Benar-benar binatang.
Abria Valerie segera berlari menjauh dari sana. Dia bahkan membanting pintu dan berlutut karena dadanya berdebar begitu hebat. Membuatnya nyeri dan kedua tangannya bergetar. Dia tidak pernah melihat bagaimana sepasang anak manusia b******a sebelumnya dan semuanya merusak kewarasannya. Abria Valerie hampir saja membanting tabung berisikan cairan kimia ini ketika dia mendengar suara pintu terketuk dan dia berdiri, terkejut menemukan Komandan Rei masuk dengan kening mengernyit.
"Aku datang hanya untuk mendata laporan yang ada di tengah malam. Kau akan terbiasa setelah ini." Komandan Rei masuk tanpa memedulikan bagaimana pucatnya Abria Valerie sekarang. Dia bergerak, mendekati Komandan Rei dengan menelan ludah gugup.
"Panglima Sai ..."
"Kau melihatnya?" Komandan Rei menjawab tanpa menolehkan kepalanya dari laporan di tangan.
"Aku—" Abria Valerie mengusap keringat dingin di pelipisnya. "Melihatnya saat dia berbelok ke kamar mandi."
Komandan Rei meliriknya dingin dan Abria Valerie terpaku selama beberapa saat lamanya memandangi wajah rupawan dan tatapan tajam itu selama beberapa detik.
"Militer hitam memang sering berkeliaran di dalam seluruh Departemen yang ada di Ankara. Panglima Sai dan aku memegang Departemen Kesehatan sebagai tanggung jawab kami pada Jenderal."
Aura bersahabat yang ditunjukkan Komandan Rei membuat Abria Valerie sedikit lebih lepas. Dia tersenyum tipis, mengikuti langkah Komandan Rei tanpa sadar ketika dia berpindah tempat.
"Aku akan mengingatnya dengan baik."
Komandan Rei menurunkan berkasnya dan menatap tajam ke dalam mata biru Valerie yang jernih. "Jangan terlalu percaya diri kau akan diterima masuk ke dalam Departemen Kesehatan."
"Aku optimis, Komandan. Aku bisa melakukannya."
Komandan Rei menatap senyum tulusnya cukup lama. Sampai dia berdeham, memegang kembali berkasnya dan berjalan melintasi ruangan dengan catatan di dalam dokumen.
Pintu terbuka dan Panglima Sai masuk dengan rambut hitam yang berantakan juga topi militer yang tersangkut di pinggangnya. Kedua iris pekatnya langsung menusuk pada kedua mata Valerie yang melebar dan seketika kulitnya meremang di bawah tatapan mata gelap itu.
"Pekerjaanmu lamban, Panglima."
Komandan Rei jelas menyindirnya dan Panglima Sai hanya terkekeh ketika dia berjalan memasuki ruangan dan berdiri tidak jauh dari punggung Valerie yang menegang.
"Aku punya urusan sebentar." Dia membalas dengan seringai lebar menggoda. Membuat Komandan Rei hanya menatapnya datar dan kembali memutar badan, memberi catatan terakhir pada berkas laporannya.
Abria Valerie ingin mengejarnya sampai ada tangan lain yang mencengkram pundaknya membuatnya mati rasa dan seketika seluruh syaraf di tubuhnya mendadak tegang.
"Urusanku denganmu manis, sekarang."
Sang Panglima berbisik rendah di bawah telinganya dan meniupkan uap panas yang membuat kulit pucat Valerie seketika meremang dan memerah sempurna. Kekehan ringan meluncur dari Sang Panglima di belakangnya.
Komandan Rei mendekat dengan raut datar saat dia memberikan pulpennya pada Abria Valerie yang membatu. "Tanda tangan di sini."
Dia segera memberikan tanda tangannya dalam diam dan menjadi penurut saat Komandan Rei mengernyitkan kening, menangkap ekspresi pucat Abria Valerie yang begitu kentara.
Tatapan tajam itu bergulir ke arah sosok lain di belakangnya tatkala Sang Panglima hanya tersenyum dingin sebagai tanda bahwa Komandan Rei bisa pergi sekarang.
"Panglima." Komandan Rei mendesah panjang. "Jangan lakukan apa pun yang membuatmu menyesal nanti."
Panglima Sai memiringkan kepala dengan alis terangkat. "Oke."
Komandan Rei lantas pergi meninggalkan Valerie yang menjerit meminta tolong dalam hatinya sekuat tenaga. Dia menolehkan kepala, menelan ludahnya dengan kasar saat dia berlari menembus heningnya malam dan berhenti di lorong dimana dia melihat Panglima Sai dan Ame b******a.
Darah ...
Kedua mata biru Valerie melebar tak percaya. Dia menjerit tertahan menemukan mayat Ame tergeletak tak berdaya di dalam lorong dengan darah yang merembes deras dari lehernya yang tersayat. Kedua mata Ame melebar seolah dia ketakutan dan mulutnya menganga lebar.
"Wah, manis. Kau menemukannya jauh lebih cepat dari dugaanku."
Abria Valerie menolehkan kepala dan dia memekik histeris saat Panglima Sai mendorong tubuhnya agak keras hingga membentur dinding yang dingin dan kepalanya terbentur.
Abria Valerie merintih pelan. Namun, tak ayal membuat kekehan Sang Panglima meluncur bebas. Dia semakin menekan Valerie untuk memberinya ancaman dan sorot matanya begitu mengintimidasi.
"Jika kau terbangun besok, kau tidak akan melihat mimpi buruk itu lagi. Semua akan kembali seperti semula. Seolah tidak ada yang pernah terjadi ..." Panglima Sai menurunkan tatapannya pada urat nadi di leher Valerie yang berkedut. Senyumnya mengembang dingin namun lepas ketika dia menautkan kedua tangannya untuk mencekik gadis itu hingga tubuh Valerie terangkat dari lantai.
Seketika bayangan Ame yang mati mengenaskan membuatnya memejamkan mata takut. Dia terbatuk hebat, menekan tangan Panglima Sai dan berulang kali mencubitnya sekuat tenaga. Atau dia mencoba meraih wajahnya untuk memberikan cakaran ketika wajahnya semakin pucat dan Panglima Sai melepaskannya cekikannya hingga Abria Valerie terjatuh pasrah di atas lantai dengan terbatuk hebat, kemudian tidak sadarkan diri dengan air mata yang mengalir.
***
"Adonia menemuimu?"
Sang Jenderal mengerutkan kedua alisnya tak terima menemukan Caris Adonia dengan tekadnya yang kuat berani menemui Letnan Jaasir diam-diam seperti dia merencanakan sesuatu yang tidak Jenderal ketahui di balik otak cerdasnya.
Panglima Reiki menatap bubur di mangkuk dengan tatapan tak berselera mendengar suara Letnan Jaasir yang muram. "Aku menduga dia menemuimu karena saran dari seseorang."
Kedua mata pekat Letnan Jaasir melebar. "Siapa? Alterio Edzard?"
"Jangan berspekulasi terlalu awal, Letnan." Panglima Reiki menghela napas. "Dugaan Jenderal juga tanpa alasan. Alterio Edzard dan Caris Adonia seperti tanpa memiliki ikatan sebelumnya."
"Kau tidak tahu apa pun, Panglima Reiki."
Panglima Reiki mengangkat alis. Dia menunduk guna membawa kedua tangannya pertanda menyerah. "Baik. Anggap saja aku begitu sekarang."
"Yang jelas, dia menemui bukan karena dorongan dari dirinya sendiri. Seseorang berperan penting di belakang ini."
Sang Jenderal membuang pandangannya ke arah lain. Dia menahan napas, memikirkan kemakmuran Andara dan semua beban tanggung jawab itu berada di pundaknya. Setelah Jenderal Saveri wafat, tidak ada lagi yang siap mengemban tugas seberat ini selain Sang Jenderal—Alterio Zedyn.
"Dia setuju untuk menikahimu."
Letnan Jaasir menghela napas panjang. "Aku bertanya adakah alasan yang membuatnya berubah karena aku yakin, sifatnya berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dari Alterio Kaila. Dan dia bilang, dia tidak punya alasan karena dia penduduk biasa dan kaum lemah."
"Kaum lemah?" Sang Jenderal mendesis sinis. "Dia bahkan bisa menumbangkan Kapten Davira dengan tangan kosong. Itu yang dia bilang kaum lemah?"
Panglima Reiki menipiskan bibir ketika menatap mata pekat Sang Jenderal yang menyala-nyala. "Kaum lemah di sini dia terlahir dari rahim wanita biasa. Dia bukan kaum bangsawan sepertimu. Dia besar dan tumbuh bersama penduduk lainnya di Distrik Lily."
Sang Jenderal memejamkan mata. Mengepalkan tangan di atas meja yang tanpa terlewatkan kedua pasang mata Letnan Jaasir yang tajam.