MAURA OSVALDO

1499 Kata
Sebuah mansion berdiri megah di pinggiran kota New York. Mansion itu milik seorang bangsawan terwahid di negara ini. Keluarga bangsawan yang termasuk kerabat dekat dengan kerajaan di negara ini, memiliki gelar bangsawan seorang Duke dan Duchess. Duke Benjamin Romero Osvaldo. Istrinya Duchess Maura Laurentia Osvaldo. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putri cantik yang masih berusia lima bulan, saat ini keluarga itu baru dibina hampir dua tahun, namun pertengkaran selalu terjadi hampir setiap hari, ditambah dengan pukulan fisik dan barang yang pecah. Mansion itu menemukan ketenangan dan kedamaian hanya di saat sang Duke sedang melakukan perjalanan dinas keluar kota ataupun keluar negeri.   Sang Duke adalah seorang suami yang over protective terhadap istrinya, Duchess selalu dilarang keluar rumah sendirian tanpa alasan yang kuat dan urusan penting. Duchess dilarang berbicara apalagi berteman dengan pria manapun termasuk pada bodyguardnya sendiri juga. Duchess selalu memberi perintah kepada para pengawal dan sopirnya melalui asistennya. Duke Benjamin bagai memiliki gangguan jiwa, sesaat marah besar namun sesaat kemudian menjadi lembut dan penuh penyesalan. Semua asisten rumah tangga di mansion itu hanya bisa berpura-pura menutup mata dan telinga, tak mampu melakukan sesuatu untuk membela ataupun melindungi sang Duchess dari amarah bahkan pukulan sang Duke. Siang ini sang Duke sedang dalam perjalanan pulang dari dinasnya di Moscow. Sebentar lagi pesawatnya akan mendarat. Duchess Maura segera mampir ke cafe untuk membeli secangkir cappucino kesukaan sang Duke. Duchess Maura seakan melihat pria yang sudah menolongnya dan berniat untuk mengucapkan terima kasih pada pria itu. Duchess Maura lalu berjalan menghampiri pria itu, dan setelahnya dia bertukar kartu nama dengan pria itu. Duchess Maura segera pergi meninggalkan cafe itu lalu menuju ke bandara untuk menjemput suaminya.   Sang Duke turun dari pesawat pribadinya dan langsung tersenyum melihat istri dan anaknya yang datang menjemput tanpa terlambat. Duke Benjamin Segera memeluk pinggang istrinya dan mencium pipi istrinya lalu anaknya yang ada dalam gendongan istrinya. "I Miss you Maura." Ucap Duke Benjamin. "I Miss you too Ben." Sahut Duchess Maura dengan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang tepat waktu hari ini. Mari kita pulang, aku sangat lelah." Ucap Duke Benjamin. "Aku sudah membelikanmu cappucino untuk menghilangkan sedikit rasa lelahmu." Sahut Duchess Maura, dan sang Duke tersenyum senang.   Sesampai di rumah sang Duke masih lembut memperlakukan sang Duchess, namun emosinya seketika menjadi meledak saat Duchess Maura hendak mengeluarkan smartphonenya dari tasnya dan tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kartu nama seorang pria dari dalam tasnya. Duke Benjamin segera mengambil dan membaca kartu nama itu. "Siapa dia?!" Tanya Duke Benjamin pada istrinya. "Dia yang saat itu menolong baby Quinzy saat keretanya hendak tertabrak bis." Sahut Duchess Maura.   Jawaban Maura bukan meredam emosi Ben, tapi malah justru menambah emosinya meninggi. "Jadi kau sengaja bertemu lagi dengannya saat aku tak ada di rumah?!!!" Bentak Ben. "Tidak,tidak! Kau salah! Aku tak sengaja bertemu saat membeli capucino untukmu tadi. Tapi itu hanya saling menyapa saja sekalian aku mengucapkan terima kasih padanya atas pertolongannya." Sahut Maura.   Plak!! Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi Maura. "Beraninya kau berbohong!!! Kalau kau hanya berterimakasih padanya, lalu kenapa dia sampai memberimu kartu namanya ini?!!! Kau pasti sudah menggodanya dan dia ingin kau datang ke rumahnya!! Begitu kan?!!!" Amarah Ben tak lagi terbendung.   Maura segera meminta asistennya untuk membawa baby Quinzy ke kamar baby dan menyuruhnya mengunci pintu dari dalam, dan tidak boleh keluar sebelum Maura yang mengetuk pintu. Asistennya langsung mengerti dan segera meninggalkan ruangan itu.   "Ben, kumohon tenangkan pikiranmu. Kau kelelahan sehingga tak bisa berpikir jernih. Istirahatlah dulu, kita akan bicara lagi nanti saat kau sudah tidak lelah." Ucap Maura sambil mengelus lengan Ben, mencoba menenangkan emosi suaminya meski panas di pipinya bekas tamparan itu terasa sangat perih. Ben langsung menampik tangan Maura dengan kasar dan mendorong Maura hingga terjatuh sedikit terbentur kaki meja yang ada di ruangan itu. "Kau jangan mencari alasan untuk menghindari aku! Katakan padaku apa yang sudah kalian lakukan saat aku tak ada di rumah?!!! Dasar jalang!!!" Bentak Ben mengumpat kasar pada istrinya. "Percayalah Ben, dia bukan siapa-siapa dan aku tak ada hubungan apapun dengannya Ben, kumohon percayalah padaku..."  Maura menangis memohon sambil memegang kaki Ben.   Ben tak ada rasa iba sedikitpun, dia menendang Maura dengan kasar sehingga Maura kembali terpental jatuh dan menabrak ke kursi di dekatnya. Ben lalu berjongkok mendekati Maura, dan menjambak rambut Maura menarik tangannya ke belakang dengan kasar. "JANGAN BERBOHONG!!! KAU SELINGKUH DI BELAKANGKU KAN??!!! APA KAU MASIH KURANG DENGAN SEGALA FASILITAS DAN HARTA YANG AKU BERIKAN?! HAH?!!!" bentak Ben berteriak tepat di wajah Maura. Ben lalu mendorong kepala Maura dengan kasar sehingga wajah Maura terbentur di lantai ke depan.   Ben kembali menarik rambut Maura dengan kasar, mengangkat wajahnya sehingga Maura menatap ke arah Ben. "Kenapa kau tak pernah puas hanya dengan cintaku saja maura?! Kenapa kau harus selalu mencari kedekatan dengan pria lain?!" Ucap Ben lagi lalu menampar wajah Maura dengan tangan satunya lagi. Ben lalu mendorong lagi kepala Maura, hingga Maura kembali terjerembap wajahnya menabrak ke lantai. "Akan kuhancurkan pria yang sudah berani menggoda istriku!!!" Ucap Ben lalu pergi meninggalkan istrinya setelah dia mengambil kartu nama yang terjatuh tadi.   Maura menyadari kemana Ben akan pergi. Maura langsung bangkit meraih tasnya tak peduli dengan segala rasa sakit di wajah dan tubuhnya, dia segera menyusul suaminya. Maura tak mau terjadi lagi sebuah pembunuhan seperti yang dilakukan suaminya dulu saat Maura tak sengaja bertemu dengan pria yang merupakan teman kuliahnya dulu. Duke Benjamin pernah membunuh seseorang tapi kasusnya tak dilanjutkan karena dia berhasil menyuap keluarga korban dengan banyak uang. Laki-laki lain yang terlihat atau diketahui berbicara dengan Duchess Maura pun akan langsung dihajar oleh Duke tanpa ampun.  Benar dugaan Maura saat dia berhasil mengikuti mobil suaminya. Langkah Maura tertunda karena lift yang dinaiki Ben sudah menutup dan naik keatas. Maura melihat dimana lift itu berhenti, lalu Maura segera menyusul saat lift kembali terbuka untuknya. Maura terlambat memasuki ruangan pria yang bernama Dixie itu. Pria itu sudah terjatuh ke lantai dengan bibir yang terluka karena pukulan dari Ben. Maura berusaha menghentikan suaminya, namun hampir saja dia terkena pukulan lagi jika saja Dixie tidak melindunginya dengan tubuhnya. Maura melihat pria bernama Dixie itu langsung bangkit penuh amarah dan memukul Ben langsung bertubi-tubi. Saat Ben terjatuh meringkuk setengah sadar karena pukulan dari Dixie, Maura berusaha menahan tangan Dixie supaya berhenti memukuli suaminya. Tak lama datang dua