Hari yang panjang 2

1104 Kata
"Kamu melamun lagi." Aku mengangkat wajah dan menemukan Al yang sedang menikmati makan siangnya. "Setiap kamu memikirkan sesuatu secara cermat, kamu tenggelam di dalamnya. Kebiasaan itu harus dirubah Qiya. Aku yakin kamu tak akan sadar seandainya orang mengambil barang berharga dari tasmu saat kamu melamun." Al meletakkan minuman di samping tangan kananku yang masih menggenggam pulpen. "Mau pesan makanan juga?" Aku menyedot isi gelas tinggi yang diberikan Al. Melegakan sekali bagi tenggorokanku yang seperti dipenuhi bongkahan air mata. Padahal mata yang menangis, tapi tenggorokan yang terdesak. "Aku masih kenyang." Al melanjutkan makannya dan aku meneruskan poin-poin yang tercatat. Apa lagi yang ingin kutulis? "Dia, anakku. Jangan masukkan apapun tentang bayi di dalam perjanjian itu." Al mengunyah makanan lalu tiba-tiba mengangkat tangan sambil mengunyah lebih cepat. Aku menunggu kalimatnya. Pasti ada yang ingin dia katakan. "Pelan-pelan saja. Aku bisa menunggu." Al meneguk air mineral. "Bagaimana ini? Aku, belum siap jadi ayah!" Al tampak tak biasa, sedikit histeris sepertinya. "Tapi anak-anak butuh kasih sayang keduanya. Astagfirullah." Aku tertawa. Demi Allah, dia beristigfar. Hal terakhir yang bisa diucapkan atas kacaunya kehidupan lajang selamanya. "Qi...!" Aku mengangkat tangan, intrupsi. Menyelesaikan kebahagiaan singkat atas ekspresi shock-nya. "Syukurlah kamu sudah makan saat menyadari hal ini. Tenang. Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah untuknya." Al memijat keningnya, "Aku tau maksudmu tak sama yang kumaksud. Dan, tak perlu menyangkal, kamu juga paham apa yang kumaksudkan. Kita berdua dari keluarga yang mirip intinya." Aku hanya mengangguk tanpa kata. Dia benar. Al sepenuhnya benar. Mbak Hira juga sudah mengingatkanku untuk memilih laki-laki yang mencintai anak-anak. Katanya, komunikasi rutin anak dengan ayahnya akan merangsang perkembangan berbicara lebih cepat daripada berinteraksi dengan ibunya. Katanya, anak laki-laki akan menjadikan ayahnya sebagai role model, sementara anak perempuan akan menjadikan ayahnya sebagai cinta pertama. "Melamun lagi," suara Al terdengar memecahkan lamunanku. "Aku bisa meninggalkanmu sekarang juga dan kamu pasti akan ditemukan sebagai mayat besok pagi." Al menatapku dengan pandangan sinis, "Dan aku adalah tersangka utama." Aku tak bisa mencegah senyumanku muncul kepermukaan. "Bagaimana mengendalikan lamunan?" "Cobalah periksakan diri ke rumah sakit. Cari dokter spesialis kejiwaan." Al berdiri, "Poin-poin itu bisa kita teruskan di taman atau tempat sepi yang kamu ketahui. Pikirkan tempatnya. Aku bayar dulu." Aku ingin ke tempat yang sejuk dan cukup dekat dari kontrakanku. Aku menyerahkan buku dan pulpen padanya setelah dia kembali dari meja kasir, "Kita perlu ke Girimaya." "Lapangan golf?" Tempat itu banyak pohonnya dan sepi. Siang hari seperti ini, pada hari senin yang dibenci sebagian besar orang, dan sebagian orang lainnya menyesali minggu yang cepat berlalu. Kami menuju ke sana. Tempat itu sempurna untuk menenangkan pikiran. Aku tak ingat saat terakhir kali ke sana, tapi aroma sekitarnya seolah sudah terasa di hidungku. Bukan, ini bukan aroma hutan di sekitar pemukiman. Aku memejamkan mata, menyesapnya lebih lama. Ini aroma menenangkan. Aku membuka mata dan sepenuhnya sadar diriku sudah benar-benar gila. Dia Al, bukan El. Mereka sepertinya memiliki minyak wangi dengan aroma yang sama. Tapi, kenyataannya Al lebih cocok dengan aroma ini daripada El. Lebih cocok? Lebih kusukai, sebenarnya. Al membawa motor dengan kecepatan rata-rata pengguna jalan yang tak terburu-buru. Dia tak mengucapkan apapun. Oh! Aku mungkin tahu alasannya. Saat bicara sambil berkendara mungkin saja percikan liur tak sengaja terbawa angin, ya kan? Apabila mendarat di wajah lawan bicara yang kebetulan lawan jenis tentu memalukan. Aku tertawa. Pemikiran ajaib ini membuatku tertawa. "Ada apa tiba-tiba tertawa?" tanya Al terdengar curiga. Aku tak bisa menjawab karena merasa hal itu teramat lucu. "Baiklah, kamu bisa menertawai apapun," sambung Al pasrah. Ia menyerah setelah beberapa saat tak mendapatkan jawaban. Punggungnya tepat di depan mataku. Tak sangat lebar, tapi cukup lebar daripada seseorang lainnya. Mbak Hira, saudariku. Aku butuh dia dan nasehat tak masuk akalnya untuk menilai laki-laki ini. Dia tak pernah dianggap cerdas oleh siapapun, tapi selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Mbak Hira mungkin langsung merestui Al sebagai pendamping hidupku meskipun beliau tak akan pernah tahu yang sebenarnya sedang terjadi kepada aku dan Al. Mbak Hira menikah dengan Mas Hamka. Laki-laki sempurna yang terlalu sempurna untuk Mbak Hira-ku yang biasa-biasa saja. Mereka hidup bahagia, dengan sedikit tekanan batin dialami Mbak Hira karena tuntutan kesempurnaan dari suaminya dalam banyak hal. Mbak Hira punya tiga poin untuk dicari dalam diri calon suami : Menjaga solat. Tidak merokok. Sayang kepada ibunya. Dan Mas Hamka adalah jawaban dari doa dan keinginannya. Al juga memiliki ketiga hal itu. Mungkin. Sepertinya begitu. Al banyak membicarakan tentang golf seolah dia termasuk salah satu orang yang bisa dan sering berkecimpung dengan bola dan tongkat golf. Aku sama sekali tak menyimak karena tak paham juga tak berminat. Kami memilih berjalan kaki di aspal sambil di temani suara burung dan lapangan golf yang terbentang di kanan jalan, daripada duduk di satu tempat dan membuat b****g kram. "Kapan pernikahan dia?" tanyaku mengalihkan topik dari membahas golf. "Kurang dari dua pekan." Al menghentikan langkah, "Kita harus lebih dulu." Senyum tiba-tiba menampilkan lesung pipinya. Al mengayunkan langkah kakinya kembali. "Aku berencana datang ke pernikahannya denganmu dan selembar undangan pernikahan kita." Katanya kami akan menikah lebih dulu? Lalu... "Untuk apa membawa undangan pernikahan kita yang sudah selesai diselenggarakan?" "Undangan itu, hadiah pernikahan untuknya dariku. Aku akan membingkainya dengan kayu dan kaca. Hadiah yang sangat istimewa," jelasnya puas. Aku terhenyak oleh kelicikannya yang sangat totalitas membalas dendam. "Idemu sangat cemerlang." "Dia akan patah hati dua kali lebih banyak daripada yang diberikannya kepadaku." Al berjalan mundur dengan wajahnya menghadapku, "Bagaimana rencana balas dendammu?" "Aku gak punya rencana," jawabku singkat, apa adanya. "Qiya, kamu harus lebih optimis. Bangkitlah." Aku tak punya semangat untuk optimis ataupun bangkit. Tapi aku terus berjalan, langkah kakiku dan waktu hidupku, berlanjut. Al menunjuk seutas akar yang menjuntai cukup tinggi di dekatku. "Coba raih itu." Aku berdinjit, tak sampai. Aku melompat juga tak sampai. Aku menyerah. "Terlalu tinggi untukku." Al tersenyum kemudian berlari ke arahku dengan cepat. Aku tentu saja langsung menyingkir seblum ditabrak olehnya. Al lalu menyentuh akar itu dengan senyuman disela napasnya yang memburu. Dia mendekatiku lalu membuka genggaman tangannya. Di atas telapak berkulit putih kemerahan itu ada beberapa akar yang terputus. "Raihlah. Kalau satu dan dua cara gagal, kamu bisa mencoba cara ke tiga. Kalau itu juga gagal, carilah sudut lainnya sampai kamu benar-benar meraih apa yang kamu inginkan." Aku cukup terhibur atas motivasinya. Aku melihat ke belakang Al, pohon tempat akar rambat itu mulai menjalar. Aku mengambilnya dan memberikan kepada Al. "Caraku." Al tersenyum mengangguk, "Kalau kamu mau yang di atas, pakai kayu atau kursi." Aku menggeleng, "Kalau aku mau yang di atas, aku akan menebang pohonnya." Al tertawa. Suara tawanya menggema di sepanjang jalan dan sekitar kami. Aku tersenyum memperhatikannya. Setidaknya, aku bisa membuatnya tertawa, sekali. Setelah berhasil menarik kami berdua dari putus asa dan kematian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN