Faten keluar dari kamar dengan menggandeng istrinya dan tangan satu lagi memegang koper serta tas ransel besar yang ia kenakan di pundaknya.
Taran yang masih menangis, bahunya bergetar, mata membengkak tak berani melihat ke arah lain selain lantai, napas tak beraturan seperti tersendat-sendat.
Adrian sudah berada di mobil dan baru saja memasukkan ranselnya lalu ia duduk di kursi belakang sambil terus mengamati kondisi Taran. Faten dan Taran baru saja menuruni tangga, Ibu Siti tiba-tiba menghadang dari samping, suaranya pecah.
“Faten! Kamu mau apa ini? Mau bawa istrimu pergi? Kamu itu anak durhaka kalau ninggalin orang tuamu hanya karena perempuan!”
Faten menghela napas, tak menatap ibunya. Tangannya menggenggam tangan Taran makin kuat.
“Bu… tolong minggir. Taran butuh waktu untuk tenang. Masalah di rumah ini sudah terlalu jauh.”
Ibu Siti langsung menangis kencang sambil memukul dadanya sendiri.
“Astagfirullah, Faten! Dari kecil Ibu besarkan kamu! Kamu sekolah tinggi, jadi dokter, Ibu bangga… tapi ternyata kamu jadi laki-laki yang nurut sama istri sampai lupa orang tua! Kamu itu durhaka! Kamu tega ninggalin Ibu?!”
Taran makin ketakutan, tangannya gemetar. Faten yang merasakannya langsung panik, ia memegang pipi istrinya.
“Taran, lihat aku… tarik napas… pelan, sayang…”
Taran hanya menggeleng, air mata mengalir terus.
Rina ikut menghalangi dengan memegang koper kakaknya.
“Kak! Jangan gila! Semua keluarga ribut gara-gara cewek satu itu, dan sekarang Kakak mau pergi?! Kakak tega ninggalin kami?! Kami ini apa di mata Kakak?!”
Faten tak tahu harus bagaimana dan harus mengatakan apa, tapi baginya yang terpenting sekarang adalah Taran, jemari istrinya dan juga tangannya terasa semakin dingin.
Rina histeris memegang lengan kakaknya.
“Gara-gara dia, Kak Faten berubah! Dia bikin Kakak menjauh dari keluarga! Kakak nggak lihat, Ibu nanti bisa sakit kalau kakak pergi?!”
Faten terus berjalan menuju mobil, membuka pintu dan memaksa Taran masuk. Ibu Siti menyusul, memeluk lengan Faten untuk menahannya.
“Kamu jangan pergi! Kalau kamu pergi, kamu bukan anak Ibu lagi! Kamu dengar?! Bukan anak Ibu!”
Ancaman itu membuat Faten terdiam, napasnya naik-turun, matanya berkaca-kaca… menatap ibunya lalu berganti melihat istrinya.
“Saya masih anak Ibu. Saya masih kakak bagi Rina. Tapi saya juga suami. Dan saya harus jaga Taran saya. Kalau rumah ini bikin dia takut… saya nggak bisa diem aja.”
Ibu Siti menjerit lagi.
“Faten! Kamu tega! Kamu pilih perempuan daripada Ibumu sendiri!”
Ibu Siti mencoba membuka pintu mobil dan berusaha menarik pergelangan tangan Taran.
Faten langsung mencegah dengan menghalangi menggunakan badannya.
“Cukup! Jangan sentuh Taran! Dia istri aku, Bu!”
Sebelum masuk ke sisi kemudi, ia menatap ibunya sekali lagi, matanya campuran luka dan tekad.
“Kalau Ibu sayang saya… biarkan kami pergi dulu. Taran cuma butuh ketenangan.”
Ibu Siti hanya menangis tak berdaya. Rina menggigit bibir, menahan emosi yang pecah jadi air mata.
Faten masuk ke mobil, mesin menyala, dan perlahan mobil bergerak meninggalkan halaman rumah. Senja mulai meredup, lampu jalan menyala satu per satu.
Taran duduk sambil memeluk jaket di atas pangkuannya erat-erat. Air matanya masih mengalir, tapi kini lebih pelan seperti hujan yang mulai reda. Faten berkonsentrasi mengemudi, tapi sesekali ia menoleh.
“Aku di sini… kamu aman sekarang. Tenang ya, sayang. Tidak ada yang akan menyakitimu.”
Tangan Faten yang kiri tetap menggenggam tangan Taran, sementara kemudi ia kendalikan dengan tangan kanan.
Saat mobil memasuki tikungan tajam, ia terpaksa melepaskan genggaman untuk menggunakan dua tangan di roda kemudi.
Setelah tikungan, “Maaf, tanganku lepas sebentar… sini.” Ia cepat meraih tangan Taran lagi.
Taran tidak membalas genggaman, hanya membiarkan. Matanya menatap lurus ke depan, kosong, napasnya masih sesengukan.
“Tarik napas perlahan… aku ikut, ya? Satu… dua…”
Ia memperagakan menarik napas panjang. Taran menirukan pelan walaupun tak stabil.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan lembut. Adrian di kursi belakang tetap diam, sesekali menatap Taran dengan wajah khawatir.
