Part 3 - Planet Pluto

1748 Kata
Dia menahan tinjuan Sivia ke wajahnya. Hampir saja, satu sentimeter lagi tinju itu pasti sudah akan mengenai wajahnya jika dia sampai terlambat menangkis. Pria itu menahan dan menggenggam kepalan tinju tangan kanan Sivia dengan tangan kirinya. Jika saja Sivia bukan seorang gadis, pasti dia akan langsung membalasnya. "Kau ....!" ================================= "Eve?" Seorang pria beriris mata coklat terang membelah kerumunan, ia berjalan mendekati Sivia dari samping. Namun, tatapan mata Sivia sama sekali tidak berpaling padanya, gadis dan pria yang baru saja ia temui di kantin hari ini masih saling bertatapan tajam, saling melotot satu sama lain seolah mengatakan jika ada yang lebih dahulu berpaling, dialah yang kalah dan menjadi pecundang. Peter menghembuskan napas. Alih-alih memanggil Sivia lagi agar menghentikan aksi saling tatap itu, dia justru memutuskan untuk berdiri membelakangi Sivia, langsung memisahkan dua orang keras kepala yang tidak mau mengalah itu. Pria asing itu sekarang menatap sinis pada Peter, tetapi Peter adalah pria yang mungkin paling sabar di muka bumi. Ia adalah laki-laki yang tidak mudah terpancing emosinya. Ia adalah kebalikan dari Sivia yang keras kepala dan terkadang mudah marah. Jika Sivia adalah Ying, maka dia adalah Yang, begitu pun sebaliknya. Peter menatap balik pria itu tanpa emosi apapun. Ia justru berkata dengan tenang dan santai. "Kami permisi dulu, maaf untuk kejadian ini." Peter langsung menarik lengan Sivia menjauh dan mengajaknya pergi dari sana setelah itu. Sivia sebenarnya tidak mau, dan tetap ingin kekeuh menantang pria arogan itu, tetapi tenaga Peter jauh lebih besar. Ia terus menarik tangan Sivia hingga terpaksa kaki gadis itu ikut melangkah pergi mengikuti ke mana sahabatnya akan membawanya. "Aaargh, menyebalkan!" umpat Sivia ketika telah sampai di bawah sebuah pohon di taman belakang kampus. Banyak orang-orang ada di taman dengan luas satu hektar itu. Rerumputan hijau serta pohon-pohon besar dan rindang membuat banyak mahasiswa betah menghabiskan waktu di sana. Selain untuk membaca buku dengan suasana tenang di bawah salah satu pohon, beberapa mahasiswa lain menggunakan tempat itu untuk sekedar berkumpul dengan teman-temannya, berdiskusi, atau sekedar makan siang. Memang, ada sebuah komunitas vegetarian yang selalu membawa bekal makanan sendiri dari rumah dan  akan sharing saat waktu istirahat dengan teman-teman komunitasnya. Dan kelompok vegetarian di kampusnya memang memiliki cukup banyak anggota, terutama dari club olahraga, model, drama dan cheersleader yang menuntut mereka untuk menjaga bentuk tubuh. "Seharusnya kau membiarkanku memakinya dan menendang perutnya, Pete!" Sivia menatap Peter sahabatnya dengan sebal karena tiba-tiba datang dan menyeretnya pergi. Peter terkekeh ringan mendengar u*****n Sivia. "Aku tidak yakin kau bisa menendangnya, Eve. Meninjunya saja kau gagal," ejeknya. "Lihat, betapa kecil tubuhmu itu! Bahkan jika kau menendangnya, aku yakin dia tidak akan merasakan sakit. Justru kaulah yang akan merasakan sakit luar biasa." "Shut up! Aku bisa menendang k*********a jika aku mau, dan aku yakin dia akan merasakan sakit." Peter tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Sivia. Oh ayolah, siapapun tau sekecil apapun tenagamu, jika kau menendang kemaluan seorang pria bisa di pastikan jika pria itu akan merasakan sakit luar biasa. "Kau sangat lucu," kata Peter tulus yang di balas senyuman tak kalah tulus Sivia. *** Sivia berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Hari ini dia sedikit terlambat karena Ibu tirinya -Sarah- dan adik tirinya yang menyebalkan yaitu Lea menguncinya di dalam kamar saat ia sedang mandi. Mereka berdua balas dendam pada Sivia sebab semalam Sivia mengerjai mereka lagi. Well, itu bukan murni kesalahan Sivia. Memang sudah sifat Sivia jika dia mulai merasa diperlakukan keterlaluan di rumahnya, maka dia pasti akan membalasnya. Dan karena itulah, pagi tadi Sarah dan Lea menguncinya di dalam kamar agar Sivia tidak bisa ke kampus. Padahal hari ini hari yang penting bagi Sivia karena ada jadwal presentasi. Dosennya sangat ketat dalam hal nilai. Jika kau tidak mengerjakan tugas tepat waktu maka jangan harap kau bisa mendapatkan nilai A atau B. Nilai terbaik jika kau mengumpulkan tugas terlambat adalah C, dan Sivia tidak mau jika nanti nilai akhir semesternya ada huruf C disana. Akhirnya dengan tekad kuat, Sivia keluar dari rumah melalui jendela lantai dua. Pohon besar yang tumbuh tepat di samping kamarnya sangat membantunya kali ini dan juga malam-malam yang lain, saat ia ingin kabur dan merasa sesak di rumah. Dengan penuh hati-hati agar tidak tergelincir, Sivia turun melalui pohon itu. Berlari kecil sambil mencoba menghubungi Alice, salah satu teman kelasnya melalui ponsel hanya untuk menanyakan apakah dosennya sudah ada di kelas atau belum, Sivia menyusuri koridor kampus cepat. Ia berdo'a dalam hati semoga saja dosennya belum masuk ke kelas ketika dia sampai. Sivia terus berlari kecil dan fokus pada ponsel sehingga ia tidak sempat melihat keadaan sekitar. Tiba-tiba saja dia terkejut karena menabrak seseorang di depannya. BRUK!! BRAK!! Ponsel Sivia terlempar ke lantai. Begitu juga dengan ponsel milik seseorang yang bertabrakan dengannya. Sivia mengangkat kepalanya dan matanya membulat melihat sosok pria familiar yang ia tabrak. "Kau?!" Sivia dan pria itu saling menunjuk satu sama lain, lalu dengan kompaknya saling melemparkan tatapan saling membunuh. "Kenapa kau suka sekali menabrakku, hah?" tanya Sivia dengan nada tinggi. Dia tidak habis pikir, setiap bertemu dengan pria itu, pasti dengan cara bertabrakan dan berakhir dengan adu mulut. Seperti misal, beberapa hari setelah bertabrakan di kantin, mereka bertabrakan di tempat parkir, membuat buku-buku milik Sivia jatuh berserakan di lantai. Lalu kemarin, ia dan pria itu bertabrakan di koridor tempat loker berada. Menyebabkan insiden kopi tumpah yang berakhir dengan saling menyalahkan karena baju mereka berdua basah oleh segelas cup kopi hangat yang di bawa oleh Sivia. "Hei, Nona. Bukan aku yang menabrakmu. Tapi kau yang selalu menabrakku!" tukas pria itu dengan tegas. Tak berbeda dengan Sivia, pria itu juga tampak sangat kesal. Sepertinya setiap kali bertemu dengan gadis bermata hitam ini ia selalu terkena sial. "Kau yang selalu menabrakku dan bukan aku yang menabrakmu! Kau pikir aku seceroboh apa hingga bisa terus menabrak orang yang sama? Sepertinya di sini, kau perlu operasi mata agar matamu normal! Aku curiga jangan-jangan penglihatanmu sangat buruk!" Kesal dikatai oleh gadis asing tidak tau sopan santun dan pembawa sial itu, pria itu menjawab. "Dan kau perlu operasi otak agar otakmu sedikit lebih pintar, Nona! Aku yakin otakmu hanya sebesar otak udang!" Sivia hendak membalas perkataan pria itu, tapi sudut matanya menangkap sosok pria lain dengan pakaian dan mantel serba hitam, baru saja melewati koridor sebelah selatan. Dia Mr. Sniper, dosen yang hari ini akan mengisi kelasnya. "Ah, sial!" umpat Sivia karena dia harus segera pergi ke kelas atau dia akan terlambat. Gadis itu tidak lagi tertarik untuk melanjutkan perdebatannya dengan pria itu. Saat ini nilai presentasinya jauh lebih penting ketimbang meladeni pria menyebalkan. Dengan cepat, gadis yang kali ini tidak mengenakan aksesoris apapun di rambutnya itu segera meraih ponselnya di lantai. Ia berdiri cepat. Dan setelah melayangkan sebuah tatapan sinis untuk terakhir kalinya pada Sang Raja yang Hobi Menabraknya, dia melangkah pergi. Meninggalkan pria yang kini berteriak terus merutukinya sebagai gadis yang tidak tau sopan santun. *** Sivia baru sadar jika ponsel yang ia bawa bukanlah miliknya saat dia akan menghubungi Peter yang menghilang selama berhari-hari. Pria iru seperti hilang di telan bumi, tidak ada kabar sama sekali. Mata Sivia memicing. Bentuk dan warna ponsel itu memang sama persis seperti miliknya, tapi wallpapernya berbeda. Bahkan galerinya pun hanya berisi foto-foto ringkasan materi kuliah dan diagram-diagaram yang entahlah, Sivia tidak memahaminya sama sekali. Setelah mencoba mengingat-ingat sesuatu dengan dahi berkerut dalam, dia pun ingat dengan kejadian tadi pagi ketika dia bertabrakan dengan pria itu. "Ah, sialan! Pasti tertukar dengannya!" rutuknya. Sivia langsung menekan nomor ponselnya yang sudah ia hapal di luar kepala melalui ponsel yang ia bawa. Tak lama kemudian, nada tersambung dan suara berat seorang pria terdengar dari seberang. "Hallo, siapa-" "Aku pemilik ponsel yang kau bawa. Aku tunggu di cafetaria, sekarang!" Tanpa menunggu jawaban apapun, Sivia sudah mengakhiri panggilan teleponnya. Dia sangat malas jika harus berbicara banyak dengan pria menyebalkan itu. Sivia pun beranjak keluar dari kelas untuk menuju ke cafetaria dan bertemu dengan si Pria Asing. Sementara itu di taman belakang universitas, di bawah salah satu pohon besar, seorang pria mengerutkan dahinya bingung dengan panggilan masuk barusan. Dia mencerna kata-kata gadis yang baru saja menelponnya lalu mulai mengerti dengan maksud gadis itu. Setelah di amati dengan sekilas, ponsel yang ada di tangannya ini memang bukan ponsel miliknya “Ah, sial!” umpatnya kesal menendang udara, lalu segera bergegas menuju kantin. Menyiapkan hati untuk segala emosi dan tenaga yang akan ia keluarkan karena gadis paling menyebalkan di kampusnya. *** Sivia baru saja mendaratkan pantatnya di salah satu kursi kantin ketika ada seorang pria yang berdehem di belakangnya. "Ehm, hai nona cantik!" sapa pria itu sambil tersenyum, menampilkan kedua lesung pipinya. Sivia tersenyum senang melihat pria itu dan memeluknya sesaat. "Peter! Apa kabar? Kupikir kau sudah melupakanku," kata Sivia sambil mengerucutkan bibirnya. "Hahaha ... tentu saja tidak!" jawab Peter sambil mengacak rambut Sivia,"... kau merindukanku?" "Tentu saja aku merindukanmu. Ke mana saja kau 2 minggu ini?" Belum sempat Peter menjawab, seorang pria datang menghampiri Sivia dengan wajah yang ditekuk. Pria yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis di kampus karena ketampanan dan kekayaannya, yang terkadang membuat Sivia jengah hanya mendengar namanya saking bosannya. Bayangkan saja, kemana-mana di setiap sudut ruangan kampus, hampir semua gadis membicarakan pria menyebalkan ini. Wajah pria itu bersih, bibirnya tipis, rahangnya terlihat kokoh dan tegas khas lelaki, lalu bola matanya berwarna biru kehijauan, sangat indah dan menawan layaknya sebuah berlian langka. Dengan tatapan mata tajamnya itu dan sedikit senyum di bibirnya akan mampu membuat siapapun gadis yang melihatnya pasti memuja dan jatuh bertekuk lutut dalam pesonanya saat itu juga. Dia adalah Alexandro McKenzie, calon penerus dari perusahan McK Group yang menurut berita merupakan salah satu perusahaan terbesar di Amerika, bahkan Eropa. Kecuali bagi Sivia. Pria itu, Alex, sudah terlanjur mendapat predikat pria paling menyebalkan sejak pertama kali mereka bertemu atau tepatnya bertabrakan di kafetaria. Mungkin hanya seorang Sivia, satu-satunya gadis yang tidak tertarik dengan Alex. Terlebih lagi, Sivia bukan gadis yang gila harta. 'Percuma jika dia tampan dan kaya tapi menyebalkan seperti dia' pikirnya ketika mendengar pujian-pujian dari para gadis tentang pria itu. "Mana ponselku?" tanya Alex tanpa basa-basi yang membuat Sivia bertambah sebal padanya. 'Dia memang kurang dalam hal sopan santun dan seseorang perlu mengajarinya' batin Sivia. Sama sekali tidak mengaca jika ia pun berkelakuan tidak sopan pada Alex. Sivia merogoh kantong sakunya dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk pipih hitam dan menyerahkannya pada Alex. Alex pun melakukan hal yang sama. Setelah proses tukar menukar itu selesai, Alex menatap Sivia sedikit lebih dalam. Merasa diperhatikan, Sivia pun balik menatap Alex di depannya dan tak lama kemudian Sivia tersenyum miring. "Aku tau aku cantik dan jangan lupakan tentang baik hati. Tapi kau tidak perlu menatapku seperti itu, Mr. McKenzie. Kau seperti pria yang sedang jatuh cinta padaku." Mulut Alex terbuka tak percaya dengan apa yang diucapkan gadis di depannya itu. Jatuh cinta? Pada gadis menyebalkan seperti dia? Tidak mungkin! Ya, walaupun tiap bertemu dengannya ada sedikit getaran aneh di dadanya. Tapi jelas, ini bukan karena telah tumbuh bibit-bibit cinta dalam hatinya. Alex dapat memastikan hal itu, sebab setiap kali ia melihat gadis itu, rasanya Alex ingin menendang bokongnya jauh hingga mendarat ke planet  Pluto.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN