Laki-laki Asing 3

1059 Kata
Kami masih di pantai, di bawah Jembatan Emas yang awalnya akan menjadi tempat terakhir napasku berhembus. Al, laki-laki asing yang setelah berbicara sekitar dua puluh menit terakhir dengannya aku merasa menemukan teman, teman yang mengerti dan bersedia membantuku. Aku yakin lebih baik memilih orang asing seutuhnya daripada menikahi sembarangan kenalan dan memperburuk citra diri. Lagipula, Al sama putus asa seperti diriku. Konteks masalah yang mirip, berhubungan dengan pasangan, perasaan dan pengkhianatan. Satu lagi, Al punya dendam. "Kenapa kamu menciumku?" Al berbalik badan secara utuh lalu mengidikkan bahu singkat. "Entah." Dia mengangkat kedua tangan, menyerah, "Aku minta maaf untuk yang dua itu." Dia bahkan ingat menciumku dua kali. Aku ingin mencercanya dengan banyak tuntutan, tapi rasanya tak pantas mempermasalahkan hal itu lebih jauh sementara kondisiku sedang hamil, yang artinya aku sudah melakukan hal lebih jauh dari sekedar ciuman. "Wajahmu seperti awan mendung itu," katanya menunjuk langit. "Jadilah pelangi untukku, Qiya." Kami bersitatap beberapa saat. Sampai kusadari kalau aku dan dia sepenuhnya mengerti situasi serius yang harus kami selesaikan bersama, saling membantu dan saling menjaga rahasia. Aku mengalihkan topik, rencanaku mati hari ini sudah gagal. Dia memberiku sedikit harapan untuk hidup. "Kita pulang bagaimana? Aku tadinya memesan ojek online dan berharap dijemput malaikat maut." Al mengeluarkan ponsel, "Aku juga. Jadi kita perlu ojek lagi sepertinya." "Kamu kerja?" tanyaku meski dia sedang fokus pada ponselnya. Tak ada respon sampai Al memasukkan kembali ponsel ke sakunya. "Aku sudah memesan ojek online." "Kamu kerja apa?" ulangku. "Saat ini pengangguran. Aku ke Bangka untuk menyegarkan pikiran." "Rumah?" "Ngontrak. Di sana tinggal bersama Ibu." "Berapa saudara?" "Sendirian." "Ngerokok?" "Enggak." "Solat?" Berbeda dari jawaban tanpa berpikir sebelumnya, kali ini Al tampak segan memberikan informasi yang kuinginkan. "Kamu nanya itu?" "Iya. Solat kamu gimana?" Al beralih menumpukan tubuh pada kaki yang lain. Dia tampak tak terlalu nyaman dengan topik satu ini. Aku jadi memikirkan kemungkinan lain seperti perbedaan keyakinan diantara kami. "Sensitif, pertanyaan kamu." "Muslim, bukan?" ulangku tak ingin dia menghindar. Mbak Hira, saudariku satu-satunya selalu menekankan hal ini diatas semua hal lain tentang calon suami. Kalau kolom agama tak terpenuhi, lebih baik aku melanjutkan bunuh diri atau cari laki-laki asing lainnya. Al menghela napas sebelum menjawab, "Lima waktu. Duha kadang-kadang kalo lagi waras. Tahajjud kalo kebetulan bangun. Sebelum ke sini, aku mengerjakan duha, dua rakaat. Meragukan, aku tau." Al menekan satu tangan di pinggang sementara tangan lainnya menyetak rambutnya ke belekang. "Ibuku berpesan agar selalu menjaga solat wajib sekalipun aku bukan anak yang berbakti. Kadang beliau meneleponku sebelum, selama atau sesudah azan berkumandang. Sebaiknya kita bicarakan masalah lain saja." Aku sama sekali tak ingin mempercayainya. Dia tampak bertentangan dengan kesan anak manja. Meski dia terlihat bersih dan terawat, juga nampak aura berseri seperti tanda-tanda yang dikatakan Mbak Hira dimiliki orang-orang yang sering tahajjud dan berwudhu. Bisa saja dia orang yang senang menghabiskan uang dengan pergi merawat diri di salon kecantikan. Tapi, bagaimanapun juga yang terlihat dia laki-laki yang sehat. "Ibuku janda. Sekarang menikah lagi dan aku punya adik tiri. Kami gak dekat. Dengan ibuku maupun adikku." Ada yang janggal. Ibunya sering menelepon untuk mengingatkan solat, mereka tinggal serumah, tapi tidak dekat. Apa maksudnya? "Ayah kandung? Entah. Mungkin sudah meninggal." Ekspresi wajahnya berubah masam. Al mengeluarkan ponsel lagi lalu menjauh ke arah aspal, "Kapan ojeknya sampai?!" Aku mengikuti jejaknya. "Jadi..." "Kamu cukup berisik. Diam dan tersenyum saja. Kamu keliatan sangat menawan seperti itu. Mungkin seharusnya kamu ini jadi boneka saja daripada manusia." Tanpa perlu kecerdasan apapun aku tau kalau Al kesal. Pertanyaanku cukup umum untuk pasangan yang akan menikah, tapi memang sangat lancang ditanyakan pada pertemuan pertama. Kondisi kami memang tidak memungkinkan untuk bersikap sopan. Kami dua orang yang putus asa, sopan santun adalah hal terakhir yang akan jadi pertimbangan. Al berdiri di pagar jembatan, masih terlihat murka memandangi jalur masuk kendaraan di ujung jalan. "Aku minta maaf kalau kamu tersinggung kalimatku, tapi aku perlu tahu beberapa hal tentangmu sebelum membawamu ke rumah orang tuaku. Ya, kan?" Ketegangan surut dari wajahnya. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak akan disadari tanpa memperhatikan langsung. "Salah satu alasan dia tak mau menerima lamaranku, karena keluarga kami berbeda. Dia dari keluarga utuh, meski bukan berisi kasih sayang." Aku mengangguk paham. "Orang tuaku..." Aku menutup mulut, berpikir harus memulai kisah dari mana. "Yang tau kehamilan ini cuma aku, kamu dan dia. Semua orang mengira aku baik-baik saja. Kami berencana menikah, sudah membuat tabungan bersama untuk segala biaya, tapi orang tuaku tak merestui." "Apa yang salah dari calon suamimu itu?" Aku menggeleng, tak sepenuhnya paham. Apakah yang diutarakan mereka adalah alasan sebenarnya atau hanya alasan-alasan tak masuk logika. "Dia bukan berasal dari tempat ini." Al menaikkan sebelah alisnya yang hitam dan lebat, "Aku juga bukan. Apa itu sangat penting?" Menyadarkan punggung ke pagar besi jembatan, kurasakan dingin yang berpindah dari besi ke kulit punggungku. "Aku sama sekali tak tahu. Menurutku sangat tak masuk akal menolak dengan alasan itu." "Kalau memang itu alasannya aku mungkin akan ditolak juga." Al melambaikan tangan saat sebuah mobil mendekat. "Apa yang akan kamu lakukan kalau lamaranku ditolak?" "Aku tak tahu." Al melirikku, kemudian dia tersenyum. "Aku tahu. Kamu hanya perlu pindah ke kontrakanku, sebagai istriku. Kita akan hadir di pernikahan mantanku dan membuatnya tak nyaman di hari yang harusnya dia bahagia." Aku berhasil tersenyum atas kalimat optimisnya. Di mataku, Alfarisi dengan wibawa dan kepercayaan diri adalah satu kesatuan. Dia tipe manusia yang akan berhasil dalam banyak hal. Al membuka pintu mobil, "Masuk, Qi." Aku menurut. Selama perjalanan ini kami membicarakan beberapa hal pribadi yang bisa dianggap kencan singkat. Beberapa kesamaan kami miliki seperti menyukai suasana sepi dan menghindari keramaian. "Kuharap kamu bisa meyakinkan orang tuaku. Kita akan ke rumah Ibuku. Suaminya ayah tiriku, tapi beliau mungkin sedang tak di rumah." Al terkejut sesaat, "Oh. Mirip. Kasus keluarga kita." "Tak ada saudara atau saudari tiri, syukurlah. Makanya aku gak mau menikah dan bercerai." Lesung pipinya terlihat lagi, "Baiklah. Kita menikah saja, gak akan bercerai. Kalau kita jatuh cinta bukan sama pasangan, kita boleh selingkuh. Setuju?" Aku setuju. "Kita bisa membuat peraturan tertulis." "Aku akan mulai memikirkan apa saja isi dalam lembar peraturan itu. Poin pertama, tidak ada hak dan kewajiban nafkah lahir dan batin." Aku segera menyikut Al, "Nanti. Pikirkan dulu cara supaya direstui. Itu lebih penting." Kusadari sopir yang mengangkut kami terlonjak sekilas setelah mendengar poin pertama yang Al sebutkan, laki-laki itu masih sesekali mencuri pandang lewat cermin mobil dan kuyakin dia mencuri dengar apa saja yang kami bicarakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN