“Mahesa!”
Seorang gadis yang saat ini memakai gaun panjang berwarna hitam serta rambut cokelat dan kulit sawo matang itu melambaikan tangannya ke arah Mahesa, membuat lelaki tersebut tidak jadi melanjutkan perkataannya dan memilih untuk mengajak Asha turun ke bawah.
“Hai,” sapa wanita itu dengan senyum manis yang seakan tak pernah luntur dari wajahnya.
Asha bingung siapa sebenarnya dia, apakah gadis itu juga dekat dengan Mahesa?
“Siapa nih, pacar lo?” Mahesa hanya diam tak menjawab, begitu juga dengan Banyu dan Yeremias, mereka hanya saling tatap dalam diam.
“Kenalin gue Anneth, sahabatnya mereka bertiga. Iya kan Hes, kita masih sahabatan kan?” sapa gadis yang diketahui bernama Anneth tersebut kepada Asha, mimik wajah Mahesa langsung berubah saat Anneth menekankan kata sahabat pada percakapannya tadi.
Tak ingin menambah suasana menjadi kaku, Yeremias akhirnya ikut membuka suara, “Iya Sha, dia Anneth sepupu gue sekaligus sahabat kita bertiga. S1 cumlaude Sistem Informasi dan sekarang lagi lanjutin S2 di Jepang.”
“Terlalu banyak informasi banget gak sih? Intinya gue sahabatan sama tiga cowok ini. Mereka dulu adik tingkat gue, kalau sama Banyu gue sepantaran, masuk kuliahnya juga bareng. Tapi entah kenapa nggak dia ikutan lulus, katanya sih pengen pakai toga wisuda bareng pacarnya,” tutur Anneth panjang lebar membuat Asha bisa menyimpulkan bahwa wanita tersebut adalah orang yang cukup asik untuk diajak berbicara.
“Oh iya sampai lupa, nama lo siapa?” lanjut Anneth yang sekali lagi bertanya sembari mengangkat tangan kanannya, berniat untuk mengajak Asha bersalaman.
“Nama dia Asha, udah kenal kan?” Mahesa sengaja memotong pembicaraan mereka, dirinya tidak ingin Asha dan Anneth semakin mengenal satu sama lain atau ia akan dalam keadaan bahaya.
Anneth kemudian tersenyum simpul lalu menurunkan tangannya dan berkata, “Tenang aja kali Hes, gak mungkin kan gue cerita yang enggak-enggak tentang lo di depan gebetan lo sendiri?” mendengar perkataan tersebut membuat wajah Mahesa kembali mengeras, bahkan Banyu dan Yeremias pun dibuat terkejut karena keberanian Anneth berkata seperti itu.
Suasana semakin lama semakin canggung, Asha ingin sekali membawa Mahesa pergi dari teman-temannya dan kembali menanyakan pertanyaan yang tadi tidak sempat lelaki itu jawab karena terpotong oleh seruan Anneth.
“Asha, bunda minta kita pulang sekarang,” ucap Brian yang tiba-tiba datang memecah keheningan di sana, lelaki itu dapat merasakan aura dingin menyelimuti mereka berempat, apakah ia datang diwaktu yang salah?
“Hah, kenapa?” tanya Asha bingung.
“Si Joko mau lahiran, klinik hewan jam segini udah pada tutup,” jawaban dari Brian seketika membuat gadis itu terlihat panik. Mereka berdua takut kejadian ibu Joko yang meninggal karena melahirkan nantinya juga akan dialami oleh Joko.
Setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas dan tak mengindahkan tatapan bingung dari orang-orang disekitarnya, Asha langsung menatap Yeremias.
“Maaf kak Yere, Asha pulang dulu ya. Ini masalah hidup dan mati soalnya,” pamit gadis itu kepada Yeremias. Ah, mereka agaknya lupa bahwa Asha adalah orang yang cukup aneh.
“Semangat ya, nanti kalau anaknya cewek jangan lupa kasih ke gue!” Yeremias menjawab dengan genggaman tangan yang diarahkan ke atas membuat gadis itu mengangguk patuh lalu berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju ke parkiran bersama Brian.
“Joko siapa sih?” kini ganti Banyu yang bertanya kepada Yeremias.
“Kucingnya Asha.”
“Hah, kucing cowok bisa hamil?” Banyu kembali bertanya dengan air wajah tak percaya sekaligus terkejut membuat Yeremias berdecak kesal.
“Ya cewek lah bodoh, lo belajar biologi di mana sih?” Lelaki bernada besar itu terdiam saat mendengar cercaan dari Yeremias, salahkan Asha karena memberi nama kucing betina dengan sebutan Joko yang membuat semua orang menjadi salah paham, sama seperti Banyu.
Suasana kembali canggung, satu persatu para tamu Yeremias sudah berpamitan untuk pulang karena acara memang hanya dibatasi sampai jam 11 malam, kini hanya tersisa empat orang yang dari tadi masih saling diam dengan Banyu dan Yeremias asik bersenggolan sedangkan Mahesa dan Anneth tetap mempertahankan kebisuannya, menunggu salah satu menyerah hingga membuka suara terlebih dahulu.
“Kenapa lo kesini?” akhirnya Mahesa menyerah.
“Ini pesta sepupu gue, emang nggak boleh gue kesini?” jawab Anneth santai sembari meminum minuman yang telah disediakan oleh Yeremias.
Diantara semua hal yang Mahesa siap jika itu akan terjadi saat ini, kenapa harus Anneth? Kenapa harus gadis itu yang datang setelah dua tahun mereka tidak bertemu? Kenapa?
“Gue kesini emang niatnya mau liburan, sekalian bikin lo hancur di depan Asha,” ucap Anneth dengan tegas, “Asha itu gadis polos yang terlalu baik buat lo jadiin korban,” imbuhnya hingga membuat tangan Mahesa terkepal kuat berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampar pipi gadis di depannya itu, gadis yang dulu cinta mati dengan Mahesa namun sekarang berubah menjadi benci setengah mati.
“Tau apa lo tentang Asha? Lo siapa emangnya?” Mahesa tidak takut, yang mampu menguasai Mahesa adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.
“Lo dari dulu emang b******n ya!” Anneth berteriak, ia selalu kehilangan kesabarannya jika berurusan dengan Mahesa hingga membuat Yeremias harus sedikit menjauhkan Anneth dari Mahesa atau kejadian saling jambak akan terjadi nantinya.
“Kalau gue b******n kenapa dulu lo suka sama gue? Nggak ada yang nyuruh lo buat suka sama b******n, salahin diri lo sendiri!” Mahesa berbalik membentak Anneth, membuat gadis itu memaksa Yeremias untuk melepaskan pegangan tangannya.
Plak!
Satu tamparan keras mengenai pipi si lelaki, Mahesa hanya memberi satu kesempatan para wanita untuk menamparnya, dan ini kedua kali Anneth melakukan hal itu yang tandanya ia harus melawan tidak peduli sekalipun ia perempuan.
Baru saja Mahesa hendak menjambak rambut panjang Anneth, lelaki tersebut kembali dihadang oleh Banyu.
“Udah Hes, coba pake kepala dingin. Masa tiap ketemu selalu berantem sih!” omel Banyu berusaha tidak ikut larut dalam emosi mereka atau ia akan membanting seluruh meja di sini.
“Selalu panas kepala gue kalau berurusan sama cewek ini!” timpal Mahesa lalu pergi dari rumah Yeremias meninggalkan kedua sahabat dan mantan sahabatnya.
Lelaki berwajah kusut tersebut melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata menembus jalanan malam yang sepi dan tak menghiraukan pesan dari Asha, tidak ada yang bisa menghancurkan Mahesa selain dirinya sendiri, dan Mahesa akan melakukan itu sekarang.
***
Suasana di dalam mobil sangat hening, bahkan suara nafas mereka sampai bisa terdengar di telinga satu sama lain. Kantung mata hitam di mata keduanya menandakan bahwa mereka telah melalui malam yang panjang hingga pagi ini.
Brian dan Asha rela begadang semalaman bersama bunda demi menemani Joko melahirkan, Asha bertugas mengelus kepala Joko agar rileks, bunda sebagai sesi dokumentasi sedangkan Brian sebagai pencari lagu-lagu penenang saat kucing dalam porses persalinan.
“Untung Joko sama ketiga anaknya sehat ya, Bri. Gue nggak tau bakal gimana kalau Joko meninggal,” ucap Asha memecah keheningan, Brian hanya menganggukkan kepala sembari sesekali menguap, ia mencoba untuk terus fokus menyetir sampai kampus agar mereka berdua bisa selamat.
Sesampainya di kampus, Brian dan Asha sengaja tidak masuk kelas pagi dan memilih untuk tidur di dalam perpustakaan karena sangat mengantuk, daripada mengerjakan kuis lalu mendapat nilai C, lebih baik ikut kuis susulan dengan nilai tetap B, pikir mereka.
Lelaki yang saat ini me menutupi seluruh wajahnya dengan hoodie tersebut mulai bergerak menyingkirkan hoodie miliknya, membuka mata lalu melihat keadaan sekitar yang mulai ramai. Sudah berapa jam ia tidur di perpustakaan? Brian kemudian mengambil ponsel di saku bajunya dan melihat jam yang menunjukkan pukul 12 siang, mereka telat 2 mata kuliah.
Brian kemudian menatap ke samping, ke arah gadis yang sedang nyenyak tertidur dengan menelungkup kan wajahnya di atas meja. Tangan Brian lalu terulur untuk mengangkat kepala Asha, membiarkan wajah cantik yang sedang tidur itu terekspos agar si gadis bisa bernafas dengan normal.
Asik mengamati wajah damai Asha saat tidur, perut Brian tiba-tiba berbunyi, ia lupa bahwa mereka berdua tidak sempat sarapan tadi saat di rumah Bunda. Dengan pelan dan hati-hati lelaki itu mendorong kursinya ke belakang lalu berdiri, ia akan pergi ke kantin membeli beberapa makanan ringan untuknya dan Asha.
Langkah kaki itu melangkah dengan cepat karena ia tidak ingin saat Asha bangun, gadis itu mencarinya, padahal Brian juga sudah meletakkan notes kecil di samping Asha yang bertulisan bahwa ia sedang berada di kantin saat ini.
“Kenapa kemarin nggak datang ke pestanya Yere?”
Suara tersebut menghentikan langkah kaki Brian, ia mengintip dari balik dinding yang terletak di dekat kamar mandi, ada Maya dan seorang wanita yang kemarin berada di pesta ulang tahun Yeremias.
Tunggu, kenapa mereka berdua bisa saling kenal?
“Ada acara keluarga, apa yang gue lewatin?” kini suara Maya yang terdengar, entah kenapa insting Brian mengatakan bahwa ia harus mendengarkan percakapan mereka.
“Kayaknya gue bikin dia marah deh, gue kemarin nampar dia tapi itu nggak sebanding sama dia yang nyakitin gue dulu,” ucap perempuan dengan rambut panjang yang ia biarkan tergerai cukup lirih hingga membuat Brian harus sedikit memajukan dirinya.
“Gue bilang kalau dia nggak layak buat temen lo, dia terlalu b******n dan mungkin sekarang dia udah ilang entah kemana,” lanjut perempuan tersebut.
Brian mengernyit, dia siapa? Teman Maya siapa? Sejauh yang Brian ketahui, Maya dan keluarganya merupakan pindahan dari Jogjakarta dan hanya berteman dengannya serta Asha. Apa jangan-jangan yang mereka maksud itu adalah ....
“Siapa yang gak layak untuk siapa?” ucap Brian dengan nada dingin sembari berjalan mendekati kedua wanita yang langsung mematung melihat kedatangan Brian.
“Nggak ada yang mau jelasin ke gue?” lanjutnya namun tetap tidak mendapat jawaban dari mereka berdua.
“Oke, gue akan bilang ke Asha masalah ini. Entah bener atau enggak, firasat gue bilang kalau kalian lagi ngomongin Mahesa sama Asha kan?”
Setelah berkata seperti itu, Brian lalu berbalik kembali menuju perpustakaan, entah kenapa tangannya terkepal erat, ia ingin marah tapi tidak mengerti untuk siapa, apa yang sebenarnya disembunyikan oleh mereka berdua? Kemana Mahesa? Brian tidak peduli walaupun laki-laki itu harus mati sekalipun, yang ia pedulikan adalah Asha, lebih tepatnya perasaan Asha.
“Brian tunggu!” teriak Maya berusaha mengejar Brian diikuti dengan Anneth di belakangnya.
Pemuda tersebut berhenti, rencananya berhasil. Sejujurnya ia tidak akan menceritakan hal ini kepada Asha karena Brian tidak mengetahui apa akar masalahnya, dia bukan tipe orang yang suka memberi kabar abu-abu.
Mereka bertiga kini duduk berhadapan di meja kantin, Brian menunggu dengan tidak sabar karena takut Asha akan bangun nantinya. Masih hening, hanya riuh suara mahasiswa lain yang sedang memesan makanan.
“Singkatnya gini, kak Anneth ini dulu pernah deket sama kak Mahesa tapi tiba-tiba dibuang gitu aja karena ada suatu alasan yang maaf banget harus gue sembunyiin dari lo karena ini juga masih belum jelas bener apa enggaknya,” tutur Maya lirih.
“Kita berdua takut kalau Asha jadi korban kak Mahesa yang selanjutnya,” lanjutnya membuat mimik wajah Brian berubah menjadi lebih serius.
“Terus kenapa lo nggak bilang ke Asha aja sih May, lo temen apa bukan?”
Belum sempat Maya menjawab, Anneth sudah lebih dulu berbicara, “Lo tau kan pesona Mahesa itu nggak main-main, gue dulu juga pernah dikasih peringatan sama Banyu buat gak deket-deket sama Mahesa tapi tetep aja ngeyel. Gue yakin Asha nggak akan percaya gitu aja kalau dia nggak buktiin sendiri."
Kepala Brian terasa pusing, kenapa sampai melibatkan Banyu? Apakah ini semua sudah direncanakan oleh Mahesa? Lalu untuk apa lelaki itu merencanakan hal semacam ini?
“Terus gimana?” Brian kembali membuka suara, tak tau apalagi yang harus ia katakan.
“Lo coba pancing Asha buat hubungin Mahesa, atau kalau perlu sekalian cek apartemennya, kalau nggak ada ....” ucapan Anneth sengaja ia buat menggantung hingga membuat kedua orang yang berada di dekatnya kini semakin terlihat penasaran.
“Kenapa?” tanya Brian.
“Berarti Mahesa udah selesai main-main sama Asha.”