State Of Grace

3160 Kata
Ketika Daisy terbangun di pagi hari, yang ia dapatkan adalah pemandangan sosok bertelanjang d**a dengan kalung salib perak melingkari leher. Membuat napasnya terhenti dan sesaat tercekat menatap sepasang manik yang terbuka lekat menatap ke arahnya. "Ish!" Daisy terlonjak. Terkejut dengan kejutan listrik yang menyetrum kulitnya. Dia segera bangun, menatap jam dinding dalam kamarnya dan terengah-engah. "Mau apa kau di sini?" "Jam delapan pagi, Daisy. Kenapa kau berteriak?" Daisy mengerang tak percaya. Jam delapan pagi. Dia masih punya waktu tiga jam lagi untuk bersiap-siap dan bekerja. Tapi, pria aneh ini malah tidur di ranjang yang sama, dan bertelanjang d**a. Drew tidak bisa lebih gila dari ini? "Kau—," Daisy menarik napas. "Kenapa kau bertelanjang d**a?" Drew mengangkat alis. Memutar lengannya yang menjadi bantalan untuk menempatkan posisi yang lebih baik. "Pendinginmu tidak bekerja semalaman. Kamar ini panas. Di luar lebih panas. Aku membuka jendela hanya agar kau tidak terbangun." Tidak terbangun? Daisy mendesis jengkel. Turun dari ranjangnya dengan penampilan kusut setiap pagi. Dia menggeleng miris. Ranjang manis ini tidak lagi suci karena ternodai pemain sepak bola seksi yang terdampar di kamarnya. Entah bagaimana bisa Drew menginap di sini? "Oke," Daisy menghela napas. "Tetap tenang." Drew mendengus pelan. Memejamkan kedua mata tampak santai meski gadis di sana terlihat bersusah payah untuk tetap tenang. "Sekarang jelaskan. Bagaimana bisa kau ada di sini, lalu kenapa kau tidur di sini dan kenapa pendingin kamarku mati. Kau bisa tidur di luar, kan? Maksudku, di sofa. Sofa itu tidak terlalu buruk," cicitnya pelan. Menghindari pertengkaran karena tenaganya selepas bangun tidur belum berkumpul banyak. "Kau yang memintaku menginap. Kau tidak ingat?" Pusing mendera kepalanya. "Tidak," balasnya pelan. "Oke. Kedua, pendingin ini mati. Di luar pun sama. Apa apartemen murah ini selalu mematikan listrik sesuka mereka? Kejam sekali." Daisy menelan ludah. "Pemadaman bergilir, mereka menyebutnya begitu." Drew tampak merenung tidak suka. "Kau tidak punya pakaian ganti untuk laki-laki di lemarimu. Jadi, karena kamar ini dan di luar sana seperti neraka, aku melepas kaosku." Daisy menghela napas jengkel. "Lalu, kenapa kau tidak pulang? Apartemenmu dekat dari sini. Kau tidak membawa mobil? Cih," Daisy mencibir. "Yang benar saja! Kau bisa berjalan kaki." Drew mendesah pelan. Mengusap pelipisnya dengan usapan kasar. Sifat galak gadis ini telah kembali. Dan Drew siap mendapat amukan kalau dia salah bicara. "Seharusnya, aku pergi semalam. Tapi, tampilan saat dirimu pulas di atas ranjang tidak bisa kulewatkan begitu saja. Aku terjaga sampai pagi hanya untuk melihatmu tidur." Satu menit. Dua menit. Daisy menahan napas selama beberapa menit berlalu. Menyudahi umpatan dalam hati dan pikirannya karena melihat Drew menatap nakal ke arahnya. Pakaiannya masih utuh seperti semalam. Kalau begitu, mereka hanya mabuk karena ciuman dan Daisy tertidur karena terlalu lelah. "Ya Tuhan." Daisy berbalik untuk pergi ke kamar mandi. Tidak lagi bicara apa pun saat dia berjalan tergesa-gesa. Mencari handuk bersih di kamar mandi dan— "AW!" Lututnya yang lemas mencium pinggiran kloset cukup keras. *** Kairo mencuci tangannya selepas membuang sampah ke tempat pembuangan sampah yang langsung diangkut truk untuk dibuang ke tempat semestinya. Matanya menelusuri sang sahabat yang terduduk lesu. Seakan Daisy baru saja bermimpi buruk karena terlalu sering menonton The Walking Dead. "Hei, are you okay?" Terima kasih pada Lively Rose. Sebelum Kairo bicara, gadis bermata biru itu lebih dulu menyapa setelah datang terlambat karena harus menunggu mobilnya di bengkel. "Yah, aku baik," balasnya lesu. "Kau darimana?" "Thomas masuk bengkel." Begitu Rose menyebut mobil tuanya. Thomas. Sedan tua yang menemaninya sejak usianya tujuh belas. Tidak tahu hadiah dari siapa, tapi sangat berkesan. Sedan tua yang lincah. Tidak kalah dengan mobil mahal lain. Dan Rose sangat mencintainya. "Ini sudah waktunya Thomas untuk pergi dan digantikan yang baru." Rose mendelik tak suka pada Kairo yang mengambil tempat di dekat mereka. "Sekali lagi bicara begitu, kurobek bibirmu." Kairo meledek dengan masam. Berpindah menatap Daisy yang bersandar pada pinggiran meja bar dengan kedua mata terpejam. "Kau semalam mabuk?" "Mabuk soda? Iya," bisiknya serak. "Heleh. Sejak kapan soda berhasil membuat mabuk?" Rose mencela. "Kau ini kenapa? Siapa yang mengganggu?" Bayangan Drew dan penampilan sempurnanya pagi tadi melintas di kepalanya. Daisy merasa sesak. Tidak bisa bernapas dengan baik. Bingung harus bicara apa. Melihat tubuh sesempurna itu, dia kehilangan pita suaranya sendiri. "Tidak ada," balasnya lemah. Kairo mendengus bosan. "Aku rasa, dia sedih karena tidak mendapatkan sepatu cantik harga lima ratus dolar. Dasar naif! Aku sudah berbaik hati ingin meminjamkanmu uang dan kau malah melepas berlian begitu saja." "Itu sepatu, bukan berlian." Kairo mencibir. "Sama saja!" "Kau serius? Kenapa kau selalu membuang kesempatan untuk memiliki? Kairo bisa membantu. Tapi, kenapa?" "Rose," panggilnya pelan. "Aku lebih baik meminta kalian menabung untuk bersenang-senang. Bukan untuk membeli barang yang bukan kebutuhan. Aku bisa membeli sepatu dengan kualitas sama. Tentunya dengan harga yang lebih murah." Rose mengangkat tangannya. Pertanda menyerah. "Yah, terserah kau sajalah." Pintu kafe terdorong masuk. Daisy mendesah melihat siapa tamunya. Dengan malas, dia masih duduk tanpa mau melayani. "Sepertinya, dia masih marah karena Tala datang untuk mengacau kemarin." "Oh, nama medusa itu Tala?" DeomyDwayne mendengus. "Kau dan Orlan menyebutnya sama, medusa." "Memang benar!" Kairo mengerang jengkel. "Dia itu medusa. Kemarin dia menyakiti sahabatku. Dia yang salah. Dan kenapa dia pula yang meminta agar Rose menjilat kakinya dan berlutut untuk minta maaf?" Rose terdiam sebentar. Mencerna obrolan yang terjadi antara Kairo dan Dwayne. Sebelum tersentak, dan menggeram. "Perempuan iblis itu datang?" Kairo mengangguk. "Hanya untuk mencela kami. Mencela kafe ini dan bilang kalau pekerjaan kami ini tidak benar. Dia bahkan menghina Daisy kalau dia menjual diri pada pelanggan." "b******n!" Dwayne meringis kecil melihat gadis berambut pirang itu tampak berapi-api sekarang. "Kalian tenang dulu. Tala sudah aman." "Apa maksudmu? Apa kau mengurungnya di penjara bawah tanah dengan pasal sombong dan tidak tahu diri? Enak saja dia menghina kami!" Dwayne tertawa kecil. Bingung harus katakan apa. Jadi untuk meredam emosi gadis itu, dia memilih pesanan. Dan Rose membuatkannya dengan gerutuan masam. Saat Kairo bangun, bersiap memindahkan persediaan es batu lain ke dalam wadah. "Drew tidak ada di apartemennya pagi tadi. Laka datang untuk mengajaknya sarapan bersama. Dan dia tidak ada. Kau tahu dia kemana?" Daisy mengangkat alis. Menegakkan punggungnya sehabis membungkuk untuk berusaha tidur dan melupakan semua bayangan aneh itu di kepalanya. "Tidak," Daisy merapikan rambutnya. Lalu, berjalan turun dengan ekspresi kaku. "Tidak sama sekali." Kairo terdiam. Dan Rose melirik sahabatnya curiga. Saat Daisy berjalan gontai masuk ke dapur, dan Dwayne memberikan kartu debit pada Rose yang mendesis. "Kalau begitu dia di rumah," bisik Dwayne masam. *** "Kau semalam dimana?" Bloom Orlan mendongak. Kedua iris kelamnya memutar jengah. Lagi-lagi mendapati titisan ular goa keluar dari sarang. Tidak tanggung-tanggung memang, Tala berhasil mengusik base camp mereka dengan penampilan nyentriknya. Membuat kedua mata Orlan sakit. "Tala, sepertinya kau mabuk," ucap Laka pelan. Menyadari kalau perempuan keras kepala itu tidak menggubris, Laka mencibir pelan. "Duduk atau kuseret kau keluar." Tala balas berdecak. Menatap Laka dengan sepasang mata cokelatnya berkilat tajam. Sebelum dia menghempaskan bokongnya ke sofa, dan mendengus. "Kau bisu, Drew? Aku bertanya." "Kenapa kau posesif sekali?" Tala memutar mata bosan. Bertanya pada Drew, yang menjawab bukannya pria itu melainkan pria menyebalkan yang tengah melempar seringai mencemooh. "Diam kau, Bloom." "Kenapa, Tala? Tidak hanya Drew yang bisa membuatmu panas dan b*******h. Aku juga bisa," ujar Orlan sarkatis. Sembari melepas kancing kemeja polosnya, bersiap memberikan Tala pemandangan segar di sore hari. Laka mencibir keras. Dan gerakan tangan Orlan terhenti saat melihat pandangan tajam Drew turun ke arahnya. Membuat pria itu mendengus menahan senyum dan berpaling menatap bir di atas meja. "Oke, Tala. Kau tidak akan bernapsu padaku." Laka terlihat bersusah payah menahan sarkasme yang akan meluncur dari mulutnya. "Semua orang tahu, kalau kau tidak benar-benar mencintai Alexander Mikail. Hanya ibu Drew saja yang terlalu buta." Tala tahu, kalau dia datang ke tempat perkumpulan mereka sama saja dengan mencari mati. Tapi, dia butuh Drew sekarang. Dan tidak bisa lakukan apa pun tanpa bantuan pria itu. "Kau dengar aku, Drew?" Drew berdecak dalam gumaman samar. Meluruskan kedua kakinya saat dia bersidekap. "Apa?" Tala meringis pelan. Mendesis dalam hati karena mendapat respon datar yang amat dibencinya. "Kalau kau terus seperti ini, aku akan mengacau." "Dengan apa?" Kedua mata Tala menatap tajam. "Jangan kau kira aku tidak tahu apa pun, sialan. Kau mengincar salah satu perempuan di kafe murahan itu, kan?" Laka terdiam. Dan terdengar bantingan kaleng soda yang melesat terbang ke tempat sampah. Sayangnya, lemparan Orlan melesat jauh. "Aku rasa, Zico sudah memberi peringatan padamu, Tala. Dan kau masih berani mencari mati?" "Aku tidak bicara padamu," geram Tala rendah. Sudut bibir Orlan tertarik. Memainkan kaleng soda lain di atas meja, iris pekatnya memandang Tala penuh merendahkan. "Tidak hanya Drew, salah satunya juga mencari incaranku. Kau mau tahu yang mana?" Drew terdiam. Menunggu sampai Orlan seleOrlan bicara. "Oh, tentu saja itu tidak mudah. Karena DeomyDwayne juga tertarik membawanya ke ranjang," bisik Orlan parau. Tala memutar mata bosan. "Mati saja kau, Bloom." "Tidak sebelum aku mendapatkannya," Orlan melepas satu soda lagi ke arah Laka yang bersiap menangkap kaleng baru dari ember berisi es batu. "Kau lebih baik menjaga sikapmu. Karena sikap kasar Alexander Tari tidak sama sekali berlaku pada kami. Kau mengerti?" Drew mendengus menahan senyum. Memberi Orlan satu kedipan mata dan berpaling pada Tala yang merengut masam. "Tidak ada gunanya kau di sini, Tala. Datang atau tidak, Drew akan memenuhi keinginanmu. Mau apa lagi?" Tala menatap datar pada Myoujin Laka yang bicara setelah menegak habis soda dinginnya. Melemparkan pandangan dingin penuh perhitungan, lalu meringis pelan. "Aku tidak akan diam saja." Drew menghela napas panjang. "Aku benar-benar serius." Tala berjalan pergi. Menarik tas mahalnya untuk ikut bersama. Saat dia berjalan, menabrak bahu Dwayne yang baru saja masuk ke dalam markas. Menatap wanita aneh itu dengan cibiran sinis. "Dasar aneh," gerutu Dwayne. Mengusap bahunya acuh seakan baru saja bersentuhan dengan debu jalanan. "Kenapa dia di sini?" "Biasa." Orlan menghela napas. Dan pandangan Dwayne jatuh pada Drew yang terpaku diam. Seakan dementor bernama Tala baru saja menyedot jiwanya sampai tak bersisa. "Kita lihat nanti. Siapa yang akan Tala hancurkan." Semua orang terdiam. *** Daisy mendorong bungkus takoyaki ke atas meja. Terpaku menatap satu minuman dingin dan es krim rasa cokelat yang masih terbungkus rapi. Menghela napas panjang, Daisy membuka ponselnya. Mendapati rentetan pesan dari Kairo yang meminta Daisy membawa jajanan rumput laut besok. Dan berujung pada Rose yang berniat meminjam catokan rambut karena miliknya rusak. Daisy sudah seleOrlan membalas semuanya. Lalu, menutup kembali ponselnya. Membuka bungkus es krim, memakannya dalam diam dan menikmati udara malam hari yang berhembus cukup kencang. Tidak ada bulan dan bintang seperti malam-malam sebelumnya. Prakiraan cuaca malam ini adalah hujan disertai angin. Daisy merasakan mendung menggayuti malam yang semakin larut. Beberapa orang tampak terburu-buru ingin cepat sampai ke rumah. "Cinta adalah permainan paling kejam. Kau tahu? Sampai kau bosan dan kau akan berpikir kalau cinta itu tidak ada gunanya." Daisy mendesah pelan. Menyadari ucapan Kairo siang tadi ada benarnya. Memikirkan untuk memendam semua sendiri tidak ada gunanya, Daisy bicara pada kedua sahabatnya. Beruntung, karena asas hakim-menghakimi itu tidak berpihak dirinya siang tadi. Mereka mendengarkan tanpa berkata apa pun. Sampai Rose memberi saran, dan Kairo menjelaskan pendapatnya dari kepala berbeda. Apakah Daisy harus mengakui kekalahannya? Dan berpikir kalau efek Rei Zico tidak akan sehebat efek Alexander Drew? Daisy bukan penggemar klub sepak bola, meski beberapa kali dia mengikuti jalan pertandingan. Seperti piala dunia, semisal. Kedua matanya terpejam. Daisy menghela napas berat. Membuka bungkusan takoyaki yang masih panas dalam diam. Merasakan perutnya bergejolak saat dia memakan satu potong bulat takoyaki isi bayi gurita ke dalam mulutnya. Potongan demi potongan telah dia habiskan. Sampai di potongan terakhir, dan dia membuang bungkusan itu ke tempat sampah. Menegak air minum dinginnya dengan berjalan pergi. Menikmati udara malam sembari berjalan sebentar. Memandang lepas pada pemandangan jalan yang sepi. Lalu, kembali menjauh dalam diam. Kedua mata Daisy memicing. Menemukan Alexander Drew bersandar pada bagian depan mobilnya dengan kepala tertunduk. Pria itu memakai pakaian kasual yang membuat bulu Daisy meremang. Drew dalam pakaian apa pun akan terlihat sempurna. Mendengus mendengar logikanya sendiri bicara, Daisy merasa dirinya gila sebentar lagi. Berjalan gontai, dia hendak masuk melalui pintu belakang dan mendengar pria itu berdeham. Daisy berbalik. Menatap Drew sekilas, lalu berjalan untuk menghampiri pria itu dalam diam. "Sejak kapan kau di sini?" "Baru sepuluh menit yang lalu." Daisy mengangguk. "Oke. Kau datang untuk bicara?" Drew menatapnya tanpa bicara. Pria itu mengangkat alis, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket bomber miliknya dengan ekspresi kaku. "Kenyataan apa yang terjadi semalam di antara kita, tidak sama sekali merubah sikap ketusmu padaku?" Daisy termangu. Berdeham singkat lalu mengutuk dirinya sendiri. Membuang matanya ke arah lain, merutuk kepalanya sendiri yang bodoh. "Tidak. Aku hanya—," Daisy menghela napas. "Aku sendiri tidak tahu harus katakan apa." "Jadi, ini alasan kau pergi ke luar untuk melepas beban di kepalamu?" "Ini obat terbaik. Aku tidak bisa terus-menerus meminum obat pereda sakit kepala karena memikirkan dirimu," balasnya jujur. "Memikirkan aku?" Daisy tercekat. Menipiskan bibir seraya memutar mata bosan. "Kau dan sikap tak terdugamu. Semuanya membuatku sakit kepala." Daisy pikir, pria itu akan menunjukkan ekspresi geli seperti biasa. Tapi nyatanya, dia salah. Drew tidak menunjukkan raut antusias seperti biasa. Melainkan datar dan hampa yang menyesakkan. Daisy meremas tangannya sendiri di depan mantel usangnya. "Kau tidak apa?" Drew menarik napas panjang. Mengangkat bahu acuh dengan pandangan datar menatapnya. "Menurutmu?" "Aku tidak tahu," kata Daisy pelan. "Ini alasan aku datang," ujar Drew datar. "Untuk melihatmu. Aku pikir, semua tidak akan membaik. Percuma. Dan aku harus kembali menghisap vape atau mabuk karena tertekan. Tapi, semua itu tidak perlu." Daisy menatapnya bingung. "Aku sudah merasa lebih baik karena melihatmu." Oke, ini rayuan. Daisy harus mundur sebelum terlena dan jatuh ke jurang terlalu dalam. Drew pikir gadis itu akan berlari menghindarinya. Beranggapan kalau dia baru saja merayunya, dan mengumpat seperti biasa. Namun, Daisy malah mendekat. Memberikan Drew permen asam dan dua permen rasa s**u ke tangannya. "Ini mungkin membantu," Daisy berbisik rendah. Malu karena dirinya baru saja berusaha menghibur pria itu. "Aku terbiasa memakannya kalau sedang gelisah." Drew menunduk guna menatap lima permen beraneka rasa di telapak tangannya. Berpindah menatap wajah manis yang melunak canggung itu. "Berapa?" "Hah?" "Berapa harga permen ini?" Daisy mendengus pelan. Berusaha untuk tidak tertawa. "Kau bercanda? Kau ingin membelinya dariku? Tidak, tidak perlu." Drew terpaku menatap ekspresi jenaka yang luruh di wajah manisnya. "Itu gratis," kata Daisy. Mengendik pada permen di atas telapak tangan Drew. "Aku masih punya banyak di rumah. Kau tahu, makanan manis terkadang yang terbaik." Drew tercenung selama beberapa saat. Sampai Daisy menggeleng pelan, menahan senyum dan mendorong tangan pria itu untuk menjauh. "Tidak apa. Serius. Makan saja. Kau akan merasa lebih baik setelahnya." Drew menerimanya dengan tarikan napas pelan. Membuat Daisy terpaku lurus menatap ke arahnya. "Melihatmu seperti ini, aku ingin membuka diri untuk katakan hal sebenarnya. Kalau aku, bukan pria buruk seperti yang media katakan tentangku." Daisy menahan napas. "Kau punya kekasih?" Kepala Drew menggeleng. "Kalau aku punya, aku tidak mungkin berpaling hanya untuk mengejarmu." Daisy meringis pelan. Menatap pepohonan di depan apartemen murahnya dan mendengus pelan. "Kau serius? Maksudku, terlibat hubungan dengan teman tidurmu?" "Tidak memakai perasaan, Daisy. Kami seleOrlan. Dan semua baik-baik saja. Dia bahkan sudah bertunangan." Daisy menganga. "Kau bercinta dengan kekasih orang lain?" Drew menggeleng. "Sebelumnya. Kami seleOrlan, dan dia bersama teman masa kecilnya. Aku beruntung karena tidak ada satu pun dari kami jatuh cinta." "Wow. Sangat profesional," Daisy mendesis tak percaya. "Friends with benefit?" Drew mengangguk. "Apa kau akan berpikir sama denganku? Kita berhubungan tanpa memakai perasaan?" Daisy tidak tahu mengapa dia harus sefrontal itu untuk mengatakan maksudnya. Drew mungkin mengerti. Karena sekarang, alis pria itu tertekuk tajam. Mengamatinya dengan tatapan ingin menguliti. Membuat Daisy mendesah pelan. Tersenyum karena merasa bersalah sudah bertanya. "Lupakan saja." "Yang mana? Tawaranmu untuk berhubungan tanpa melibatkan rasa?" Daisy menelan ludahnya gugup. Kedua lututnya mulai lemas sekarang. Saat dia melarikan matanya ke arah kalung salib pria itu dan mengangguk kecil. "Ya. Tentang itu." "Aku tertarik dengan berhubungan, tapi memilih untuk menghapus kalimat tanpa melibatkan rasa." Alis Daisy terangkat naik. "Aku tidak bisa berhubungan tanpa melibatkan rasa denganmu. Jadi, aku menolaknya." Daisy menghela napas. "Kalau begitu, kita tidak sepakat." Drew menunjukkan ekspresi masam yang kental. "Itukah yang ada di kepalamu? Berhubungan tanpa melibatkan perasaan? Kau ingin aku patah hati sendiri?" Daisy mengernyit tidak mengerti. Menilai ekspresi kaku pria itu, dan dia menyadari kalau kalimatnya membuat Drew terluka. "Oke. Aku minta maaf," Daisy mengangkat tangannya. Yang semula bersembunyi di saku mantelnya. "Aku tidak tahu harus katakan apa. Aku hanya—," Daisy menarik napas panjang. "—tidak mau terluka karena berhubungan dengan idola tenar sepertimu." Daisy menurunkan tatapannya pada kalung salib pria itu. Menahan napas untuk beberapa detik berlalu, sebelum menghembuskannya kasar. "Kenapa kau senang sekali menatap kalung salib ini? Apa kau takut jantungmu berdebar kencang ketika menatap mataku?" Daisy menelan ludahnya kasar. Mengerang pelan dengan cibiran kecil. "Terlihat sejelas itu?" Daisy tidak bisa menyembunyikan sipu malu yang merambat ke seluruh permukaan wajahnya. Terasa panas sampai membakar dadanya. Saat melihat Drew menunduk, menatapnya dengan satu senyuman tipis. "Kau dengar ini," Drew mengulurkan jemari kokohnya untuk menyusuri permukaan wajahnya yang memerah. "Rona merah ini, dan bibir ini ... semua milikku." Daisy merasakan jantungnya bertalu-talu kencang. Rasanya ingin meledak. Kedua kakinya gemetar karena tidak sanggup menahan tatapan mata yang bersinar lembut, nyaris mencairkan lututnya yang sempat membeku. "Kau tidak bisa mengklaimnya seenakmu. Ini—," Drew membungkam semua kalimat pedasnya dengan satu ciuman singkat. Membuat Daisy terdiam, terpaku merasakan bibirnya sendiri. "Mine." Semua bulunya meremang tanpa sadar. Daisy bergerak memeluk dirinya sendiri. Merasakan hembusan udara malam sebelum hujan membuat tulangnya menggigil. "Aku tidak peduli kalau kau memaksa untuk berhubungan tanpa melibatkan perasaan," Drew berujar dingin, menunduk untuk memberi Daisy getaran lain. "Karena aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk memiliki rasa ini padamu." Daisy menahan napas. Mengulurkan tangannya untuk membekap mulut manis pria itu. Sebelum Drew berkata hal-hal lain yang membuat kedua lututnya makin lemas dan jantungnya berdetak tak karuan. "Berhenti," bisiknya serak. Menatap sepasang bola mata gelap yang ikut memandangnya tajam. Daisy menurunkan tangannya. Menatap datar pada Drew yang masih setia menelanjanginya hanya dengan tatapan mata. "Bagaimana kalau kita mencoba?" Alis Drew tertaut. "Mencoba untuk—," Daisy kehilangan suaranya untuk melanjutkan kalimatnya. "—kalau gagal, kita bisa saling menjauh." "Mencoba untuk apa?" Daisy menahan napas. Merasakan gemetar pada tangannya dan dia mengulurkan tangan yang terkepal untuk memukul bahu pria itu. "Aku tidak mau menjelaskan. Kau sepertinya tahu, dan kau hanya menggodaku, kan?" Drew mendengus pelan. Mencibir sembari berusaha keras menahan tawa untuk tidak membuat Daisy semakin jengkel dan berakhir merajuk padanya. "Bagaimana dengan ini?" Gadis itu tampak malu setelah mencium singkat pipi kirinya. Drew tersentak karena terkejut. Lalu, memandang rendah pada mata yang bersinar lembut padanya. "Apa kau berdebar?" Daisy rasa dia tidak perlu mendengar jawaban pria itu. Karena Drew telah mencuri satu ciuman kurang ajar pada bibirnya. Membiarkan debaran itu menular pada dirinya. Menciptakan reaksi aneh yang menyebar nyeri dimana-mana. Hampir membuatnya lumpuh dan mati rasa dalam rasa sakit yang berbalur menyenangkan. Satu hal yang Daisy tahu setelah beberapa minggu ia habiskan untuk bertemu pria penuh godaan ini dan merasakan ciuman bibirnya. Yang membuat kedua kaki Daisy lumpuh dan mencair karena lemas dalam satu waktu yang lama. Alexander Drew is a good kisser. Damn.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN