Setelah berada di dalam mobil lagi kudengar Al menghembuskan napas, sangat jelas dan keras. Dia lalu tersenyum kepadaku. "Hari yang panjang."
"Kenapa kita gak pake motor Ibu aja? Kamu bisa 'kan, pake motor?"
"Bisa dong, Qi." Al bergerak, mencari tempat bersandar dengan nyaman. "Kenapa? Aku kayak anak orang kaya ya? Maaf ngecewain. Aku orang yang mencoba kaya dengan kerja keras."
Aku selamanya tak akan kaya dengan kerja keras. Setidaknya selama ini semuanya tercukupi, belum pernah berhutang serta memiliki sedikit dana simpanan. "Apa yang kamu katakan sampai Ibuku setuju sama kamu?"
Al menggigit bibirnya, seolah menahan senyuman. "Hanya kalimat yang diperlukan."
"Aku mencurigaimu."
"Itu sama sekali gak perlu. Mencurigaiku." Al mendekat, hampir menyandarkan kepalanya di pundakku lalu berbisik, "Kayaknya aku kalo ngelamar anak orang pasti diterima. Kamu paham dong alasannya. Ya, kan?"
Dia memang gila dan luar biasa percaya diri. "Iya, terserah kamu aja."
Al menegakkan lagi duduknya, "Udah lama ya pisahnya?"
"Udah, gak usah nanya lebih jauh. Kita cuma nikah."
"Dan gak berniat bercerai," tambahnya santai.
Aku memang mengatakan hal seperti itu, meniatkannya juga. Tapi aku tak ingin dia terlalu mengenalku, setidaknya dia jangan mengetahui semua aib keluargaku. Semua ini membuat kepalaku pusing. "Kita ke mana?"
"Ke tempat makan." Al menghadapkan tubuhnya kepadaku, "Kamu kok gak takut sama aku? Gak pernah mikir aku orang jahat gitu?"
"Aku berencana menemui malaikat maut, ingat. Kamu gak ada apa-apanya. Aku cuma mikirnya kamu orang gila dan sinting."
"Oh. Terus mau dinikahin sama orang gila dan sinting ini?" tanyanya sangat menjatuhkan harga diri.
"Kepepet aja ini."
"Gitu ya."
Aku menghadapnya juga, "Selagi belum malam kita bisa membahas isi perjanjian pra-nikah yang disetujui bersama." Al mengangguk saja. Tak ada tanda-tanda akan melanjutkan percakapan. Aku mengisi jeda dengan melihat ke luar jendela di belakangnya. "Makan di mana?" tanyaku menyadari rute perjalanan kami yang menjauh dari pusat kota.
"Ke kontrakanku dulu. Setelah itu kita bisa pergi dengan motorku. Saat kita menulis perjanjian itu, kalau aku lupa, ingatkan aku untuk memasukkan poin 'tidak boleh bertanya hal yang sudah pernah ditanyakan, yang tidak ingin dijawab'."
"Aku akan sangat menghargai poin itu." Sepenuhnya aku ingin menerapkan batasan untuk mengorek aib satu sama lain. "Di mana kamu akan bekerja senin depan?"
"Aku tidak ingin menjawab," katanya merubah posisi duduk menghadap ke depan.
"Kita bahkan belum menulisnya," sahutku sebal. "Jadi, orang lain boleh tau di mana kamu bekerja, tapi calon istrimu tidak?"
"Istri, ya." Al menghela napas, meletakkan siku di jendela mobil lalu memangku dagu. "Marketing, di salah satu dealer mobil. Jawab begitu saja. Gang depan, belok kiri, Pak."
Sopir yang satu ini terlihat lebih muda dan pendiam dari yang sebelumnya. Yang paling penting dia sepertinya tidak berminat dengan pembicaraan pribadiku dengan Al.
"Kami turun di sini saja," kata Al membuka dompetnya lalu memberikan sejumlah uang. "Terima kasih, Pak."
"Terima kasih, Pak," ucap sopir itu dengan ekspresi takjub. Dia tampak senang dan bersyukur.
Kami turun dan aku menunggu di depan teras kontrakannya selagi Al masuk rumah. Ada beberapa orang muncul di sekitar halaman kompleks tersebut. Ibu-ibu yang tersenyum menyapa. Di ujung kontrakan yang lain, ibu-ibu tampak mengambil sapu lidi dan mengais tanah tertutup beberapa lembar daun kering. Bisa dipastikan aku akan jadi bahan ghibahan mereka sesaat lagi.
"Ayo!" Al menyerahkan helm. "Aku membawa buku dan pulpen juga. Jangan sampai mereka mendapat lebih banyak hal untuk disebarkan," ucapnya dengan suara pelan. "Mereka sangat baik, tapi mulutnya tak bisa diam."
Aku tertawa. Hal-hal semacam ini hampir selalu menjadi lingkunganku. Aku sangat paham semua yang dikatakannya.
Al memanaskan mesin beberapa saat lalu memintaku naik di boncengan setelah dia menurunkan pijakan kaki belakang di kiri dan kanan motor dengan tangannya. Aku tertegun, terharu dan tersentuh oleh tindakan kecilnya itu. El seringkali perlu diingatkan dulu sebelum kami bepergian bersama.
"Naik, Qiya. Demi Tuhan aku lapar, nyaris kelaparan."
Aku duduk menyamping sambil menahan tawa dengan menutup mulutku. Dia tampak murka.
"Pegangan!"
Aku terkejut oleh hentakan suaranya, refleks mencengkram bagian pinggang jaketnya. Tanpa menunggu lagi, Al langsung menginjak pedal persneling.
"Awasi gamismu," ingatnya dengan nada kesal, tapi tak semarah tadi.
Aku mengeratkan genggaman pada jaketnya, sementara tangan lain menggenggam bagian bawah gamisku yang menjuntai. Aku khawatir angin akan melayangkanku dari boncengan. Al sepertinya memang kelaparan. Dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku tau tak seharusnya aku merasa takut kami akan mengalami kecelakaan setelah beberapa waktu lalu berniat bunuh diri. Tapi saat ini, di jalan raya, bisa saja Al menarik korban lain yang tak berminat meninggal hari ini. Aku berniat mengingatkannya, namun tak kulanjutkan. Aku tak mengenal Al. Peringatanku mungkin saja malah akan mengusik egonya.
Aku masih merasakan debaran jantung yang tak terkendali sampai kami duduk menunggu pesanan disajikan. Tempurung lututku sepertinya genmetar dan kakiku lemas. Sementara Al mengetuk-ngetuk telunjuk di meja. Ekspresinya kesal, tak sabar dan bosan. Aku mengalihkan mata kepada sekeliling. Aku tahu tempat ini, pernah beberapa kali menikmati sajian di sini. Tapi belum pernah membawa El.
Sial.
Spontan mengingat laki-laki b******n itu sama sekali tidak menyenangkan. Aku tak akan pernah membawanya ke sini. Laki-laki tak bertanggungjawab itu mungkin tak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di Pulau ini. Pengecut!
"Marahmu, apa sebabnya? Tentu bukan karena lapar. Kamu tadi sudah makan di rumah Ibumu. Mustahil karena aku." Al mencondongkan tubuhnya. Ia menggerakan mulut tanpa suara, membentuk satu kata dari tiga huruf. D I A.
Sial.
Al sangat cerdas menerka situasiku. Dia menyenderkan punggung, bersedekap tangan lalu menegadahkan kepalanya. "Perempuan, cantik dan bodohnya satu paket."
Suaranya pelan, tapi telingaku masih jelas mendengar kalimat itu untuk kedua kalinya hari ini. "Mana buku dan pulpen yang kamu bawa?" tanyaku tak ingin berlama-lama dengan topik itu.
Al mengeluarkan dari jaketnya buku kecil dan pulpen, setengah mendorong benda itu kepadaku. "Dilarang mengambil apapun milikku, terutama dari jenis makanandan barang berharga."
Aku menulisnya. Terbayang olehku satu laci penuh makanan atau... kulkas yang menyimpan persediaan. Pasti salah satunya ada di kontrakan Al.
"Yang kamu pikirkan kemungkinan benar. Aku selalu punya stok makanan." Al lalu memangku dagu di telapak tangannya. "Kerjakan urusan masing-masing. Kecuali sarapan. Anggap saja itu ladang pahala dan waktu perdamaian. Sarapan bersama pasti menyenangkan."
Aku menatapnya. Al sepertinya tidak menyadari kalimat terakhir itu. Terdapat kesan rindu dan sunyi dalam nada setengah berkhayalnya. Aku juga paham keinginan itu. Momen seperti yang kuinginkan untuk anakku, sarapan dengan kedua orang tua kandung. Aku tidak akan mewujudkan hal itu untuk bayi ini. El, ayah kandungnya. Tapi dia dan semua orang mungkin berpikir Al-lah ayah biologisnya. Kemudian aku hanya akan memiliki anak ini sebagai satu-satunya darah dagingku. Aku menulis poin baru : Tidak ada nafkah lahir maupun batin.