Bab 1. Lamaran
Tampak seorang pria tampan memakai baju batik lengan panjang. Wajahnya datar tanpa ekspresi, beberapa kali dia menghela napas panjang. Lalu duduk dengan tenang seraya kedua kaki yang saling menyilang satu sama lain. Sorot netranya tampak tajam laksana sembilu bermata dua.
"Maksud kedatangan kami ke sini, ingin melamar putri almarhum sahabat saya — David," ucap Jeremy mengatakan tujuan mereka datang ke sini.
"Iya, Tuan. Almarhum suami saya memang sudah mengatakan hal tersebut sebelum dia meninggal," jawab wanita paruh baya itu memasang wajah sendunya.
"Apakah benar nama putri sahabat saya itu Elea?" tanya Jeremy.
"Iya, Tuan, benar," jawabnya.
"Di mana dia?" tanya Jeremy tak sabar.
"Sebentar lagi dia keluar, Tuan. Dia masih ada di kamar untuk bersiap-siap," jawab wanita paruh baya itu.
Tidak lama kemudian datang seorang gadis berjalan ke arah mereka. Gadis itu menunduk malu dengan jari-jemari yang saling meremas satu sama lain. Dia memakai kebaya berwarna peace yang kontras dengan warna kulitnya. Rambut panjang sebahu dengan poni yang bertengger di keningnya. Gadis itu masih terlihat sangat muda dari raut dan ekspresi wajah.
"Ini dia Elea!" Wanita paruh baya itu menyambut anak tirinya serta merangkul bahu gadis tersebut.
"Elea," panggil Jeremy.
Gadis itu memberanikan diri mengangkat kepalanya, lalu memasang senyum ramah.
"Iya, Om?"
"Apa kamu masih ingat saya?" ujarnya dengan senyuman.
Gadis itu membalas dengan gelengan kepala. Namun, pria pauh baya ini seperti tak asing di matanya. Hanya saja dia tidak ingat di mana pernah bertemu sebelumnya.
"Saya Jeremy, sahabat almarhum ayah kamu," ucapnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan ke arah gadis yang berdiri di depannya itu.
"Elea, Om." Dia menyambut serta mengecup punggung tangan sang calon mertua.
"Kamu ternyata sudah besar ya," ucap Jeremy terkekeh sambil mengusap kepala Elea. "Oh ya perkenalkan, ini Edzard. Dia calon suami kamu," ucapnya.
Gadis itu tak lagi terkejut karena memang sang ibu tiri sudah mengatakan bahwa akan ada yang datang melamar dirinya.
"Ed, ayo berkenalan dulu!" ucap Jeremy menyenggol lengan anaknya.
Lelaki itu mengangguk, lalu dia melihat Elea dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca.
"Edzard!" ucapnya.
"Elea."
Elea Emiliana, gadis muda berusia 20 tahun yang masih duduk di bangku kuliah. Dia sudah kehilangan sosok seorang ibu sejak kecil. Lalu ayahnya menikah lagi dengan adik dari almarhum ibunya. Sejak saat itu, kehidupan Elea berubah karena tak mendapatkan kasih sayang seperti anak-anak lainnya. Kehadiran sang ibu tiri malah membuat hidup Elea semakin hancur tak beraturan, apalagi dia harus jadi korban kejahatan wanita iblis itu.
Beberapa tahun yang lalu sang ayah meninggal karena sebuah kecelakaan, tetapi hingga saat ini belum ditemukan siapa yang menabrak ayahnya. Hal itu selalu menjadi tanda tanya di hati Elea. Namun, dia tak memiliki banyak bukti untuk menguak kasus kematian sang ayah.
Kini Elea harus memenuhi janji sang ayah menikah dengan putra dari sahabat ayahnya. Gadis itu seperti tak memiliki pilihan untuk menolak atau sekedar bernegosiasi. Seakan semua yang ibu tirinya katakan adalah mutlak dan tak bisa dibantah atau diganggu gugat.
Acara lamaran sederhana itu digelar hanya dihadiri oleh dua pihak keluarga.
"Minggu depan pernikahan kalian akan digelar," ucap Jeremy tersenyum pada anak sahabatnya itu. "Ed, Lea, persiapkan diri kalian ya. Masalah pesta pernikahan kalian tenang saja, semua Papa yang urus," sambungnya lagi seperti tak sabar melihat putra semata wayangnya itu bersanding dengan putri sahabatnya.
