Part 2 - What the b***h

1726 Kata
Sivia berjalan tergesa-gesa ke ruang auditorium. Di sanalah tempat penyambutan mahasiswa  akan dilaksanakan. Kampusnya memang selalu mengadakan acara sambutan selamat datang kembali ke Kampus setelah memberikan libur panjang kepada murid-muridnya. Ini merupakan agenda tahunan dan semua mahasiswa harus hadir di sana jika tidak ingin dipanggil oleh Wakil Rektor yang berakibat pada penundaan tugas skripsi pada akhir semester. Gadis itu masuk ke ruang auditorium setelah membubuhkan tanda tangan kehadiran. Ia mengedarkan pandangannya ke semua penjuru ruangan yang telah penuh terisi dengan mahawiswa-mahasiswa baru sepertinya. Ada yang sudah mengobrol ringan dengan teman di sebelahnya, ada yang tertawa dengan teman-temannya, dan ada juga Lea yang sedang bermesraan dengan Luke yang membuatnya mendadak ingin muntah seketika saat melihat Lea yang tiba-tiba mencium Luke dengan agresif. Pasangan baru itu benar-benar tidak tau waktu dan tempat di mana harus b******u. Sivia kembali fokus mencari kursi yang masih kosong dan menemukan beberapa di barisan nomor lima sebelah kanan. Tanpa pikir panjang dia pun segera melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut dan langsung duduk di salah satu kursi. "Hai, cantik!” sapa seorang pria. Ia menepuk bahu Sivia pelan dari belakang yang membuat gadis itu sedikit terkejut dan langsung menolehkan kepala ke belakang. Sivia mengernyitkan dahi saat melihat sesosok pria yang menurutnya sedikit familiar. Pria itu mempunyai bola mata berwarna coklat terang sama persis seperti warna rambut coklat berombak dan tampak sedikit berantakan. Hidung pria itu mancung, berkulit putih dan memiliki wajah yang tampan. Merasa diperhatikan se intens itu oleh Sivia, membut pria itu tersenyum geli sehingga menampakkan dua lesung pipi di kanan dan kiri wajahnya. Semakin menyipitkan pandangan, otak Sivia berputar cepat, mencoba mengingat kembali kapan dan di mana ia pernah bertemu dengannya. Sivia merasa ia mengenal pria itu. "Kau tak mengingatku?" tanya pria itu sambil menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum miring pada Sivia. Sivia mengernyitkan dahinya semakin dalam dan menatap pria itu dengan tatapan aneh. "Maaf, tanpa bermaksud menyinggung Anda, Tuan, tapi saya memiliki ingatan yang sedikit buruk. Apakah kita pernah bertemu atau barangkali saling menyapa sebelumnya?" tanya Sivia sopan. Benar-benar tidak ada maksud untuk menyinggung pria itu. Pria itu membulatkan matanya tak percaya bahwa gadis di depannya itu benar-benar tidak mengenalinya. Apakah libur selama dua bulan lebih membuat Sivia lupa akan segala-galanya? "Oh Gosh, Eve! Kau benar-benar tidak mengingatku? Ini aku, Peter. Peter Owen!" seru pria itu dengan nada sedikit keras karena kesal. Ia mengabaikan tatapan heran beberapa mahasiswa yang menoleh sebab suaranya. Mengetahui siapakah pria familiar itu, kedua mata Sivia terbelalak tidak percaya. Dia memekik. "Benarkah kau adalah Peter? Si pria cupu itu?" Sivia menatap Peter dengan tatapan tak percaya. Ia mengamati penampilan pria itu dari atas ke bawah lalu menggeleng pelan. “Mustahil jika kau adalah Peter!” serunya, namun dengan nada geli. Dia menunjuk Peter lalu melanjutkan. “Wahai, manusia! Jika kau sungguh-sungguh adalah sahabatku Peter Owen, di manakah kita bersekolah saat masih SMA?” tanyanya dramatis. Peter tak mau kalah. Ia membentangkan tangan lebar-lebar seperti seorang superhero yang baru saja menyelamatkan dunia lalu menekuknya ke pinggang. “Hei, Putri Cantik! Nama sekolah kita dulu adalah Elizabeth High School! Kau lulus dengan nilai terbaik dan aku berada di peringkat dua tepat di bawahmu! Kita adalah duo manusia berotak jenius pada masanya!" jawab Peter. Mereka bertatapan lama, lalu tawa mereka meledak bersama-sama. “Oh, Peter! Aku merindukanmu!” Sivia tiba-tiba memeluk Peter, mengabaikan ringisan Peter karena tubuhnya tertarik dan terantuk kursi yang ada di antara mereka. Pria itu terkekeh lalu balik memeluk Sivia lembut. "Oh My God, Pete! Kau benar-benar berubah," kata Sivia dengan tatapan takjub setelah melepaskan pelukannya dari Peter. Sekali lagi ia mengamati penampilan Peter dari atas ke bawah. Pria itu memakai kaus Vneck putih dan jaket kulit warna merah maroon. Celana jeans pensil hitam dan sepatu nike berwarna biru putih. Dia terlihat sangat gentle dan tampan. “Berhenti menatapku seperti itu, Eve!” Peter menyentil kening Sivia. Sivia mengelus bekas sentilan Peter di dahinya dengan cemberut. Pria itu pun tak segan-segan untuk pindah tempat duduk di sebelah Sivia. “Jadi, apa yang kau lakukan selama liburan musim panas, hm? Kau tidak menghubungiku sama sekali,” tanya Peter kemudian. “Oh, aku hanya pergi ke penjara,” jawab Sivia sekenanya. Sebenarnya bukan karena itu alasan sebenarnya, tetapi karena ia tidak sengaja menjatuhkan poselnya dari lantai dua kamarnya saat mencoba memotret sebuah burung camar kecil yang hinggap di dahan pohon dekat jendela, hingga mengakibatkan benda pipih itu hancur berkeping-keping. Gadis itu bisa saja membeli yang baru, tapi ia malas. "Kau sangat kereeen, Tuan Owen!!" puji gadis itu yang ternyata masih saja mengamati penampilan baru dari sahabatnya. Sivia mengacungkan dua jari jempol pada Peter dengan semangat. Peter tertawa dengan keras melihat kelakuan Sivia yang sedikit kekanak-kanakan menurutnya. Sifat perempuan itu sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti 3 tahun yang lalu saat mereka pertama kali bertemu dan menjadi sahabat dekat selama di Elizabeth High School. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau tidak memakai kacamata lagi?" Sivia kembali bertanya pada Peter. "Wow, aku benar-benar masih tidak percaya jika kau sungguh-sungguh adalah Peter sahabat terbaikku di dunia. Kau berbeda dari yang dulu, hingga dua bulan yang lalu terakhir kita bertemu. Kau benar-benar telah berubah!” “Jika maksudmua aku berubah menjadi lebih keren dan tampan, maka terimakasih atas pujiannya Nona Russel.” Sivia memutar bola mata karena jawaban narsis dari Peter tetapi sama sekali tidak menyangkalnya. Apa yang dikatakan Peter memang benar. “Jadi, wanita mana yang harus kuberikan penghargaan?” Lagi-lagi Sivia bertanya. “Apa maksudmu?” “Hey... ayolah... Hanya ada satu hal yang membuat pria culun berubah menjadi keren.” Sivia tersenyum menggoda pada Peter. “Kau sedang jatuh cinta bukan?” Peter sedikit terkejut dengan tebakan dari Sivia tetapi dengan cepat ia tekekeh pelan. Dengan gemas ia mencubit kedua pipi Sivia. “Kenapa kau sama sekali tidak berubah, hm? Masih saja cerewet!" Sivia menepis kedua tangan Peter dari dua pipinya, lalu mengelus kedua pipinya dengan kedua tangannya pelan. "Ah, sial! Wajah cantikku bisa cepat keriput jika kau mencubitnya seperti itu!" gerutu Sivia. Peter tertawa renyah sambil menggelengkan kepala melihat tingkah laku Sivia. "Eve, bukankah sudah kuberi tahu berkali-kali, meskipun kau keriput kau tetap akan terlihat sangat cantik," tukas Peter sembari menaik turunkan alisnya. Sivia pun menunju bahu Peter. “Kau ini bisa saja!” Sivia tertawa. “Dan jangan mengalihkan pembicaraan! Kau belum menjawab pertanyaanku!” Peter baru membuka mulut tetapi suara bariton dari speaker membatalkan niatnya. Sivia dan Peter melihat ke arah podium dan benar saja acara penyambutan tahunan untuk mahasiswa telah dimulai. ***** Sivia menuju kafetaria dengan sedikit tergesa-gesa karena cacing-cacing di perutnya telah memberontak meminta makan sedari tadi. Sudah dua minggu lamanya Sivia kuliah dan kegiatan kuliah ternyata membuat ia sangat sibuk. Banyak sekali tugas-tugas dan riset yang harus dikerjakan dan itu membuat otaknya ingin meledak. Untung saja, sebagian tugasnya sudah selesai. Kalau tidak mungkin otaknya benar-benar akan meledak. Sivia terus berjalan lurus tanpa memperhatikan sekelilingnya hingga dia dikejutkan dengan seseorang yang secara tak sengaja menabraknya dari samping. Sivia memekik kaget lalu pandangannya turun dengan cepat saat merasakan lengannya jadi hangat. Dia melihat ke arah lengan bajunya dan mendapatinya telah basah kehitaman. Bau espresso macchiato. "Kalau jalan hati-hati, Nona," ucap seorang pria di sampingnya. Sivia menoleh lalu mendengus. Ia memutar tubuh ke samping hingga dapat berhadapan langsung dengan pria itu. Wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat kesal. "Kau yang harusnya hati-hati, Tuan. Kau yang menabrakku! Lihatlah, bahkan lengan bajuku jadi basah karena ulahmu!" seru Sivia tidak terima. Pria itu hanya menggelengkan kepala pelan lalu tanpa permisi berjalan melewati gadis yang ia tebak adalah juniornya di kampus. "Dasar pria b******k!" umpat Sivia pelan sambil menahan amarahnya karena merasa diabaikan. Tapi ternyata posisi pria itu masih terlalu dekat dengannya sehingga ia pun dapat mendengar umpatannya. Mendadak, dia pun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arah Sivia lagi. "Maaf, Anda bilang apa?" tanya pria itu sambil menaikkan sebelah alis. Manik matanya menatap tajam mengintimidasi tetapi ternyata gadis itu tidak takut sama sekali. "Kau pria b******k!" tunjuk Sivia blak-blakan. "Apa kau bilang? Aku b******k? Hei, Nona, jaga bicaramu!" Pria itu mulai terpancing emosinya karena baru kali ini ada seorang gadis yang mengatainya b******k tepat di depan hidungnya secara terang-tetangan. Gadis itu secara tidak langsung telah mempermalukannya di depan para mahasiswa yang saat ini tengah menyaksikan pertengkaran itu. Jujur saja, egonya sangat terluka saat ini. Ia sama sekali tidak pernah terlibat atau menjalin hubungan yang terlalu serius dengan gadis manapun. Biasanya gadis yang dikencaninya pun akan memaklumi karena tau komitmen yang dimilikinya. Bahwa dia menghindari berurusan lebih jauh dengan makhluk yang namanya perempuan. Selama perjalanan yang orang-orang sebut dengan perjalan cinta, dia sama sekali tidak menganggapnya seperti itu. Dia mengencani para wanita hanya untuk saling menguntungkan satu sama lain, seperti misal, saling memenuhi hasrat manusiawi mereka. Terhitung sejak dia masuk Senior High School, banyak sekali gadis-gadis yang mendekatinya, mengajaknya berkencan bahkan sengaja menggodanya dengan tubuh mereka atau terang-terangan menyatakan rela jika hanya di jadikan sebagai one night stand nya. Semua perempuan bahkan berlomba-lomba hanya untuk bisa menjadi teman kencannya. Menyenangkan memang, tanpa susah-susah mencari ada saja gadis yang mau menyerahkan tubuhnya secara cuma-cuma. Tapi seingatnya, tidak ada dari mereka yang mengatainya b******k. Tapi lihat saja perempuan ini, ia bahkan tidak pernah mengenalnya namun berani-beraninya ia mengatainya b******k? What the b***h! Pria itu pun melangkah mendekati Sivia hingga jarak mereka tersisa kurang dari satu meter.  Mereka berdua saling bertatapan dengan tajam, seolah-olah bersiap untuk menerkam satu sama lain, saling mengintimidasi dan membunuh lewat tatapan masing-masing. Mereka  bahkan sudah mengabaikan fakta tentang mahasiswa-mahasiswi lain yang mulai tertarik mengerumuni mereka berdua. "Apa??" Sivia berkata dengan wajah sengit menantang. Tak kalah dengan Sivia, pria itu juga melemparkan tatapan yang sama. Lalu perlahan-lahan sebuah senyuman miring terukir di bibir tipisnya. "You are a f*****g b***h!" Mulut Sivia sontak terbuka, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana bisa dia dikatai b***h padahal dia tidak pernah merasa menggoda pria atau berkencan dengan seorang pria manapun. Selama dua puluh satu tahun dia hidup, ia hanya pernah berpacaran sekali saat masih SMA, itupun hanya bertahan dua bulan karena sang pacar mulai meminta hal-hal yang tidak bisa ia berikan. Mungkin bagi sebagian besar orang Amerika adalah hal aneh jika kita tidak ‘tidur’ dengan pasangan kita. Meskipun kita baru berpacaran, hal tersebut sudah legal dilakukan terlebih jika sudah suka sama suka. Namun Sivia bukanlah tipe perempuan seperti itu. Ia dibesarkan Brian dengan cara yang berbeda, dengan budaya-budaya timur yang dimiliki oleh Ibu kandungnya. Dan pria ini jelas telah memancing emosi Sivia. Gadis itu tidak terima dengan makian pria itu pada dirinya. Tanpa pikir panjang, Sivia mengepalkan tangan kanan dan langsung melayangkan sebuah tinjuan tepat ke wajah pria menyebalkan yang berdiri di depannya itu, tapi yang mengejutkan adalah gerakan pria itu ternyata lebih cepat darinya. Dia menahan tinjuan Sivia ke wajahnya. Hampir saja, satu sentimeter lagi tinju itu pasti sudah akan mengenai wajahnya jika dia sampai terlambat menangkis. Pria itu menahan dan menggenggam kepalan tinju tangan kanan Sivia dengan tangan kirinya. Jika saja Sivia bukan seorang gadis, pasti dia akan langsung membalasnya. "Kau ....!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN