(e)

1042 Kata
"Kita belum bisa mengambil kesimpulan di sini, Jenderal." Panglima Reiki mengangkat alis pada Letnan Jaasir. Saat pria itu berbicara, tatapan matanya berubah lebih serius. "Pernikahan ini membawa kehancuran bagi Andara ... atau membawa keberuntungan bagi Andara." *** Caris Adonia melangkah memasuki lapangan untuk mengikuti pelatihan dasar tempur di Angkatan Udara yang dipimpin oleh Kapten Madava. Ketika dia hendak masuk, tangannya tertarik oleh tangan seseorang dan Letnan Aristide yang melakukannya. Dia mendesak Adonia semakin ke tembok ketika militer hitam sama sekali tidak ada yang berjaga di sana dan Adonia benar-benar teledor melupakan hal seremeh itu untuk tetap waspada. "Apa yang kaulakukan?" Adonia berbisik rendah ketika Letnan Aristide membekap mulutnya dan membuat pandangan Adonia berkunang-kunang karena Sang Letnan membenturkan belakang kepalanya agak keras ke sisi Benteng Ankara. "Bicara." Letnan Aristide memberi jarak yang cukup membuat Adonia mengerjap kemudian menarik napas panjang. Dia mendongak, menatap tajam pada kedua mata biru yang berkilat sinis itu. "Katakan, apa maksudmu datang ke Benteng Ankara ini. Gadis sepertimu tidak mungkin terlalu polos atau naif hanya untuk masuk ke militer hitam selain mendapat lebih banyak dasar kekuatan dan mental, bukan?" Caris Adonia mengangkat alis. Dia tersenyum samar menemukan kecemasan di dalam diri Letnan Aristide akan dirinya yang akan berakhir menjadi pemberontak. "Aku murni datang untuk diriku sendiri. Bukan siapa pun." "Kau yakin? Bukan karena manusia perempuan di dalam rumahmu yang hanya memiliki satu kaki untuk berjalan?" Kedua mata Adonia melebar sempurna. Jadi, selama dia di militer dia dimata-matai? "Kau tahu apa?" Letnan Aristide mengetatkan gerahamnya. Dia mengepalkan tangan dan meninju sisi wajah Adonia dengan keras. "Jenderal memintaku mengawasimu. Alasanmu tidak mungkin sesederhana itu untuk masuk ke dalam dua tubuh militer terbaik di Ankara. Kau tentu punya tujuan lain datang?" "Dan apa tujuan Jenderal itu menikahiku?" Caris Adonia tersenyum dingin mendapati ekspresi Letnan Aristide mendadak berubah muram. Sangat muram. Pertanyaan Adonia adalah pertanyaan yang tidak akan dia dapati jawabannya dengan mudah. "Jangan sentuh siapa pun keluargaku, Letnan." Adonia berujar pelan, meminta permohonan dalam bisikan kecil. "Keluarga adalah harta yang paling berharga. Kakak Rin—" Adonia menarik napas. "Dia sangat berharga untukku." Adonia lantas pergi, berjalan gontai memasuki halaman lapangan saat suara Letnan Aristide membuatnya membeku. "Jika salah satu militer kami melukainya, memang apa yang akan kaulakukan? Memanggil Alterio Edzard untuk menyerang Benteng Ankara dan melakukan kudeta besar-besaran? Kau licik juga ternyata, perempuan." Kedua mata itu terpejam. Adonia tidak tahu mengapa kalimat menusuk itu membuat hatinya membias sakit tanpa bisa dia tahan. Dia meremas seragam militer hitamnya dengan tangan bergetar, sebelum berlari masuk dan mengabaikan tatapan Letnan Aristide yang belum mau berpaling darinya dengan tajam. Kapten Madava Fredella menoleh, menemukan Caris Adonia masuk dengan wajah pucat. Seketika nurani kecilnya tergores pedih. Di balik seragam militer dan pelatihan super ketat yang dia dapati, dia tetap seorang perempuan yang memiliki hati. Menemukan Caris Adonia, calon Ibu Negara Andara berjalan dengan kepala tertunduk dalam, hati Kapten Madava Fredella mencelos. Matanya lekas memindai lapangan dan menemukan seragam militer hitam tampak berjalan memunggunginya dengan topi yang khas. Seketika, kedua mata peraknya menyipit tajam guna melihat siapa pelaku di balik seragam itu. Dan napasnya tertahan. Letnan Aristide. Rasa cintanya Letnan Aristide pada Andara membuat dirinya terkadang lupa dengan siapa dia berhadapan. Dia mengabdikan dirinya seluruhnya hanya untuk Jenderal. Dan Madava Fredella paham, jika Jenderal merasa tersudutkan, Letnan Aristide akan turun tangan untuk menghabisi siapa pun walau dia harus mengotori tangannya tanpa perlu Jenderal memberi perintah. "Kau terlambat." Caris Adonia menengadahkan kepalanya. Mengerjap saat dia menemukan manik perak itu memicing tajam padanya. Dia menunduk, bergumam maaf dalam bisikan pelan dan Kapten Fredella mendesah pendek. "Hukuman tetap berlaku. Duduklah dulu." Adonia tersentuh dengan kebaikannya. Dia tersenyum ramah pada Kapten Fredella yang memasang wajah datar dan berpaling begitu saja hingga satu teriakan mengalun, membuat Adonia kembali menoleh. "Betapa tidak disiplinnya calon Nyonya Andara." Dan menyusul tawa meledek lainnya. Adonia memutar mata jengah. Selain di Angkatan Darat, nyatanya perempuan ini sama saja di Angkatan Udara. "Kau tidak akan bisa duduk di kursi nomor satu kalau tingkahmu seperti ini. Semua mencerminkan dirimu." Caris Adonia hanya menghela napas panjang. Sedangkan Kapten Fredella memiringkan kepala, bersedekap dengan ekspresi ketat. "Siapa yang menyuruh kalian membuka mulut untuk bicara? Memahami dasar menerbangkan pesawat tempur yang sudah kuajari saja kalian tidak becus." Semua kepala tertunduk menyesal. Kapten Fredella menghela napas lelah. Dia melirik Adonia yang tengah mengulum senyum, menatap ke arahnya dengan senyum yang mengisyaratkan rasa terima kasih. Kapten Fredella memalingkan muka. Dia berjalan, kembali menerangkan dasar-dasarnya dalam menerbangkan pesawat di saat musuh juga memakai pesawat terbang atau mengarahkan senjata berbahaya ke pesawat mereka. Adonia ikut diam mendengarkan sampai Kapten Davira memasuki lapangan, semua orang terdiam. "Kapten Madava, Jenderal meminta semua petinggi militer untuk datang berkumpul di ruang rapat." Kapten Fredella menganggukkan kepala. Dia meminta anak buahnya untuk menjaga mereka agar kondusif dan dia segera pergi bersama Kapten Davira keluar dari lapangan. "Kudengar, kau memukul Gani, salah satu anggota militer hitam Angkatan Darat hingga mematahkan hidungnya. Kau keren juga." Adonia menyeringai pada gadis bermata cokelat madu itu. Dia mengangkat alis, menerima kepalan tangannya dengan menyatukan kepalan tangan lain ke arahnya. "Itu terjadi secara spontan. Begitulah aku saat semuanya tiba-tiba tanpa bisa kucegah. Kekuatanku timbul." Gadis itu tertawa dan semua orang terdiam mendengarkan dua gadis yang tampak akrab tengah berbincang satu sama lain tanpa beban. *** Abria Valerie mengusap lehernya dengan gerakan pelan. Rasa nyeri itu masih membakar dan dia bangun pagi harinya karena salah satu asisten ilmuwan menemukannya tertidur di lorong kamar mandi. Tentu saja, dengan mayat Ame yang tiba-tiba menghilang. Abria Valerie bergidik memikirkannya. Di jam makan siang, saat seluruh pegawai Departemen Kesehatan turun ke lantai dasar untuk mengambil kupon jatah mereka, dia bertemu Komandan Rei yang tengah berbincang bersama Dokter Hana. Tanpa Panglima Sai. Memikirkan nama Sang Panglima sudah seperti mimpi buruk baginya. Valerie menggeleng pedih, berjalan mengikuti barisan untuk mengantri mendapat makanan. Abria Valerie mendesah pendek. Sejak tadi dia hanya memeluk lengannya dan maju dengan kepala tertunduk sampai dahinya membentur d**a kokoh seseorang yang terbalut seragam militer khas. Tunggu, seragam militer Ankara? Sepasang mata birunya melebar panik saat Komandan Rei kini tengah memiringkan kepala, menatapnya dengan alis terangkat. "Kau melamun?" Entah kenapa sifat hangat Komandan satu ini membuat Abria Valerie harus bersikap waspada. Berbeda dengan Panglima Sai yang menyimpan kengerian di balik senyum dan tatapan ramahnya, bagaimana jika Komandan Rei menyimpan sesuatu yang sama?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN