Kami berhenti di depan sepetak kontrakan dua pintu. Lumayan berdebar karena khawatir, canggung dan takut. Pertama dan terakhir kali aku membawa laki-laki untuk diperkenalkan dengan orang tuaku ialah saat aku membawa El. Cinta pertama yang pernah kuharapakan menjadi yang terakhir pula. Harapan yang sangat indah dan mulia menjadikannya satu-satunya laki-laki dalam hidupku, yang kemudian aku hanya menjadi koleksinya, tercampakkan. Bangunan di depan sana, aku ingat momen itu, bahagia sejak awal datang sampai kami pulang. Namun, ketika pekan selanjutnya aku datang sendirian, Ibu menunjukkan gelagat berbeda. Bahasan seluruhnya menjadi El dan berbagai nama laki-laki yang kata Ibu anak temannya. Secara tersirat beliau mengisyaratkan kalau anak-anak temannya pilihan yang lebih baik daripada El. Kalau melihatnya saat ini, itu mungkin saja benar. Mungkin, memang benar. El, dia sungguh mengecewakan.
"Kamu yakin ini rumah Ibumu?"
Aku terkejut oleh suaranya. Dia Al, bukan El.
"Setengah menit aku berdiri di sini. Aku setengah menebak, kamu memikirkan saat hari itu dia ditolak. Tenang saja," katanya dengan senyum manis dan sikap santai membungkuk, "Ibumu tidak akan menolak lamaranku."
Aku berhasil menarik sudut bibir untuk menunjukkan dukungan. Rasa percaya diri yang Al miliki sungguh membuat iri. Dia teramat sangat nyaman dengan diri dan hidupnya. Seolah segalanya mudah, dan baik-baik saja. Sikap optimis yang akhir-akhir ini menguap dari diriku.
"Turun, Qiya. Mobil ini sudah pasti sedang ditunggu penumpang lainnya." Nada suara Al sefasih biasa, tanpa meninggi atau merendah, tapi lirikan sopir berhasil memengaruhiku, aku gelagapan segera keluar terburu-buru. "Awas kepalamu...!"
Terlambat. Peringatan Al harusnya disebutkan beberapa detik lebih awal. Bukan aku yang meringis, tapi dia. Saat kepalaku hampir menyeruduk tepi mobil, telapak tangan Al menghalanginya. Jadi, dialah yang tampak mengernyit sakit di punggung tangannya karena berada diantara rangka mobil dan kepalaku. Setelah aku berhasil keluar, Al lalu mengibaskan tangannya di udara sambil menggulung bibir bawahnya sekaligus mempertontonkan dua lesung pipi yang menawan. Satu dari dua hal, dia mungkin akan menggemakan kata umpatan atau tangis lirih jika tak menampilkan ekspresi selucu itu.
"Maaf," ucapku berusaha tak menertawainya, setengah merasa bersalah, setengahnya lagi merasa terhibur. "Terima kasih."
Al menutup pintu dengan tangan kanan perlahan. "Kamu ingat kan, aku pendendam?" katanya melambaikan tangan pada sopir yang segera menjauhkan kendaraannya. "Kalau kita menikah, kamu akan mendapatkan balasannya."
Kalimatnya terdengar riang, tapi sorotan matanya saat mengucapkan itu membuat bulu kudukku meremang. Tiba-tiba saja, aku takut. Perasaan takut yang sama seperti saat hari itu, bujukkan El untuk melepas semua pakaian dari tubuhku. Serupa takut saat detik-detik menunggu garis hasil muncul yang ditunjukkan testpack.
"Yang mana rumahnya?" tanya Al melihat bergantian dua pintu yang serupa dengan warna catnya-pun sama.
Aku menelan ludah seraya melangkah ke bangunan di sebelah kiri. Tadi kami berada di pantai hanya berdua, tak sedikitpun aku merasa terancam. Kini, di tengah kota, beberapa langkah dari rumah Ibuku, secara aneh aku merasa terancam dengan kehadiran Al.
"Assalamu'alaikum. Ibu..."
"Wa'alaikumsalam." Beliau terkejut melihatku. "Kok di sini? Gak kerja kamu, Qi?"
Aku berjalan melintasi beliau, mengabaikan pertanyaan itu. "Qiya bawa calon suami."
Terdengar tarikan napas besar sebelum suara beliau terdengar. "Si marga...."
"Bukan," potongku cepat sebelum Al bisa mendengar ketidaksukaan Ibu kepada El.
"Siang Tante. Saya, Alfarisi." Al tersenyum ramah berdiri di ambang pintu.
"Calon suami?" ulang Ibu pelan. Beliau lalu melihatku, "Serius?"
"Tanyain aja kalo gak percaya, Bu." Aku melambaikan tangan pada Al, "Masuk Al."
"Oh, maaf. Silakan masuk," kata Ibu menuntun ke ruang tamu sederhana yang ada.
"Qiya ke dapur, Bu." Aku meninggalkan laki-laki aneh itu dan menuju belakang rumah. Perutku lapar dan mulai melilit tak nyaman, mirip maag yang kambuh. Semoga saja tak terlambat makan sekarang daripada harus menginap di IGD.
Aku menemukan ayam goreng dan tempe di bawah tudung saji. Mungkin sisa sarapan. Sambil menikmati makanan sayup-sayup terdengar percakapan mereka, tapi tak begitu jelas. Aku tak akan memikirkan hal-hal memusingkan. Yang kuyakin, Al akan berusaha serius melamarku karena dia juga membutuhkanku. Dan, kalau dia berhasil meyakinkan Ibu Bapak, berarti memang dia jodohku. Kurasa aku mulai paham bagaimana cara pikir otak Mbak Hira. Situasi ini seharusnya lebih cocok untuknya daripada orang berkemauan keras sepertiku.
Setelah kenyang aku kembali ke ruang tamu. Sepertinya semua baik-baik saja. Tak ada raut curiga di wajah Ibu, Al juga masih utuh. "Ibu gak masak siang ini?"
"Tadi udah beli bahan-bahannya, tapi malas. Oom juga gak pulang siang ini," jelasnya merujuk pada suaminya.
"Kamu gak nyuguhin aku segelas teh, Qi?" tanya Al tersenyum janggal.
Ya, aku lupa kalau dia agak gila. Sepertinya pembicaraan serius mereka berhasil melumpuhkan keramah-tamahan Ibu. Biasanya beliau akan langsung mengeluarkan semua makanan yang dimiliki ketika ada tamu. "Kirain gak mau. Tunggu bentar."
"Kue di lemari juga Qi," suara Ibu terdengar di belakangku. "Maaf ya, Ibu sampai lupa," lanjutnya pasti kepada Al.
"Iya, Bu."
Aku membuatkan secangkir teh kemudian menghidangkan di depannya. "Silakan."
"Makasih," Al tersenyum langsung mengangkat gelas dan menyesap airnya. "Maasyaallah, Qi. Manis banget teh buatan kamu."
Aku melihat kedipan mata di balik cangkir tehnya. Mungkin itu isyarat kalau semuanya berjalan lancar. "Minum aja. Aku isi gulanya kebanyakan."
"Jadi, gimana Bu? Diterima lamaran saya?" tanya Al meletakkan lagi cangkirnya di atas piring tatakan.
"Kalo Ibu sih terserah kalian. Kalo Bapaknya setuju, ya nikah aja." Jawaban diplomatis. Dulu waktu El yang datang juga begitu kalimatnya.
"Setuju berarti, Qi," Al menyimpulkan dengan wajah merona senang.
"Iya, kayaknya," balasku sambil menelaah wajah Ibu, barangkali aku bisa menemukan tanda-tanda yang lebih jelas berisi penolakan atau persetujuan. Rileks, hanya itu yang bisa kutafsirkan dari ekspresi perempuan yang telah melahirkanku tersebut.
Al mengeluarkan ponsel, berkutat dengannya sebentar, lalu memasukkannya kembali. "Yuk, lanjut. Ke rumah Bapak. Biar besok bisa langsung nikah."
"Buru-buru amat. Keluarga kamu gimana, Nak?" tanya Ibu terdengar.
Al melirikku dengan canggung, "Oh, iya. Nanti kalo dapat restu Bapak baru Al kabari Ibu di Jakarta. Yang penting dapat restu orang-tua Qiya dulu Bu."
"Oh, begitu."
Aku bangkit, "Yuk, ke rumah Bapak."
"Hari ini senin, Qi. Coba dihubungi dulu Bapakmu," saran Ibu. "Bapakmu mungkin kerja. Kalian berdua gak kerja?"
Aku bolos kerja hari ini. Bahkan ponsel, uang dan apapun milikku, kutinggalkan di kontrakan. Rencananya aku sudah di samping malaikat maut sekarang, tapi perkenalan dan ide Al telah merubah segalanya. "Qiya izin hari ini, Bu."
"Al baru kerja senin depan, Bu. Baru dapat kerjaan di sini."
"Kami pamit dulu, Bu. Al mungkin mau makan siang dulu." Aku memberi kode lewat tatapan kepada Al, dengan gerakan mata ke arah pintu.
"Iya Bu. Kami pamit dulu. Terima kasih atas restunya," kata Al mengulurkan tangan dengan sopan. "Mudah-mudahan Bapaknya juga setuju."
"Ibu yakin dia harus setuju. Hati-hati di jalan."
Aku mencermati kalimat itu. Harus setuju. Apa maksudnya?
"Kita tunggu sebentar lagi," bisik Al. "Mobil."
Aku mengangguk paham. Benar, kami berdua berada diluar rencana. Jadi kami perlu menunggu ojek online sekali lagi. "Apa aku pinjam motor Ibu aja?" usulku ketika melihat kendaraan roda dua tak terpakai di teras kontrakan daripada merasa canggung dengan momen ini.
Al menggeleng, menolak usulku. Aku mengangguk singkat, menyetujui keputusannya. Dia mungkin punya rencana. Aku merasa tergelitik oleh adegan ini, sepertinya kami berdua bisa berkomunikasi dengan lancar hanya melalui isyarat-isyarat tubuh.
Aku mengambil cangkir bekas teh serta mencucinya untuk mengulur waktu. Syukurlah ketika selesai mobil yang dipesan sudah terparkir di depan.
Tatapan curiga Ibu sangat jelas saat sadar kamilah yang memesan ojek tersebut. "Kenapa kalian..."
"Kami menghindari berduaan," jawab Al sebelum Ibu berhasil menyelesaikan pertanyaannya. "Satu kesalahan sudah cukup, Bu."
Kulihat Ibuku terdiam. Membuat penasaran. Apa sebenarnya yang Al katakan pada Ibu selama aku menikmati makanan tadi?