Taran tiba-tiba mengusap dadanya pelan, seperti menahan sesak. Refleks, tangan Faten melepas setir lagi dan mengusap kepala Taran.
“Aku tahu kamu takut… tapi kita sudah jauh dari sana. Kamu aman. Tidak ada yang akan memaksa kamu lagi. Aku ada di sini.”
Ketika memasuki area jalan raya dan mobil melaju lebih cepat, Faten terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memutar setir dan menyalip truk di depannya.
Begitu posisi stabil, Faten dengan cepat mengambil tangan istrinya kembali dan menaunginya di atas pangkuannya.
“Kalau aku harus pakai dua tangan buat nyetir, kamu jangan takut dulu, ya. Aku nggak pergi. Aku nggak ninggalin kamu. Aku tetap di samping kamu.”
Kalimat itu akhirnya membuat Taran menoleh… untuk pertama kalinya sejak keluar rumah. Matanya merah dan bengkak.
Ia tidak berbicara, hanya menggenggam balik tangan Faten untuk pertama kali sejak konflik tadi.
Perjalanan dilanjutkan ke arah rumah sakit, untuk menukar mobil menjadi agar mereka bisa pulang ke rumah masing-masing.
Setelah mengantarkan Taran ke dalam mobilnya, Faten membelai punggung tangan Taran dengan ibu jarinya.
“Kita cuma tukar mobil sebentar. Kamu tetap jangan takut. Habis ini kita cari tempat tenang, nginep dulu. Nggak ada yang teriakan, nggak ada bentak. Cuma kita… ya sayang.”
Faten dan Taran sudah sampai di hotel, yang menyala hanyalah lampu tidur. Lalu di atas ranjang, Taran sudah terlelap dengan rambut yang sedikit basah setelah mandi, emosinya sudah lebih stabil.
Melihat bekas piring di meja yang sudah sebagian habis, cukup membuat Faten lega karena istrinya mau makan.
Faten duduk di tepi ranjang menatap istrinya sembari tersenyum kecil karena bahagia melihat Taran tidur tanpa ketakutan atau tangisan.
Dengan napas berat, Faten mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak, jarinya sedikit ragu sebelum menekan nama dr. Santoso, Kepala Departemen Anestesi.
Panggilan tersambung.
dr. Santoso: “Faten? Ada apa? Sudah malam begini.”
Faten berdiri dan berjalan ke balkon kecil agar tidak membangunkan Taran. Pintu kaca ia tutup perlahan. Angin malam sedikit dingin.
Faten, suaranya lelah: “Maaf, Dok, ganggu di luar jam kerja. Saya perlu bicara sesuatu yang penting.”
Hening sebentar di ujung sana, seperti dokter senior itu sudah bisa menebak.
Dr. Santoso: “Kalau nada bicaramu seperti ini, sepertinya bukan hal mudah. Silakan.”
Faten menghembuskan napas dalam sekali sebelum mengatakannya: “Saya mau mengajukan pengunduran diri… efektif secepatnya.”
Selama 1 menit tak ada jawaban, hingga: “Kamu serius?”
“Iya. Saya sudah pikirkan baik-baik. Ada masalah keluarga yang… cukup besar. Saya perlu waktu fokus ke istri saya dulu.”
“Tim anestesi akan kehilangan orang andalan kalau kamu pergi. Tapi saya tidak bisa memaksa kamu mengorbankan keluargamu.”
Faten menunduk, merasakan rasa sesak karena menjadi dokter anestesi merupakan impiannya sejak SMA dan perlu perjuangan untuk sampai di titik ini.
“Terima kasih, Dok… saya terpaksa meninggalkan tim. Saya hanya… nggak bisa bagi fokus sekarang. Kalau saya tetap bekerja, saya takut bikin kesalahan. Dan kesalahan anestesi… taruhannya nyawa pasien.”
“Saya menghargai kejujuranmu. Kamu dokter yang sangat baik, Faten. Tapi kamu juga manusia. Keluarga berhak kamu prioritaskan.”
Faten menutup mata sebentar, menahan air mata yang ingin tumpah.
“Saya bisa bantu sampai masa transisi, kalau perlu ajarkan dokter baru atau… dokumentasi apa pun.”
“Tidak apa. Saya tidak akan tarik kamu kembali ke rumah sakit dalam kondisi begini. Nanti pagi HRD akan kirimkan formulir resign ke emailmu. Kalau kamu berubah pikiran sebelum tanda tangan… telepon saya.”
Faten terdiam beberapa detik, lalu: “Terima kasih, Dok.”
“Jaga istrimu. Dan jaga dirimu juga. Kamu terlalu keras sama diri sendiri selama ini.”
Panggilan berakhir. Faten memandangi kedua tangannya yang selama beberapa tahun menjadi penyelamat di ruang operasi, namun kini gemetar. Dan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi, dia menangis sesenggukan di balkon.
Dia sangat mencintai istrinya, tapi membayangkan melepas pekerjaan impiannya seperti memotong bagian tubuh yang masih berfungsi. Dalam dua hal yang sama-sama ia cintai, ia harus kehilangan salah satunya.
Faten mencintai dunia medisnya. Tapi cintanya pada Taran adalah alasan ia masih bisa bernapas.