Chapter satu
Suara ribut berasal dari kendaraan yang saling bersautan memenuhi pendengaran seorang remaja laki-laki yang sedang duduk di kursi santai bawah pohon. Sesekali matanya menelisik ke arah pintu gerbang besar nan kokoh milik sekolahnya yang sudah hampir tertutup sempurna.
Karena tak sabar, ia bolak-balik melirik jam yang melingkar apik di pergelangan mulusnya.
14:45.
"Aishh, apa hukumannya bertambah?"
Gerutuan itu lolos dari bibir tebalnya, sesekali kakinya menyentak tak karuan di tanah, memperlihatkan bahwa ia sedang bosan sekaligus khawatir. Sekolah telah selesai tepat lima belas menit yang lalu, tapi ada sesuatu yang mengharuskannya tetap berada di sana.
"Hah ...."
Ia menghela napas, lalu tangannya beranjak merogoh ponsel di saku seragam. Men-scrool pelan, lalu mencari nomor seseorang yang menjadi penyebabnya menunggu bak orang tak punya rumah di sini. Matanya menatap ragu pada nama sang pemilik nomor.
My twins(si datar),
Remaja laki-laki itu nampak membolak-balikkan layar, ragu antara mengirim pesan atau membiarkan sampai sang empu yang ditunggu datang.
"Apa dia akan membalasnya? Aku takut kembali diacuhkan, tapi aku khawatir. Arghhh!" Remaja itu nampak mengusak surainya kasar, lalu mematikan layar ponsel dengan cepat.
Dan keputusannya adalah diam, duduk manis dan menunggu entah sampai kapan. Toh ini memang sudah keinginannya untuk menunggu.
Tak lama, akhirnya muncul sosok yang sedari tadi menjadi beban sang pikiran. Sedang jalan dengan santai sambil memasang raut datar. Langsung remaja tadi berdiri dan mengejar sosok yang mulai berjalan menjauh ke arah lain.
"Kak!"
Laki-laki yang merasa baru saja dipanggil itu bernama Galih, remaja datar dengan aura dingin bak orang tak punya ekspresi. Menoleh sebentar lalu kembali berjalan.
"Hei, tunggu akuuu ...," gerutu Genta, remaja yang sedang berlari itu.
Galih memang berjalan, tapi ia sengaja memperlambat langkahnya, sengaja. Daripada diam dan menunggu remaja rempong itu sampai, hah! bukan tipikal nya sekali.
"Hah ... hosh ... hosh ... tak t-tahu terima kasih! Aku sudah menunggu lama asal kakak tahu!" ucap Genta dengan napas tersengal.
Galih tampak acuh, memasukkan tangan ke saku celana sambil terus berjalan.
"Huh ... se-sak, Kak."
Deg!
Barulah, mata sipit Galih membola. Refleks badan nya berhenti, menoleh dan menangkap bahu remaja yang memiliki umur tak terpaut jauh darinya itu.
"Kau oke? Gila! Siapa yang menyuruhmu berlari, bodoh!" Galih masih sempat mencubit lengan adik kembarnya yang bernama lengkap Genta Athala itu, yang dibalas cengiran kotak oleh sang empu.
"Hehehe, tak apa. Aku hanya khawatir kakak di hukum berat oleh pak Budi." Genta masih nampak mengatur napasnya yang memendek.
'Lemah,' batinnya kemudian.
"Itu bukan jawaban, bodoh." Galih memutar bola mata malas. Akhirnya ia pun membawa Genta duduk di pembatas jalan sejenak. Mengurut d**a remaja itu penuh kelembutan, lalu memberi air mineral yang sudah pasti ada di tas sang adik.
"Pak Danang mana?" tanya Galih.
Genta menggeleng, menatap wajah Galih yang pada dasarnya pucat itu agak sedikit lebih pucat.
"Kakak sakit?"
Galih mengernyit, tapi hanya sesaat. Setelahnya ia kembali memasang raut datar.
"Jangan berlebihan, wajahku memang begini," jawab remaja itu kemudian dengan nada dingin.
Genta terkekeh, umur mereka memang tak terpaut jauh, tapi kenapa karakter sangat berbeda jauh seperti ini?
"Kalau sakit jangan diendam sendiri, Kak. Kau masih punya aku untuk tempat membuang beban tak kasat mata itu. Ada masalah lagi sama pak Budi?" tebak Genta.
Dapat Genta lihat Galih menghela napas berat. Mengambil sebuah amplop putih panjang dari tas lalu menyodorkannya pada Genta.
"Berikan pada ayah nanti, aku yakin kalau kau yang beri, ayah tak akan mengamuk parah."
Genta menghela napas, kenapa jadi begini? Padahal setaunya Galih hanya tertidur di kelas saat jam terakhir tadi.
"Buang saja, Kak. Si tua gila itu terlalu berlebihan." Genta sudah hampir mencampakkan surat putih itu ke tong sampah di dekatnya, tapi urung sebab Galih mencegah.
"Kau ingin si tua itu menghubungi ayah langsung? Kalau itu terjadi mungkin aku akan langsung dibunuh." Galih mengalihkan perhatian, lalu mengambil ponselnya.
"Tapi ini berlebihan, kakak kan hany--"
"Cepatlah, kami sudah menunggu lama di dekat gerbang sekolah."
Pip!
Genta bungkam saat wajah Galih berubah kesal dan mematikan ponsel sepihak.
"Jika kau ingin membantu, tolong katakan pada ayah dengan baik-baik."
•••••
"Bodoh! Bisa kau jelaskan langsung padaku apa ini? Tak bisakah kau tak membuatku malu satu kali saja? Surat panggilan seperti ini sudah menumpuk di kamarku dengan berbagai macam alibi pula. Lalu ini apa?" amuk seorang pria paruh baya di sebuah ruang keluarga.
Galih menunduk, menatap lurus pada sendal berbulu yang membalut kaki kecilnya. Ayolah, otaknya sudah menyimpan alasan sejak ia keluar dari ruang guru tadi, tapi entah kenapa semua alasan itu hilang saat hentakan kasar sang ayah memasuki indera pendengarannya.
"Kenapa diam? Alasan apalagi? Kau sakit, hah? Terus pusing, dan berakhir tidur saat jam berlangsung? Di keterangan ini kau sering tidur saat jam pelajaran mulai, bukan sekali ataupun dua kali. Apa sakitmu parah hingga sering membuatmu tertidur di kelas?"
Genta menatap miris saudara kembarnya yang tengah dimarahi habis-habisan oleh sang ayah. Ia tak bisa berbuat apa-apa, walau hanya sekadar membela. Karena jika ia ikut menentang ayahnya ujung-ujungnya Galih juga yang dihukum.
"Mas, sudahlah. Lagi pula besok aku yang akan menemui guru itu, jadi jangan memperpanjangnya lagi, Genta juga sepertinya sedang kurang sehat."
Deg!
Tak bisa dipungkiri bahwa perkataan awal sang ibu membuat Galih menghela napas lega. Tapi, sebelum napas lega itu berhembus sepenuhnya, ia kembali tercekat dengan kata terakhir yang wanita itu katakan.
Jadi semua harus diakhiri karena Genta mereka sedang sakit?
Tak cemburu?
Bohong!
Walau umurnya sudah beranjak dewasa, tapi Galij juga manusia yang bisa cemburu hanya karena hal sepele, seperti saat ini. Terlihat sang ayah langsung meraba dahi adik kembarnya itu dan menghentikan amarahnya. Galih merasakan senang dan kesal sekaligus, entah ia harus bersyukur atau marah ia pun tak tahu. Mencoba memahami satu hal bahwa ... adiknya itu berbeda.
Jadi Galih harus ikhlas jika adiknya perlakukan lebih khusus ketimbang dirinya.
"Galih, masuklah ke kamar. Langsung tidur, vitaminmu jangan lupa. Sepertinya malam ini Genta akan tidur di kamar rawat biar sekalian ibu dan perawat menjaganya. Kau tak apa tidur sendiri, kan?" ucap Arini dengan lembut. Memang ucapan ibunya lembut, tapi mampu membuat hati Galih sedikit terbakar api cemburu.
"Apa aku harus sekarat juga baru bisa diperlakukan sepertinya?"
"Iya, Bu."
Galih langsung beranjak, tak mau memperbanyak kata dan menyaksikan keharmonisan keluarganya. Tidak, remaja itu sama sekali tak marah pada kembarannya, ia justru sangat sayang pada Genta. Hanya saja sipatnya yang dingin membuat orang beranggapan bahwa Galih tak memiliki rasa kasih sayang.
••••••
Galih PoV
Disinilah aku, duduk meringkuk di atas karpet beludru dan bersandar pada ranjang lebar milikku. Jam sudah menunjukkan pukul 02:50 pagi, tapi tak ada rasa kantuk sedikit pun singgah di mataku.
Mereke salah, salah jika beranggapan bahwa hanya Genta yang sakit, tapi aku juga. Sebenarnya aku bahkan lebih lemah dari Genta. Aku sering merasa pusing, mual, tak selera makan, tak bisa tidur, apa mereka tahu?
Tidak!
Aku yang bersikap datar ini seolah dianggap anak kuat yang tak pernah merasakan sakit sedikitpun.
Sudah terjawabkan? Inilah alasannya aku sering tidur di kelas saat jam pelajaran berlangsung, mataku seolah memberat seiiring dengan rasa kebas di daerah belakang kepala. Ada yang tahu? Tidak! Aku kan kuat, mereka tak akan percaya jikapun aku mengatakan bahwa aku sedang sakit.
Mereka semua selalu mementingkan Genta, vonis Dokter yang mengatakan sistem imun Genta yang lemah sejak lahir premature bersamaku membuat segala perhatian menjurus padanya.
Cemburu?
Sekali lagi ku katakan, aku sama sekali tak cemburu apalagi membencinya. Mendengarnya sakit saja sudah membuat ku khawatir, aku menyayanginya, sangat. Dia satu-satunya saudara plus adik yang kupunya. Wajar dia diperhatikan, dia sakit dan memang seharusnya diperhatikan. Aku sadar aku bukan lagi anak-anak yang dengan mudah cemburu hanya karna hal sepele.
Seperti sekarang, di saat mata enggan menutup, rasa kebas mulai terasa di bagian kepala belakang ku.
Lagi,
Pening pun mulai ikut menambah kesakitanku malam ini.
"Selalu begini, tak bisakah kau izinkan aku tidur nyenyak? Satu malam saja, aku tak ingin merepotkan ibu dan ayah."
Kakiku sudah ku selonjorkan, tanganku mulai memijit pelipis sambil meringis pelan. Untung kamarku ini mewah dan lebar, jadi aku tak merasa kedinginan ataupun hal menyedihkan lainnya untung melengkapi rasa sakit. Oh, aku benar-benar mengakui kekayaan keluarga ku ini.
Tapi, sakit ini tak kunjung reda, malah semakin bertambah. Badanku rasanya lemas, aku tak yakin bisa menaiki kasur atau tidak.
Hingga saat aku sedang asik meredam pusing,
Krieett~
"Dek?"
TBC