"Aku hanya ingin pernikahan ini sederhana, Pa," pinta lelaki tampan itu.
"Iya, Om. Lea juga ingin yang sederhana saja. Lagian 'kan Lea masih kuliah, masa sudah menikah," sambung Elea ikut menimpali.
Jeremy menarik napas dalam. Padahal dia sudah mempersiapkan pesta mewah untuk putranya itu. Namun, mendengar permintaan antara putranya dan Elea membuat dirinya harus mengubah rencana, daripada keduanya menolak untuk dinikahkan.
"Baiklah! Lea, mulai malam ini kamu tinggal bersama kami, ya," ujarnya.
"Tapi, Om. Kami 'kan belum menikah memang boleh tinggal bersama?" tanya Elea heran.
"Tentu saja boleh," jawab Jeremy.
"Sudahlah, Elea, tinggal saja bersama mereka. Lagian seminggu lagi kamu akan menikah dengan tuan Ed," ujar Milly — ibu tiri Elea.
Elea menarik napas panjang, hingga akhirnya mengangguk. Ada baiknya dia ikut dan tinggal dengan calon suaminya, daripada bertahan di rumah ini, tetapi selalu diperlakukan bak pembantu oleh ibu dan kakak tirinya.
"Baiklah, Om," jawab Elea.
* * *
Mereka sampai di rumah mewah Jeremy. Elea berdecak kagum melihat bangunan mewah bertingkat itu. Seumur hidup, dia baru pertama kali melihat bangunan mewah dan besar seperti yang ada di depannya ini.
"Wah, ini rumahnya, Om, besar sekali!" seru Elea celingak-celinguk seperti orang kampung.
"Mulai sekarang, ini juga rumah kamu, Lea," jawab Jeremy terkekeh karena menurutnya Elea sangat lucu dan menggemaskan.
"Memang bisa begitu, Om?" tanya Elea.
"Tentu saja bisa," jawab Jeremy tertawa pelan. "Ed, bawa Lea ke kamarnya!" perintah Jeremy.
"Iya, Pa." Lelaki itu hanya menurut, walau sebenarnya dia malas sekali.
Elea mengikuti calon suaminya. Gadis itu tak henti-hentinya berdecak kagum melihat betapa mewahnya rumahnya.
"Ini kamar kamu!" ucap lelaki itu.
"Besar sekali, Om!" serunya dengan mata berbinar-binar. Ukuran kamar ini jauh lebih mewah dari yang biasa dia tempati.
Lelaki itu melirik Elea sekilas, lalu melanjutkan langkah kakinya.
"Pakaian kamu ada di dalam lemari," ujarnya.
"Eh, kapan pakaian Lea ada di sana, Om? Perasaan Lea tidak bawa barang?" tanya Lea bingung.
Pria itu menatap Lea tajam ketika mendengar gadis itu memanggil dirinya om.
"Kamu panggil saya apa?" tanyanya dengan wajah yang dingin seperti bongkahan es. Belum menikah saja gadis ini sudah berulah dan membuat dirinya darah tinggi.
"Panggil om," jawab Elea jujur.
Tak ada sahutan, tetapi wajah lelaki itu jelas terlihat kesal. Mungkin dia tidak bisa mengutarakan isi hatinya yang dongkol, ketika Elea memanggil dirinya om.
Elea menelusuri kamar barunya. Dia naik ke atas kasur lalu melompat seperti anak kecil.
"Kasurnya empuk, Om. Beda sama kamar Lea di rumah!" serunya lalu berbaring terlentang.
Sementara lelaki itu menggeleng, tanpa sadar dia tersenyum melihat tingkah gadis yang akan menjadi calon istrinya itu. Entah bagaimana nasibnya nanti menikah dengan gadis sekecil itu? Masih muda dan terlalu kekanak-kanakan.
Tak mau melihat tingkah calon istrinya itu, dia berbalik dan hendak keluar.
"Om mau ke mana?" tanya Elea hingga membuat langkah kaki pria tampan itu terhenti.
"Kenapa?" tanyanya tanpa berbalik.
Elea turun dari ranjang lalu berjalan ke arah lelaki itu.
"Kenapa Om mau nikah sama Lea?"
Bersambung ...