Jakarta, pukul 06.45 a.m. WIB
"Ma ...! Kaus kakiku hilang lagi!" teriak Lisa heboh saat menuruni anak tangga menuju meja makan dengan wajah cemberut kesal. Seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya sedikit bergoyang mengikuti langkah kakinya yang jenjang.
"Astaga, Lisa! Kemarin dasi yang hilang. Sekarang kaus kaki yang hilang. Besok, itu otak jangan sampai hilang!" sahut Sonya sembari menata masakannya di atas meja.
"Padahal sudah aku simpan di dalam lemari, Ma!" Lisa berucap sebal. Meraih roti selai cokelat di hadapannya, lantas menggigitnya sedikit.
"Kalau sudah disimpan, seharusnya ada dong! Gak mungkin itu kaus kaki jalan sendiri!" Sonya memosisikan diri untuk duduk di hadapan Lisa.
"Selamat pagi, honey bunny kesayanganku." Rendra, selaku kepala keluarga berucap dengan cengiran lebar.
"Pagi, Sayang," jawab Sonya kelewat lembut.
"Pagi, Pa!” Lisa menjawab malas sembari memutar kedua bola matanya dengan enggan.
"Wah ... masakan bidadari papa seperti hidangan surga." Redra menatap hidangan istrinya itu dengan kedua mata yang berbinar terang.
"Ah ..., pangeran mama bisa saja," ucap Sonya yang tersipu malu.
Lisa yang berada di antara kedua pasangan suami istri yang tengah berdrama ria itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Omong-omong, di mana pangeran, Papa?" tanya Rendra menyadari keluarganya tidak lengkap.
"Oh iya, di mana Rezha?" timpal Sonya yang juga baru menyadari anak pertamanya tidak ada di ruang makan.
"Lagi gelanyutan di pohon pisang belakang rumah kali!" sahut Lisa sembarangan sembari mengunyah roti selainya.
Rendra dan Sonya yang mendengar celetukan tak masuk akal dari putrinya itu hanya bisa menggelengkan kepala. Namun ketiganya langsung menoleh saat mendengar suara langkah kaki Rezha yang menggema. Melototkan mata saat melihat tingkah Rezha yang berlari dari lantai dua menuju lantai satu dengan kecepatan ekstra.
"Astaga, Rezha! Jangan lari-larian! Nanti kamu jatuh, Sayang," tegas Sonya yang melihat cemas putra pertamanya itu.
"Hehe, tenang, Ma. Gini-gini Rezha atlet terjun payung," jawab Reza dengan menampilkan deretan giginya yang kelewat rapi. Menempatan diri untuk bergabung sarapan, sembari mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan.
Rendra lagi-lagi menggelengkan kepalanya yang sedikit botak.
"Boro-boro terjun payung! Naik bianglala aja ngerengek minta diturunin!" semprot Lisa tanpa mengalihkan pandang dari roti yang berada di tangannya.
Senyum semringah yang menghiasi bibir Rezha mendadak memudar. Ia menatap adik perempuannya itu dengan tajam.
"Apaan sih, lo! Ngikut mulu kayak geledek!"
"Bodo amat! Yang penting cantik!" jawab Lisa seraya memasukkan potongan roti terakhir ke dalam mulutnya.
"Adek, Kakak!" Sonya melotot pada kedua anaknya yang mulai beradu debat.
Lisa mendesah panjang. Meraih s**u cokelat hangat buatan mamanya, kemudian beranjak dari duduknya menuju teras rumah untuk memakai sepatu. Hari ini ia terpaksa memakai kaus kaki putih bergaris merah muda dengan hiasan beruang bewarna cokelat di pojok kanan atas. Karena hanya itu satu-satunya kaus kaki bewarna putih yang tersisa di lemarinya.
Tak lama, Rezha menyusul langkah Lisa. Keduanya berpamitan pada orangtuanya secara bergantian. Raut wajah Lisa tak kunjung semringah. Ia terus menekuk wajahnya hingga membuat siapapun ingin menendang wajahnya itu.
"Lisa, Buruan!" gertak Reza yang telah siap dengan motor hitamnya.
"Berisik!" sahut Lisa yang mulai kehilangan kesabaran.
Lisa beranjak lesu menuju motor kakaknya. Namun, kedua kakinya langsung berhenti bergerak. Sepasang mata bulatnya melebar tak percaya. Wajah Lisa memanas. Kedua tangannya pun terkepal dengan erat. Emosi Lisa langsung terasa naik hingga ke ubun-ubun.
"DASAR MONYET JELEKKK!!!"
Lisa berteriak sangat keras hingga membuat kedua orangtuanya beserta Rezha menutup telinganya masing-masing yang terasa berdengung menyakitkan. Memang, Lisa diberi kelebihan oleh Tuhan melalui pita suaranya yang mampu mengalahi toa masjid itu.
"Apaan sih!" Rezha mengumpat sembari memukul-mukul kedua telinganya. Berharap suara lengking lisa keluar dari gendang.
"KAUS KAKI GUE!!!" teriak Lisa dengan menunjuk benda yang melekat di kedua kaki Rezha dengan penuh emosi.
"Kaus kaki apaan? Jangan ngaku-ngaku, deh!" balas Rezha dengan acuh.
"Eh, elo tuh, udah salah, gak mau ngaku lagi?! Itu kaus kaki gue! Ada jahitan warna merah di pojok kanannya! Gue sengaja jahit biar gak ketuker sama punya lo!" jelas Lisa menggebu-gebu. Bahkan dadanya terlihat naik-turun dengan wajah putihnya yang memerah.
Rezha menatap ketir kaus kaki yang melekat di kedua kakinya itu. Dengan ragu, Rezha mengarahkan pandang ke arah kedua orangtuanya dengan wajah teraniaya, memberikan sebuah kode agar mereka menolongnya dari gadis cerewet yang tengah mengamuk pada pagi hari yang indah ini.
Sonya yang mengerti bahwa nasib anak pertamanya di ujung tanduk langsung menghampiri Lisa dan mengelus pundaknya dengan lembut.
"Sudahlah, Lis. Sekarang cepat berangkat, nanti telat, loh!" ujar Sonya mencoba meredakan amarah anak perempuannya itu.
"SUDAH?! Segitu saja?!" teriak Lisa dan membuat Sonya kembali menutup telinganya.
"Ma, gara-gara dia, Lisa terpaksa pakek kaus kaki kayak anak TK yang baru tumbuh gigi! Malu, Ma!" teriak Lisa dengan mencak-mencak di tempatnya.
"Iya-iyaa, i-ya, Sayang," jawab Sonya sedikit ketakutan melihat kemarahan pada netra anak bungsunya itu.
"Lagipula, Mama sudah membelikan kalian kaus kaki per anak sepuluh pasang! Pada ke mana?" tanya Sonya tajam seraya menatap Lisa dan Rezha secara bergantian.
"HILANG!!" jawab Lisa dan Rezha bersamaan.
“Hilang? Emang kalian buat apa sampai hilang?"
"Dibuat tikus lahiran kali, Ma," jawab Rezha seadanya.
Sonya yang mendapat jawaban tak masuk akal tersebut hanya bisa mendesah kasar sembari memutar kedua bola matanya dengan malas.
"Cepat lepas, gak?!" bentak Lisa dengan mata yang melotot ke arah Rezha.
"Lepas apa, sih?" tanya Rezha dengan gaya sok polos.
Lisa kian menatap geram pria menyebalkan yang berada di atas motor itu. Cuping hidungnya semakin bergerak cepat.
"Kaus kaki lah, b**o! Gue pakai kaus kaki gue, dan lo, pakai kaus kaki ini!" bentak Lisa sembari menunjuk salah satu kakinya.
Rezha menatap sejenak kaus kaki yang melekat pada kedua kakinya. Namun ia segera mengalihkan pandang menuju spion motornya.
"Ogah, ah!" jawab Rezha sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Tulang rahang Lisa langsung mengeras dengan napas yang kian sesak setelah mendengar ucapan menyebalkan itu.
"Oh ... jadi, lo gak mau? Oke!" Lisa sedkit menunduk untuk melepas sepatu pada kaki kanannya. Dengan kecepatan kilat, Lisa langsung melayangkan serangannya dan jatuh tepat mengenai kepala Rezha.
Gubrakk
"Rezha ...!" Kedua mata Sonya terbelalak saat melihat Rezha dan motornya jatuh mengenaskan.
"Sakit, Bangke!" aduh Rezha memegangi kepalanya yang terasa nyeri.
Rendra yang berada di tempat kejadian langsung berlari tergesa-gesa untuk menolong putranya itu.
"Apa? Mama masih menyalahkan, Lisa?" tanya Lisa sengit saat Sonya melototinya.
Sonya yang mendapat tatapan tajam dari anak perempuannya langsung menelan ludah dengan susah payah.
"Pintar, Sayang," sahut Sonya sembari mengangkat kedua ibu jarinya. Meskipun dengan hati setengah ikhlas.
Seringai tipis terlukis pada sudut bibir Lisa. Rendra menatap tajam putrinya itu, namun beliau segera menepisnya saat mendapat pelototan yang lebih tajam dari Lisa. Dengan langkah santai, Lisa memungut sepatunya yang terletak tak berdaya. Ia menatap Rezha dengan seringai puas sembari menepuk-nepuk debu yang tertempel pada sepatunya.
Rezha membalas seringai yang tertera pada wajah Lisa dengan tatapan malas. Tangannya terkepal, ingin sekali menjitak keras kepala adiknya hingga amnesia. Setelah memasang sepatunya, Lisa langsung meloncat naik ke atas motor, membuat Rezha dan motornya sedikit oleng, namun berhasil Rezha tahan menggunakan salah satu kaki terkuatnya.
"Mau mati?!" bentak Rezha yang mulai kehilangan kesabaran.
"Lo, tanya gue?" jawab Lisa datar.
Rezha menggerang frustrasi. Darahnya dibuat mendidih setiap paginya. Tanpa basa basi, Rezha memasang helm di kepalanya. Ia memberikan helm satunya kepada Lisa tanpa menoleh ke belakang. Bahkan anak itu sedikit melemparnya, dan ditangkap sempurna oleh Lisa.
"Cepat, jalan!" perintah Lisa setelah memasang cantik helm yang ia terima.
Seketika itu, sudut bibir Rezha menyeringai. Tanpa adanya aba-aba, Rezha langsung menarik gas dalam yang membuat punggung Lisa tertarik ke belakang, dan nyaris saja terjengkang dari motor.
"Monyet, gilaaa!!!"
Di balik helmnya, Rezha tersenyum puas. Bahkan anak itu kini mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Kadang ia gas dalam, dan kadang ia rem mendadak. Membuat tubuh Lisa terjengkang berkali-kali. Lisa bahkan harus menyeimbangkan tubuhnya dan mencengkeram kuat seragam Rezha jika tidak mau tubuhnya terpental mengerikan.
Sonya dan Rendra hanya bisa berkacak pinggang dengan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua anaknya yang tak pernah akur itu.
"Dasar, anak Papa!" ucap Sonya dengan bibir yang mengerucut sedih.
"Enak saja, anak Mama juga tahu!" jawab Rendra tak mau kalah.