So, it Goes

3490 Kata
"Kenapa melamun?" Daisy nyaris menjatuhkan botol minum dinginnya kala menemukan sepasang manik jade Zico menatapnya datar. Tapi, sudut bibir pria itu tertarik naik bermaksud menggoda. Daisy menghela napas. Menurunkan botol minum itu dan memandang dingin ke arahnya. "Bukan apa-apa," cicitnya pelan. Zico mendesah pelan. Melipat tangannya dengan raut angkuh di depan Daisy yang masih membatu. Pandangan mata Daisy turun, tidak melihat adanya kalung salib yang mencuri perhatiannya seperti Alexander Drew. "Di luar dingin. Kau tetap nekat untuk pergi? Apa kau pergi untuk mencari makan malam?" Daisy terpaku. Mengerutkan alis seraya menatap datar pria itu. Sejak kapan Rei Zico banyak bicara? "Aku baru saja kembali dari kafe. Aku lapar dan mencari sesuatu untuk dimakan." Kening itu mengernyit dalam. "Biasanya para gadis menghindari makan malam karena takut menggendut. Kau tidak?" "Persetan," balas Daisy dengan dengusan. Zico mengulum senyum tipis. Mendesis dengan tarikan napas panjang. "Ini larut malam. Biasanya aku berjalan-jalan mencari udara segar. Karena pagi dan siang hari sangat padat. Kehidupan para bintang selalu menjadi sorotan. Aku tidak bisa sebebas itu untuk privasiku sendiri." Daisy terdiam. Menipiskan bibir dengan ekspresi kaku. "Media bisa mengendus privasimu. Kau tidak keberatan?" "Sudah menjadi resiko," balas Zico dingin. "Ketika kami terkenal, pemberitaan kami akan menjadi bidikan bagus. Tidak peduli itu benar atau kebohongan, semua bisa dimanipulasi demi keuntungan." "Ah," Daisy meringis. "Menjadi idola memiliki suka dukanya sendiri. Aku merasa itu berbahaya." Zico ikut menghela napas. "Kau bisa menikmatinya dengan caramu sendiri," katanya. Menatap Daisy ramah. "Konsekuensi setiap pekerjaan itu ada. Bagaimana denganmu? Menjadi barista terkenal jelas bukan hal yang mudah." "Sedikit terganggu. Beberapa orang meminta kami untuk lakukan hal aneh. Tapi, selama kami sanggup menjaga diri, aku rasa baik-baik saja," Daisy mengangkat bahu acuh. Menatap Zico dengan senyum yang sama. "Seperti yang kau bilang, segala pekerjaan punya konsekuensinya masing-masing." Zico menghela napas panjang. "Pemikiran cantik dan menarik, akan memikat banyak hal. Termasuk kalian. Tetaplah berhati-hati." Daisy kembali menurunkan botol minumnya. "Apa kau baru saja memberi nasihat padaku?" Zico mengangkat bahu. "Terserah bagaimana kau menanggapinya." Daisy tertawa pelan. "Ya, baiklah." Kemudian, tidak lagi merasakan dadanya berdebar pelan, Daisy baru berjalan. Baru empat langkah menjauh, Zico kembali membuatnya berhenti melangkah. "Apa kau bisa bicara sesantai ini pada Drew?" Daisy terdiam. Menarik napas saat dia menatap Zico. Berharap kalau Zico tidak akan bertanya karena efek mereka berdua berbeda padanya. Daisy hanya membalas dengan tindakan kecil. Bahu terangkat dan ekspresi canggung. Lalu, membiarkan Zico sendiri. Menerka-nerka apa maksud jawaban Daisy dalam diam. *** "Duduk dulu, Drew." Drew memutar mata. Pemandangan di ruang makan membuatnya muak setengah mati. Tala ada di sana. Duduk menikmati sarapan penuh di atas meja bersama sang ibu. "Kau darimana semalam? Tala bilang, kau tidak bisa dihubungi. Mama cemas. Apa kau pulang ke apartemenmu? Atau tidur di rumah temanmu?" Drew melirik Tala sekilas, lalu mengangguk. "Aku tidur di rumah teman." "Kau mabuk?" Drew berusaha mengabaikan suara gadis itu. "Drew, apa kau mabuk?" "Tidak," Drew menggeleng datar. Ekspresinya tampak kaku dan penuh kesakitan. "Aku tidak mabuk dan membuat kekacauan seperti yang Mama takutkan." Tari menghela napas. Menaruh garpu dan pisaunya dengan gelengan lirih. "Kenapa denganmu, Drew? Mama bertanya baik-baik. Apa begini cara pria dewasa bicara? Usiamu tiga puluh tahun, dan kau masih bersikap layaknya remaja usia tujuh belas." Bibir Drew menipis. Tatkala matanya bersinar dingin penuh ancaman. "Aku bisa bicara baik-baik, andai saja Mama mau mendengarku." Tala meringis. Tampak mengiba karena lagi-lagi Drew berani membantah ibunya. "Drew, duduklah dulu. Kau tidak jantan sekali. Kenapa harus bicara sambil berdiri pada ibumu?" Drew memghela napas kasar. Menghitung antara satu sampai lima, dan semua sia-sia. "Lanjutkan sarapan kalian. Aku akan pergi ke kamar untuk membersihkan diri." Drew berbalik, berjalan menaiki anak tangga dengan desisan kasar. Membuat kepala Tari menggeleng lemah, dan menatap Tala yang meringis pilu. "Drew memang seperti itu. Dia keras. Tidak seperti Alexander Mikail," bisik Tari sesak. "Sudah, Tala. Lupakan saja. Biarkan anak itu lakukan apa pun yang dia mau." "Aku rasa, Drew akan terus seperti itu tanpa pernah berpikir untuk berubah. Aku malah mencemaskanmu, Mama." Kepala Tari menggeleng miris. "Tidak, sudahlah. Dia tidak akan berani melawanku. Semarahnya Drew pada aku, dia tidak akan membenciku." Tala terdiam sebentar. "Lantas, bagaimana kelanjutan masa depannya? Mama mau memberikan perusahaan padanya?" Alexander Tari terdiam. Sinar matanya yang pudar menatap datar pada Tala dalam beberapa menit berlalu. Kemudian, berpindah pada keranjang buah yang masih segar. "Aku belum memutuskan Tala. Drew sibuk dengan dunianya sendiri. Dia tidak mungkin menggantung sepatunya saat karirnya cemerlang. Dia menikmati pekerjaannya." Tala menghela napas. Mengepalkan tangan dengan raut masam. "Aku mungkin bisa bicara dengannya. Kalau aku bisa membujuknya, Mama tidak akan sesedih ini memikirkan bisnis keluarga." "Semua harus bertahap, Tala." Kepala Tala terangguk. Seuntai senyum merekah di bibirnya. "Aku tahu, Mama. Drew pasti bisa melewatinya. Bukankah, Mama sendiri yang bilang kalau anak bungsu Mama lebih cerdas daripada anak sulung?" Tari mendengus pelan. "Mikail tidak seburuk itu." "I know," balas Tala dengan senyum. "Tapi, Drew jauh lebih cepat belajar dibanding Mikail. Seperti yang Mama inginkan, Drew akan cepat beradaptasi." Mendesah pelan, Tala kembali menarik sudut bibirnya. Tidak lagi melanjutkan percakapan dan membiarakan Tari larut dalam pikirannya sendiri. *** "Ya Tuhan." Semua mata tertuju pada pintu masuk kafe. Menampilkan gadis usia dua puluh tujuh sampai delapan, berjalan masuk dengan pakaian mentereng dari tangan deOrlanner terkenal. Melekat pada tubuhnya dan terlihat mahal. Kairo menahan napas. Buyar sudah acara bersih-bersih yang ia galangkan untuk membuat kafe mereka tetap nyaman dan layak untuk dijadikan tempat bersantai. Daisy mendadak diam. Membatu di ujung pintu dapur dengan desisan samar. Melihat siapa pelanggan baru mereka, kedua matanya memutar. Kairo yang melihat ekpsresi kecut sahabatnya segera mendekat. Berlari untuk masuk ke meja barista, melempar lap bersih itu ke lantai dan mencuci tangan saat pergi ke mesin kasir. "Selamat siang. Ingin pesan apa?" Sinar matanya terpancar sinis. Kairo merinding karena melihat tatapan itu selintas meliriknya, lalu pada papan menu. "Ini yang mereka sebut premium?" Daisy mengangkat alis. Saat Kairo menurunkan jemarinya dari mesin kasir. "Maaf?" Tala mendengus pelan. "Menu di kafe ini jauh dari kata premium. Apa yang kalian andalkan untuk dijual? Banyak kafe lebih berkelas di Tokyo, dan kau menjual minuman remeh ini dengan harga premium? Pemilikmu pasti sakit jiwa." "Sepertinya, yang sakit jiwa adalah dirimu." Kairo menahan napas. Saat Daisy merangsek maju dengan tatapan miris. "Kenapa aku menyebutmu begitu? Karena satu, kau datang. Kedua, kenapa kau harus repot-repot masuk ke dalam kafe? Dari tatapanmu terlihat jelas kau jijik. Layaknya kau baru saja masuk ke kandang sapi." Tala mendesis. "Jangan mencari masalah denganku." Kairo hendak melerai mereka karena kini keduanya menjadi pusat perhatian pengujung kafe. "Jingin minciri misilih dinginki," kata Daisy meledek. Menatap Tala dengan kedua mata memicing tajam. "Sakit jiwa! Kau yang datang mengacau, kau sendiri yang meminta kami untuk tidak macam-macam. Dasar tidak tahu diri." Tala memutar mata angkuh. Khas dirinya saat merasa jengkel. Matanya menelusuri seisi kafe dan mencibir pelan. "Aku datang karena gosip beberapa orang. Aku tidak menyangka kalau kalian berdua cukup terkenal. Berapa banyak orang yang sudah kalian goda? Dan kalian habiskan uangnya?" Daisy tersentak. Berpikir kalau Tala baru saja mencelanya perempuan murahan hanya karena barista tidak punya gaji yang besar. Uang untuk belanja dan segala macamnya. Perempuan ini salah. Dan akan selalu salah menilai dirinya. "Sialan!" Daisy membanting vas bunga di atas meja. Kairo menahan napas. Ketika sahabatnya berjalan ke luar meja, mendorong Tala dengan kasar. Sampai membuat seluruh pengunjung kafe tercekat. "Kau baru saja menilai kami sama dengan penjaja s**********n di luar sana? Apa pekerjaan kami ini hina di matamu? Atau, karena kami punya kelebihan yang membuatmu panas dingin?" "Kelebihan?" Tala terdengar menahan geli. "Iya. Kelebihan. Akui saja, aku dan sahabatku lebih cantik meski perawatan kami tidak semahal dirimu. Genetik tidak bisa bohong. Siapa yang tahu kalau badan seperti model ini, hasil meja operasi? Siapa tahu hidung mancung itu hasil potong rahang dagumu? Mana tahu, kan?" Tala menggeram marah. "Jaga bicaramu!" "Ha ha," Daisy mendesis jengkel. "Kau memintaku menjaga bicaraku, tapi kau sendiri? Kalimatmu sama saja dengan merendahkan kami. Hanya seorang barista, dan kau pikir kami siap tidur di atas ranjang hanya untuk uang? Kenapa kau tidak mati saja? Manusia sepertimu menambah tekanan darah tinggi orang lain. Beruntung, aku tidak punya catatan penyakit jantung." Kairo berlari mendekat. Dan Daisy menepis kedua tangan itu kasar dari bahunya. Rose sedang pergi sampai satu jam ke depan untuk mencari makan siang sekaligus memenuhi perintah si bos untuk mengecek produksi botol di dalam kafe pada pabrik pembuat botol plastik. Tala mengusap pelipisnya. Kemarin, dia berhadapan dengan perempuan berambut pirang yang sama kasarnya. Sekarang? Apa kedua barista ini dulunya preman pasar? "Kau tidak menyangka dengan kami berdua, bukan?" Daisy yakin, Tala mendapat kejutan. Dua gadis yang mencari masalah dengannya adalah barista. Bukan perempuan kelas atas yang memiliki banyak uang. Tala mendengus. Kembali mencibir saat Daisy menyeret lengan kurus itu ke luar kafe. Mendorong Tala sampai perempuan itu memekik keras. "Ya Tuhan! Jangan buat aku kesal! Kau mengganggu pekerjaanku." Rei Zico baru saja turun dari mobilnya. Bersama DeomyDwayne yang langsung berlari. Mendengar keributan berasal dari suara barista kafe, dan pengunjung kafe yang membuat kekacauan. Semula, Zico pikir itu pria sama yang membuat Daisy naik darah. Tapi, saat mendekat dan melihat ada Tala di sana, Zico membeku. "Tala?" Dwayne yang mendekat. Menghadang Daisy yang kembali terengah-engah. Tala pun sama. Dia rupanya tersinggung. Kedatangannya murni untuk mencari tahu dan membeli, tapi saat melihat Daisy, emosinya kembali naik karena dia telah dipermalukan. "Kenapa kau di sini?" Daisy mendengar suara pria itu kebingungan. Dwayne meliriknya, lalu pada Daisy dan Zico bergantian. "Biar aku yang membawanya pergi." "Persetan!" Tala mendorong d**a Dwayne menjauh. Ketika dia menatap sinis pada Daisy, dan mendengar ada mobil lain yang baru saja tiba di parkiran kafe, Tala mendesis dingin. "Kau sebaiknya masuk ke dalam. Biar kami yang mengurus ini," kata Zico, menenangkan. "Kalian hanya warga biasa. Bukan polisi. Untuk apa membubarkan kami? Mengurus masalah ini?" Daisy bertanya kebingungan. "Kau mengenal wanita aneh ini, kan?" Tala meringis jengah. Zico mengangguk pelan. Menatap Tala sekilas dan kembali pada Daisy. "Kami mengenalnya," kemudian, memegang lengan Daisy lembut. "Masuklah. Kami bisa membawanya pergi." Daisy menarik napas panjang. Saat melempar tatapannya sekali lagi pada Tala, dan pada Dwayne yang mendesis bosan terhadap pertengkaran mereka berdua. Daisy berbalik pergi. Alis Daisy bertaut. Menemukan siapa pemilik mobil yang baru saja turun, dan dengan siapa dia datang. Alexander Drew bersama Myoujin Laka. Daisy tidak bisa lebih meledak lagi dari sekarang. Melihat drama membosankan ini, dia mengerang kasar nyaris frustrasi. "Urus saja hama ini menjauh dariku!" Jeritnya putus asa dan melenggang masuk ke dalam kafe. *** "Selamat malam!" Daisy mengembuskan napas kasar. Mengangguk pada pelayan Seven Eleven yang masih tetap ceria setelah berganti shift. Jam menunjukkan angka dua belas malam, dan Daisy masih berlalu-lalang di luar rumah untuk mencari makanan ringan sekaligus mengeluarkan isi kepalanya yang penuh. Mengambil jajanan ringan bersama minuman bersoda. Daisy menarik sebotol es kopi dingin dari dalam kulkas. Dia tidak pernah bosan dengan kopi. Apa pun jenisnya. Beranjak ke kasir, membayar dengan uang tunai dan mencari tempat duduk yang sepi. Daisy berpikir, kalau Seven Eleven akan menjadi rumah kedua untuknya. Pertama; karena jarak terlalu dekat. Kedua; suasana malam hari yang sepi. Letaknya di belakang apartemen mewah kelas atas Tokyo. Terkesan tersembunyi. Tapi menjadi satu-satunya tempat orang beristirahat di kala penat. Dia kembali pukul sebelas malam. Membersihkan diri dan mengutuk semua sereal di dalam kulkas. Daisy beranjak bangun, menyeret kedua kakinya pergi menuju Seven Eleven dengan sandal jepit dan rambut terkuncir asal. Tubuhnya sedikit lebih rileks setelah mandi. Tampilan basahnya masih tersisa. Meski delapan puluh persen didominasi penampilan lelah menahan kantuk. "Aku sudah menduga kau di sini." Daisy mengangkat alis. Menatap pria yang mengacaukan seluruh lamunannya dengan sembarangan duduk di depan kursinya. Mengambil tempat tanpa permisi. Selintas, Daisy ingin mengutuk. Tapi, tidak jadi di kala melihat raut wajah Drew terlihat kesakitan. "Kenapa kau di sini? Bosan? Ingin berjalan-jalan menikmati malam?" Drew mengangkat alis. Berusaha mengacuhkan nada sinis gadis itu. "Poin kedua, bosan." Daisy membuka satu bungkus jajannya. Memakannya dalam diam. Drew pun larut dalam lamunannya sendiri. Daisy menghela napas, mengintip ekspresi pria itu dan tidak menemukan apa pun selain ragu. "Kapan kau mulai bertanding?" "Dua bulan dari sekarang. Bulan depan aku harus kembali ke lapangan untuk pemanasan," balasnya datar. Kepala merah muda itu terangguk pelan. Daisy menghentikan kunyahan keripik rasa rumput lautnya. Mendesah pelan, kemudian menyodorkan itu pada Drew yang masih membatu. "Kau mau?" Drew mengangkat alis. "Tidak. Terima kasih." Daisy kembali menarik tangannya mundur. Memakan keripik itu dalam diam dan mendesah pelan. "Aku membeli apartemen itu saat usiaku dua puluh tahun. Aku mulai tidak nyaman di dalam rumah. Mencari pelarian dan memilih tempat itu karena harga jualnya belum terlalu tinggi seperti sekarang." Daisy terdiam. "Ibumu tahu?" Kepala Drew menggeleng. "Yang dia tahu, aku punya satu apartemen peninggalan kakakku. Mikail punya tiga apartemen. Satu miliknya, satu lagi untuk kekasihnya, dan satu lagi dia berikan untukku." "Ah," Daisy mengerti. "Aku selalu duduk di sini saat malam datang. Kami benar-benar hanya punya waktu saat sedang sendiri. Di malam hari dan saat semua orang tertidur." Daisy berekspresi kecut sekarang. "Bagaimana rasanya? Menyenangkan digilai banyak orang?" Alis Drew tertaut tajam. Menatap gadis itu dengan cemoohan. "Kau sendiri? Bagaimana menurutmu? Dianggap menarik dan cantik di mata orang?" Daisy meringis. "Aku tidak merasa demikian." "Benarkah?" Drew mendengus. "Tidak ada satu pun gadis yang menolak jika dikatakan cantik oleh orang lain. Penilaian itu datang dari orang lain, bukan darimu. Kau tidak denial, tapi benar adanya." Daisy mendesah pendek. "Kebanyakan yang mengatakannya adalah buaya darat. Jadi, aku tidak terlalu peduli." Kepala Drew mengangguk. "Di satu sisi menyenangkan. Di sisi lain, membosankan. Aku terbiasa memakai banyak topeng di depan orang lain. Dan di depan media, tidak sulit rasanya. Tapi, menjadi terkenal mungkin terdengar mengerikan. Akan ada beberapa penggemar fanatik yang mungkin membuatmu ketakutan dan tak nyaman." "Seperti Damian?" Kening Drew mengernyit. Sebelum dia mengerti siapa yang Daisy maksud. "Benar. Seperti dia." Daisy menelan terakhir keripik rumput lautnya. Bergegas menutupnya dan membuka satu minuman soda. "Kalau begitu, itu mengerikan. Kau harus hidup dengan banyak masalah selama bertahun-tahun." Drew terlihat menahan tawa. Tapi bukan tawa renyah, melainkan tawa pahit. "Setiap pekerjaan memiliki resiko. Kau harus menerima semua konsekuensinya untuk satu pekerjaan tetap." "Aku ... setuju." Drew menatapnya lekat. Hampir membuat Daisy kehilangan napasnya. Dia memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardigan hitam miliknya. "Apa kau selalu berpakaian seperti ini?" "Hm?" Drew mengendik pada kaos oblong tuanya. Yang berpadu dengan cardigan lama hitam. Juga celana pendek berbahan kain yang melekat pada pahanya. "Tempat ini seperti rumah keduamu, kan?" Daisy meringis dalam hati. "Ya." Drew menghela napas panjang. Memundurkan kepalanya untuk menatap sekitar. "Terlihat kontras. Kalau di depan sana, tampak mewah. Dan di belakang sini, tersembunyi rumah-rumah kecil yang terbelakang karena kemajuan ekonomi membuat mereka mundur." Daisy mencicit kecil. "Ada apartemen murah di dekat sana. Tidak terlalu kotor dan tempatnya bersih. Jalan ini juga bersih." Alis Drew terangkat satu. "Aku tidak tahu ada apartemen dekat sini." Daisy menghela napas. "Tidak seharusnya idola besar tahu ada hal kecil seperti itu," bisiknya masam. "Kalau itu berkaitan denganmu, aku harus mencari tahu." Daisy berdeham kecil. Membuka tutup sodanya dan meminum tiga kali tegakan soda hitam di dalam botol. Drew menarik napas kasar. Berdiri dengan angkuh, lalu berjalan masuk ke dalam. Daisy mendecih pelan. Menyadari satu fakta kalau dia sangat menyukai kalung salib berlapis perak milik pria itu. Menatap Drew yang baru saja masuk ke dalam Seven Eleven. Daisy membawa dirinya untuk pergi. Hanya berjalan kurang lebih lima menit, dia memasuki pelataran apartemen murahnya. Menghela napas panjang, mencoba menaiki tangga dari samping apartemen. Mencari kunci yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi, Daisy mendorong pintu kayu itu ke dalam. Merasakan pendingin ruangan menyapa kulitnya, Daisy tersentak saat dia berbalik. Mendengar desakan dari anak tangga kala melihat Drew mendekat. "Kau?" Daisy kehilangan napas dan akal sehatnya sendiri. Saat pria itu mendorongnya masuk, dan Daisy mendengar sesuatu dilempar dari tangannya. "Mau apa kau?" Daisy tidak tahan untuk tidak berteriak saat ini. Membiarkan tetangga kamarnya yang sedang tidur terbangun. Asalkan pria ini mau pergi dan meninggalkannya sendiri. Nyatanya, Drew seteguh karang di lautan. Daisy mendesis jengkel. Percuma bersikap galak kalau pria ini tetap tidak peduli. "Kenapa kau pergi?" "Hah?" Dasar pria sinting! "Ini sudah malam. Aku harus pergi tidur. Aku punya jam kerja nanti," gerutu Daisy kesal. "Sekarang, angkat kakimu dari sini. Pergi dari rumahku!" Mata pekatnya menelusuri satu-persatu isi dalam apartemen. Daisy tidak mendengar pria itu mengeluarkan komentar tentang kondisi kamarnya yang sempit. Karena yang pasti, kamar apartemen Drew jauh lebih besar. Jauh lebih nyaman. Karena jauh lebih mahal dari harga sewa miliknya. "Kau tuli?" "Kau biasa tidur di tempat seperti ini?" Alis Daisy terangkat. Tangannya bersender di pinggang dengan raut kecut. "Ya. Kenapa? Kau mulai risih? Jadi, pergi. Daripada kau mengomentari hal aneh tentang kamarku." Drew berbalik menatapnya. Dan Daisy nyaris tidak bisa bernapas. Matanya berlari mencari ke segala benda untuk dia tatap. "Aku membelikanmu sesuatu." Daisy tersentak. "Apa?" Drew dengan santai menarik bungkusan mahal yang tadi dia lempar. Mendorong bungkusan itu pada Daisy. "Lihat saja." Gadis itu selintas menatap curiga padanya. Kedua matanya menyipit, saat membuka isinya dan terkesiap. "Kau gila?" "Tidak ada kalimat lain untuk berterima kasih? Kau sama sekali tidak tersanjung?" Drew mencibir keras. Daisy menggeleng putus asa. "Kau tahu harga sepatu ini berapa?" Kepala itu terangguk. Dan Daisy nyaris menjerit karena hampir gila. "Benar-benar pria ini," Daisy mendesis. Masih basah dalam ingatannya harga sepatu cantik ini hampir membuatnya terkena serangan jantung. Dengan Kairo yang berniat membantu membelikan, dan Daisy menolak keras karena harganya terlampau mahal. "Kau juga membelikan barang yang sama pada kekasihmu, kan?" Drew mengangkat alis. "Aku tidak membelikan mereka karena keinginanku sendiri. Mereka yang meminta. Dan satu lagi, aku tidak punya kekasih." "Ah, masa?" Daisy mendengus sinis. "Simpan ini untukmu sendiri. Aku tidak mau." Drew menggeram kesal. "Kenapa kau keras kepala sekali? Aku tidak memintamu membayar itu. Itu bukan hutang. Aku benar-benar membelikannya untukmu." "Dasar pria sinting!" Apa dia bilang? Drew berdecak tak percaya. "Kau baru saja menyebutku sinting?" "Dengar, lebih baik kau bawa bokongmu pergi dari sini. Jangan duduk sembarangan di meja! Aku benar-benar kesal sekarang," pekik Daisy marah. "Bawa sepatu ini untukmu. Aku hampir gila melihat harganya dan kau membelikan ini untukku? Ya Tuhan, Drew. Aku tidak tahu apa aku akan gila sebentar lagi karena bertemu denganmu." Daisy menghela napas kasar. Menarik rambutnya sendiri karena mendapati pria itu diam layaknya patung. Drew tidak bicara apa pun, dan malah menatap Daisy dengan sinar mata ... senang? "Apa? Kenapa menatapku seperti itu?" Drew berdeham. Masih dengan senyum tipis yang tampak menawan. "Kau baru saja menyebut namaku. Aku candu untuk mendengarnya sekali lagi." Daisy membeo tidak percaya. "Kau gila?" "Kau baru saja bilang kalau kau gila ketika bertemu denganku," Drew mendengus sinis. "Aku pikir, efekku sama sekali tidak ada gunanya padamu. Dan aku penasaran. Tapi ternyata, kita serupa. Aku membuatmu gila, dan kau pun sama. Jadi, kita impas." Daisy mendesah panjang. "Kalau kau tidak mau, akan kuambil lagi. Aku akan membakarnya di depan apartemenku. Aku tidak sudi melihat sepatu ini menjadi milik orang lain selain dirimu," balasnya dingin yang membuat Daisy membelalak tak percaya. Daisy mendesis. Mencoba balas menatap mata senada langit malam yang ikut menatapnya intens. "Kau benar-benar ... gila." "Aku tahu kau menyukainya. Kenapa tidak kau simpan itu untuk dirimu sendiri?" Daisy menipiskan bibir. "Aku akan melelangnya untuk amal." "Silakan. Kalau saja kau rela." Drew balas menantangnya. Daisy menggerung jengkel. Nyaris menjerit kalau dia tidak bisa menendang pria ini keluar dari kamarnya. Berlari ke arah pintu masuk, Daisy membuka lebar pintu itu. "Baik. Akan aku simpan. Kau puas? Sekarang, pergilah. Ini sudah malam. Kau dan aku butuh tidur." Drew menarik napas panjang. Menatap sepatu itu sekali lagi dan berjalan pergi. Belum dua langkah menjauh, dia menarik lengan itu mendekat. Memberikan satu ciuman singkat di bibir. Daisy tersentak. Membeku hebat dengan pucat di sekujur wajahnya. Saat dia membatu, dan berdeham malu. "Aku akan mengambil ucapan terima kasihku sendiri darimu," bisiknya serak. Daisy menahan napas. Saat kepala itu semakin menunduk ke arahnya. Menyebarkan napas panas menerpa seluruh wajahnya. Daisy terkesiap, menyadari bibir itu telah mengambil bibirnya untuk dilumat. Isi kepalanya mendadak kosong. Semua buram. Bagai kaset rusak yang berputar tanpa bisa menampilkan gambar sama sekali. Daisy merasakan ciuman pria itu lembut, tidak seperti di rumah sakit yang sarat dengan pelampiasan. Ciuman itu berpindah dari mencicipi bibir, sampai menyentuh dalam mulutnya. Daisy membuka mata, memperlihatkan kedua kelopak mata yang tertutup dan bagaimana tampilan pria itu menikmati setiap ciumannya membuat Daisy lemas. Daisy mendadak kosong. Menyadari hantaman bernama hampa yang menggorogoti dadanya dari dalam ketika Drew menjauhkan bibirnya, dan beralih untuk menatap bekas basah pada ciuman mereka dengan tatapan memuja. "Kalau untuk membungkam mulut pedasmu dengan ciuman semanis ini, aku sama sekali tidak keberatan memberikannya berkali-kali." Daisy menghela napas. Menetralkan detak jantungnya sendiri yang berkejaran tidak nyaman. Kemudian, mengulurkan tangan untuk mengusap bekas basah pada bibirnya sendiri. Manik hutannya jatuh menatap bibir tebal yang mengatup rapat. "Aku tidak tahu—," "—cium aku lagi." Daisy tidak melewatkan kesempatan untuk membiarkan bibir itu memagut bibirnya panas. Membuka mulutnya untuk sekedar mencecap rasa milik pria itu di dalam mulutnya sendiri. Dan kembali limbung dalam putus asa dan fantasi tentang malam panasnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN