Kapten Davira terlihat membentak seseorang dari balik alat kecil yang terpasang di telinga kanannya. Dia menoleh, menatap puluhan gadis yang ada di bawah asuhannya dengan tatapan garang. Ini bukan karena mereka atau mereka berbuat salah, hanya saja kondisi di luar benar-benar genting. Membuat Kapten Davira tampak bingung dan satu ledakan lagi membuat semuanya kacau.
Sang Jenderal terpaku menatap rudal yang ditembakkan guna menembus pertahanan Benteng Ankara yang melingkup. Letnan Aristide mendesis, menemukan bahwa Alterio Edzard tidak akan kalah hanya dengan menyerang satu sisi saja.
"Aku akan bergerak sekarang, Jenderal."
Suara tegas Madava Fredella mengalun hingga sampai ke telinga milik Letnan Aristide yang bersiap. Dia mendongak, menemukan landasan pesawat tempur siap terbang saat Madava Fredella menerbangkan satu pesawat milik angkatan tempur Ankara.
"Alterio Edzard hanya menggertak saja, kan?" Panglima Sai mendesis saat dia melirik Jenderal yang tercenung. Ekspresinya begitu gelap dan tak terbaca. Membuat Panglima Sai terdiam sesaat, kemudian memundurkan wajahnya saat dia memantau pasukannya untuk bersiap.
"Siapa yang kita lawan?"
Kapten Davira menghentikan langkahnya saat Caris Adonia meraih lengannya, meremasnya ingin tahu.
"Alterio Edzard."
Remasan tangan Adonia melemah seiring langkah Kapten Davira menjauh darinya. Setelah Madava Fredella lepas landas menerbangkan pesawat tempurnya, dia juga akan bersiap diri mengemudikan tank militernya.
Alterio Edzard.
Kedua mata Adonia mengerjap ketika dia menunduk, merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya. Dia merintih pelan, meninggalkan kesan muak pada gadis-gadis lain yang tidak mengenal iba padanya ketika Adonia jatuh berlutut, meremas rambut panjangnya sendiri.
"Jangan bercanda, Caris. Kau berpura-pura sakit kepala di saat kita sedang bersiap diri untuk mengantisipasi sesuatu terjadi?"
Satu tendangan melayang ke punggungnya. Adonia terbentur di atas tanah. Seketika kesadaran kembali merenggut akal sehatnya. Dia mengerjap, menemukan debu pasir mengotori pipinya dan dia melompat bangun, memberikan satu pukulan ke wajah gadis bermata abu-abu itu dengan keras. Berhasil mematahkan hidungnya.
"Jangan cari masalah denganku." Gadis dari Distrik Lily itu menggeram sinis ketika gadis itu meringis menahan sakit dan darah tidak ada henti-hentinya keluar dari hidungnya yang bengkok.
"Kau sialan!"
Caris Adonia mendesis sekali lagi saat dia memilih untuk bertahan dari serangan membabi-buta dan segela ejekan serta kata-kata tak pantas tentang dirinya yang akan menjadi Nyonya Andara membuatnya mual.
Adonia menjambak rambut gadis itu, membantingnya ke atas tanah saat dia mendesis, menekan sepatunya ke d**a gadis malang itu. "Kemampuan pedangmu boleh juga. Tapi saat ini kau menantangku dengan tangan kosong. Di mana kemampuanku jauh lebih unggul kali ini."
Seseorang melemparkan pedangnya dan Adonia menendang pedang itu menjauh dari jangkauan tangan gadis itu.
"Melihat kalian yang membenciku hanya karena Jenderal ingin menikahiku ... wah, itu membuatku tertarik." Sudut bibir Adonia tertarik ketika tekanan injakan di d**a gadis itu semakin dalam. "Tertarik untuk membuat kalian menderita karena berpuas diri melabeliku perempuan murahan nan rendah karena menggoda Jenderal."
Semua mata melebar penuh kaget ke arah Caris Adonia yang hanya dalam hitungan detik berubah menjadi sosok menyeramkan. Kemana Caris Adonia yang tampil lugu dan sederhana?
Gadis itu menatap seluruh kawan dalam militer hitamnya dengan ekspresi sinis sebelum akhirnya dia berlari menjauh dari tanah lapang. Meninggalkan gadis yang terbaring tak berdaya di atas tanah itu terbatuk-batuk hebat.
"Kenapa kalian diam saja!?"
"Kami tidak lagi menantang calon Ratu di masa depan, Gani. Kami berhenti mengoloknya. Jika Jenderal memilihnya, itu berarti dia keluar sebagai yang terbaik di antara perempuan yang ada di Andara."
"Persetan!" Gani kembali terbatuk dan semua rekannya mengabaikan sampai militer hitam yang berjaga segera mendekat, membawakan tandu dan membopongnya pergi menuju rumah sakit tanpa bertanya alasan dia terluka berat seperti ini.
Alterio Edzard memukul pasukannya mundur.
Setelah dia berhasil membuat hancur bagian depan Benteng Ankara, dia dengan mudahnya menahan pasukannya untuk masuk dan malah bergerak mundur. Jenderal menipiskan bibir, semakin tidak mengerti arah pikiran Alterio Edzard kali ini.
"Tarik mundur seluruh pasukan. Bawa mereka ke dalam benteng secepatnya."
"Siap, Jenderal."
Letnan Aristide melompat turun diikuti Panglima Sai yang memberi arahan agar seluruh pasukan bawah tanah maupun gerilya mundur dari area pertempuran. Jenderal tidak ingin ada korban sebelum perang sesungguhnya dimulai.
Saat Sang Jenderal berbalik, dia menemukan Caris Adonia terengah-engah dengan rambut panjangnya terurai berantakan. Gadis itu membungkuk, menarik napas panjang ketika dia mencoba mendekat tetapi banyaknya pasukan militer hitam Ankara membuat nyalinya menciut.
"Kenapa kau di sini?" Jenderal melompat turun saat dia membubarkan seluruh pasukannya untuk menaruh kembali senjatanya ke gudang penyimpanan dan menghampiri Adonia di depan sana.
Letnan Aristide menghentikan langkahnya saat menemukan Jenderal mendekat ke arah Adonia yang langsung merangsek maju, menemukan Benteng Ankara pada bagian depan remuk redam.
"Pemberontak yang dipimpin Alterio Edzard ... apa kau berhasil melumpuhkannya?"
Sang Jenderal menoleh menatap lubang pada Benteng Ankara dan mendesis dingin di dalam suaranya. "Mereka membawanya mundur menjauh sebelum sempat menyerang."
"Alterio Edzard."
Menyebut namanya membuat Sang Jenderal menggeram dalam diam. Dia menolehkan kepala. Memberikan tatapan tajam luar biasa yang membuat Adonia membeku selama beberapa menit di bawah sinar matanya. "Bukankah aku begitu baik dengan menyembunyikan identitasmu dari dunia luar bahwa kau dan Alterio Edzard ada di kubu yang sama?"
Caris Adonia melotot tak percaya. Kedua matanya hampir saja melompat keluar ketika dia menatap Sang Jenderal yang bergerak masuk ke dalam Benteng Ankara dan meninggalkannya seorang diri dengan kedua mata mengerjap pedih.
Hanya sepersekian detik sampai kedua tangan itu terkepal dan semuanya tidak satu pun terlewat dari rekam memori ingatan kepala Letnan Aristide. Bagaimana tatapan mata biru tajam itu menelanjangi Caris Adonia tanpa ampun dan dia akan melaporkannya ke Jenderal ketika dia menemuinya nanti.
Ah, Adonia mengerti sekarang. Alasannya untuk duduk di kursi Nyonya Andara semakin jelas saat ini.
***
"Ini dicampur dengan ini. Oke."
Abria Valerie terus berjalan menyusuri sepinya lorong di malam hari dengan ekspresi serius mengamati dua tabung berisi cairan hijau dan biru muda di kedua tangannya dengan senyum letih. Dalam satu hari, dia hanya mampu memejamkan matanya selama dua jam. Dan kembali belajar agar dia lolos ke tahap selanjutnya tanpa tereliminasi dan semuanya sia-sia. Tekadnya bersama Adonia untuk masuk ke dalam Benteng Ankara akan berakhir menyedihkan.
"Ah, ya, Panglima. Di sana ... ah!"
Langkah Abria Valerie terhenti. Dia membeku selama beberapa menit lamanya sampai suara yang dia anggap angin lalu benar-benar jelas di telinganya. Pendengarannya masih sangat baik hingga kepalanya menoleh, dan Abria Valerie tidak sanggup menutup mulutnya menemukan Panglima Sai tengah b******a dengan Ame di lorong kamar mandi.