orang security bersama seorang wanita, security langsung membawa tubuh Ben keluar dari ruangan itu. Pria bernama Dixie itu menahan sesaat langkah Maura saat hendak menyusul suaminya. Pria itu sangat mengkhawatirkan keadaan Maura, Maura tak percaya dengan tatapan pria itu, tatapannya lembut menenangkan Maura bahkan pria itu hendak memeluk Maura. Maura hampir luluh dengan perhatian pria itu namun dia segera sadar diri dan menjauhkan diri dari pria itu lalu bergegas pergi dari ruangan itu. Langkah Maura sempat terhenti lagi sesaat ketika mendengar pria itu berteriak sambil membanting sesuatu hingga pecah di dalam ruangan tadi. Naluri Maura ingin berbalik kembali pada pria itu, namun logikanya segera teringat akan suaminya. Maura memutuskan untuk kembali menyusul suaminya yang dibawa security tadi.   Malam ini Maura sedang mengompres dan mengobati luka di tubuh dan wajah suaminya, tanpa peduli bahwa dirinya juga butuh diobati. Ben menatap Maura dengan penuh penyesalan, seperti biasanya saat amarah itu sudah reda dan terlampiaskan dengan pukulan atau apapun, maka Ben akan kembali lembut pada Maura.   "Maafkan aku Maura, aku langsung gelap mata memarahimu, itu karena aku sangat takut kehilangan dirimu. Aku sangat mencintaimu Maura, kumohon jangan tinggalkan aku Maura.." ucap Ben dengan lembut menatap Maura. Maura tersenyum melihat sikap lembut suaminya saat ini. Sikap inilah yang Maura dapatkan saat pertama bertemu dan diawal pernikahan mereka, namun semua berubah sejak Maura melahirkan putrinya. "Istirahatlah sejenak Ben, kau pasti kelelahan. Aku akan menyiapkan makan malam untukmu dan membawakannya kemari." Ucap Maura tersenyum saat selesai membereskan segala perlengkapan obat-obatan itu. "Terima kasih Maura. Aku sangat mencintaimu Maura." Ucap Ben dan Maura tersenyum mendengar kalimat itu. Setelah memastikan Ben sudah beristirahat terlelap dalam tidurnya, Maura mengetuk pintu kamar bayinya. Lidya, asisten pribadinya membukakan pintu kamar itu. Maura segera masuk untuk menengok bayinya.   "Madam, apa anda baik-baik saja?" Tanya Lydia khawatir melihat luka lebam di wajah majikannya. "Aku tak apa Lidya, terima kasih kau sudah menjaga baby Quinzy. Sekarang kau boleh pulang Lidya." Sahut Maura tersenyum pada Lidya. "Ijinkan saya mengobati luka anda terlebih dahulu madam, sebelum saya pulang." Ucap Lidya khawatir dan beranjak mengambil kotak obat-obatan. Akhirnya Lidya membantu mengobati luka Maura dan baru pulang setelah selesai mengobati.   Maura menatap ke arah baby nya dan teringat kembali perkataan Dixie tadi sore. Benar sekali perkataan Dixie bahwa Ben suatu saat nanti bisa saja membunuh Maura tanpa sadar. Maura merasa bergidik ketakutan, saat memikirkan bagaimana nasib putrinya jika Maura  terbunuh oleh Ben. Tapi Maura tak mampu berbuat apapun, sebagai seorang Duke, Ben sanggup membayar seluruh kepolisian untuk tidak menerima laporan kekerasan yang Maura laporkan. Bercerai juga tak mungkin, Ben tak akan mungkin mau menceraikan Maura dalam keadaan hidup dan sehat. Kabur? Yang terakhir kali saja langsung ketahuan hanya beberapa jam setelah Maura meninggalkan rumah bersama baby nya. Maura menangis tak tahu apa yang harus dia lakukan. Putrinya harus segera diselamatkan meskipun dirinya tak bisa diselamatkan lagi dari Ben. Namun kemana dan pada siapa Maura  bisa meminta bantuan? Keluarga besar mereka pun tak ada seorangpun yang berani melawan sikap arogan yang Ben miliki.   Maura hanya bisa menangis dan berdoa supaya Tuhan selalu menjaganya dan segera mengirimkan bantuan padanya juga baby nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN