nanti kalau capek kita mampir ke pom atau hotel buat istirahat.” Satu jam setengah kemudian mobil memasuki area pinggiran kota dan Taran terbangun ketika mereka sampai di sebuah pom bensin. "Sudah sampai?" Taran duduk dan berusaha merobohkan rasa ngantuknya, jemari mungilnya mengusap-usap kelopak mata. “Belum, ini cuma isi bensin. Biar aman sampai desa,” jawab Faten. “Kamu mau ke toilet atau beli minum?” “Nggak, gue tidur dulu ya…Om beliin snack dan s**u dong." Faten hanya mengangguk, membelai rambut Taran pelan sebelum turun membeli air mineral, camilan, dan obat anti mabuk berjaga-jaga kalau Taran pusing di jalan pegunungan nanti. Setelah melewati pom bensin kedua, jalan mulai menanjak. Rumah-rumah semakin jarang, kios kecil menggantikan minimarket besar. Taran terbangun lagi, menatap keluar jendela. "Wah, ini lapangan tempat aku biasa lomba lari waktu SMP." Faten memperlambatkan mobil supaya Taran bisa melihat lebih jelas. "Oh.kamu jago lari?" Faten memandang lapangan sebentar lalu kembali fokus menyetir. Begitu melewati pom bensin terakhir, aspal kota berubah menjadi jalan beton bercampur tanah. Pepohonan rimbun di kanan kiri, udara lebih dingin. Sesekali motor melintas, pengemudinya melambai ramah tiap berpapasan. “Gila, gue lupa udara sini sedingin ini.” Taran sengaja membuka kaca mobil karena rindu udara desa. Faten menaikkan kaca sedikit. “Sayang, mau pakai jaket?” Faten berhenti di tepi jalan lalu membuka ransel di kursi belakang dan mengambil jaket tebal. Dengan hati-hati ia mengenakan jaket itu pada istrinya. "Hangat, Om," Taran mencium aroma parfum Faten dan jantungnya berirama seperti air terjun. Di seberang lapangan, berdiri gedung SMP bangunan cat kuning pucat dengan papan nama yang mulai memudar. Gerbang besinya tertutup. Taran mendadak terbangun dengan antusias melihat ke arah luar. “Gue… gue inget dulu… tiap Senin upacara di situ… gue pernah dimarahi guru olahraga karena telat baris…” Tanpa sepengetahuan Taran, di kursi penumpang belakang tersusun map-map rencana: biaya sewa rumah warga, biaya listrik dan air bulanan, tagihan wifi & provider untuk hiburan Taran, daftar peralatan yang bisa dibeli nanti game ringan, TV murah, speaker, buku aktivitas, daftar lowongan kerja rumah sakit di Kota Malang dan Surabaya. Yang Faten kerjakan begadang di kamar hotel dan subuh-subuh pergi mencari warnet 24 jam untuk memprint. Di tanjakan terakhir, papan kayu sederhana bertuliskan “Selamat Datang di Desa Kemiri” menyambut mereka. Taran membuka mata perlahan. “Hore.kita… sudah sampai?” Faten tersenyum dengan perlahan mengeluarkan koper dan ransel. “Iya. Ini rumah baru kita, untuk sementara waktu.” Rumah sewa itu berada di pinggir jalan desa, pagar kayu sederhana, halaman depan dengan pohon jeruk berbuah kecil. Begitu mobil berhenti, seorang pria paruh baya keluar dari teras. Namanya Pak Surya. Usianya sekitar 55 tahun, tubuh agak gemuk, wajah teduh dengan kumis tipis, kulit kecoklatan khas kebiasaan orang desa yang bekerja di hutan mencari pakan sapi. Ia memakai kemeja kotak-kotak dan peci hitam. Meskipun berusaha tersenyum, tampak jelas Pak Surya gugup dan curiga. “Selamat malam… ini yang kemarin malam menghubungi ya?” sambil mengamati mereka dari atas ke bawah. “Iya, Pak. Saya Faten. Ini istri saya, Taran.” Taran mengangkat tangan dengan sopan. “Pagi, Pak.” “Maaf, Pak… saya terus terang masih curiga. Iklan rumah ini sudah dua tahun nggak ada yang lihat. f*******:-nya pun sudah jarang dibuka. Tiba-tiba semalam ada chat terus langsung DP tiga juta… saya kira itu penipuan.” Nada bicara Pak Surya penuh dengan kewaspadaan. Faten tersenyum sabar. “Wajar kalau Bapak pikir begitu. Apalagi sekarang banyak kasus penipuan online. Tapi kami sungguh-sungguh ingin sewa rumah ini. Kami pindah untuk tinggal agak lama di desa.” Pak Surya mengelus dagu, jelas masih ragu. “Lho, tapi kok langsung DP? Biasanya orang melihat rumah dulu.” Faten tertawa kecil. “Sebenarnya kami memang mau lihat dulu, tapi saya takut keduluan orang lain. Lokasinya dekat pasar dan puskesmas, cocok untuk kami. Jadi saya kirim DP supaya Bapak yakin kami serius.” Pak Surya terdiam. “Nah, kalau Bu Taran ini… asli warga sini ya? Kayaknya pernah lihat?” “Hmm… gue dulu SMP di sini, Pak. Jadi mungkin lo, eh, Bapak pernah lihat gue dulu.” “Oh… pantas,” gumam Pak Surya, wajahnya mulai lembut. Tapi ia belum selesai bertanya. “Bapak cuma mau pastikan satu hal. Mau tinggal berapa lama? Setahun? Dua tahun?” Pak Surya akhirnya tersenyum lebar, wajahnya berubah hangat sekali. “Kalau begitu Alhamdulillah. Rumah ini sudah lama kosong karena anak-anak saya semua merantau. Saya senang kalau ada yang rawat rumah ini lagi. Monggo, masuk dulu.” Begitu berjalan menuju teras, Pak Surya menambahkan sambil tertawa kecil. “Maaf ya Bu, Pak… saya tuh sampai nggak bisa tidur tadi malam. Takutnya nanti saya ke sini, yang datang debt collector atau cowok-cowok misterius minta sertifikat rumah. Banyak penipu jaman sekarang." Faten menahan tawa. “Nggak apa-apa, Pak. Justru bagus, Bapak hati-hati di jaman sekarang." Taran ikut menimpali. “Yang penting sekarang kita udah ketemu langsung, Pak. Gue.eh saya lega Bapak bisa percaya.” Udara terasa lebih dingin dari perkiraan Faten. Di kamar yang masih minim perabot, hanya ada kasur baru, dua bantal, dan koper yang belum dibongkar. Taran berbaring sambil memainkan ponselnya, tapi tiba-tiba layar berhenti memuat. “Astaga… kuota gue abis? Seriusan?” keluhnya sambil mengusap wajah. “Baru mau baca komik online, s**l banget.” Dari kamar mandi terdengar suara Faten menggigil. “Brrrr… airnya dingin banget… kayak air freezer aku nggak kuat lama-lama.” Faten keluar dengan rambut basah menempel di bahunya. Ia memakai sweater tipis sambil memeluk tubuh sendiri, giginya seperti hampir bergemeletuk. Taran refleks bangun. “Lah, kok lo mandi pakai air super dingin? Om biasanya pakai water heater.” Faten duduk dan mengambil napas panjang, masih menggigil. “Nggak ada water heater di rumah ini, Tar. Jadi ya… mau nggak mau pakai air biasa dulu.” Taran mengambil selimut dan membalut bahu Faten. “Sini deh, Om harus angetin badan dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN