Setelah mendengar penjelasan dari Maya dan Anneth yang Brian rasa kedua wanita itu masih menyembunyikan satu rahasia lagi, ia sekarang kembali ke perpustakaan dengan pikiran yang kemana-mana, otaknya tidak bisa mencerna semua yang dikatakan oleh Maya, ia juga tidak ingin percaya begitu saja.
Di satu sisi, Asha sudah bangun dari tidurnya sejak lima belas menit yang lalu, perutnya juga ikut keroncongan namun saat melihat sticky note dari Brian, gadis itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke kantin, toh nanti Brian pasti akan membelikannya makanan.
Gadis tersebut kembali membuka ponsel yang tadinya berada di saku jaket, kemudian masuk ke room chat orang yang akhir-akhir ini selalu berada di sampingnya. Masih kosong, tak ada jawaban dari pesan yang Asha kirim kemarin malam, bahkan dibaca pun tidak, ia harus menemui Mahesa setelah selesai makan nanti.
Tak lama kemudian, matanya menangkap sosok Brian masuk ke dalam perpustakaan, gadis itu cukup bingung saat melihat Brian tidak membawa barang bawaan apapun, apakah lelaki itu lupa membelikannya makanan?
“Loh, udah bangun?” tanya Brian tanpa dosa.
“Katanya ke kantin, mana makanannya?”
Astaga, Brian benar-benar melupakan apa tujuan utamanya ke kantin, lelaki itu juga lupa bahwa perutnya sekarang masih kosong akibat mendengar penjelasan dari Maya dan Anneth tadi.
“Gue tiba-tiba nggak mood makan di kantin, keluar aja yuk, kita ke restoran seafood,” ajak Brian lalu segera menarik tangan Asha yang masih kebingungan dengan perubahan perilaku Brian, lelaki tersebut terlihat memiliki banyak pikiran sekarang.
@may
[Lo bawa Asha kemana?]
@brianV
[Ke restoran seafood deket kampus, biarin dia makan dulu.]
@may
[Oke 30 menit lagi gue nyusul sama kak Anneth, lo pancing dia buat hubungin Mahesa juga.]
Setelah mematikan koneksi internet, Brian menaruh ponselnya begitu saja di atas meja dengan sedikit emosi membuat Asha yang tadinya asik memilih menu makanan kini beralih menatapnya. Lelaki itu tidak biasanya seperti ini, Brian selalu terlihat ceria jika bersama Asha, namun hari ini tidak.
“Lo kenapa deh Bri? Ada masalah kantor?” tanya Asha dengan raut wajah khawatir.
“Gue nggak apa-apa kok, efek kelaparan kayaknya. Makanan gue samain aja sama punya lo ya,” jawab Brian sembari tersenyum membuat Asha mengangguk paham lalu memanggil pelayan untuk menyampaikan pesanannya.
Keadaan kembali hening, Brian kini sedang sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri, ia bingung bagaimana cara mengawali pertanyaan tentang kabar Mahesa sekarang ke Asha. Gadis itu tau betul bahwa Brian tidak menyukai seniornya, Asha bisa langsung curiga jika Brian tiba-tiba membahas Mahesa.
Tak lama kemudian Brian mendengar suara decakan yang berasal dari gadis dihadapannya, Asha terlihat fokus menatap ponsel namun sepersekian detik kemudian kembali mengeluarkan decakan. Brian bisa menebak ini pasti ada hubungannya dengan Mahesa.
“Kenapa? Ada masalah sama Mahesa?” tanya Brian.
Asha mengangguk, “Dari kemaren dia nggak bales chat gue, apa ada kelas ya?” ujarnya semakin membuat Brian percaya dengan penjelasan kedua gadis tadi.
10 menit menunggu pesanan, akhirnya dua porsi cumi saus tomat serta es jeruk datang hingga membuat perut keduanya semakin keroncongan karena mencium aroma dari masakan itu. Dengan cekatan Asha langsung mengambil sendok dan garpu lalu segera memakan makanannya.
Tidak sampai 5 menit, bahkan makanan mereka belum habis setengahnya, ada dua orang gadis yang tiba-tiba masuk ke dalam restoran itu lalu berjalan mendekati Brian dan Asha. Astaga, padahal Brian ingin menikmati makanan ini tanpa drama apapun, kenapa mereka malah datang lebih cepat dari janji yang ditentukan?
“Being on time means being late, Brian,” bisik Anneth tepat di telinga Brian saat gadis itu duduk disampingnya.
“Halo Asha, ketemu lagi kita,” sapa gadis itu kepada Asha membuat si pemilik nama heran, kenapa Maya bisa datang bersama Anneth, apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya?
Anneth tidak menghiraukan wajah kebingungan Asha, ia juga tidak peduli sebenarnya. Tujuannya kemari adalah berbicara tentang Mahesa lalu memberi peringatan Asha dan setelah itu menghilang dari lingkungan mereka.
“Langsung aja ya, lo pasti penasaran kan kenapa Mahesa kelihatan dingin banget kalau sama gue?” Asha sebenarnya tidak penasaran dengan hal itu karena menurutnya ini privasi antara Mahesa dan ketiga sahabatnya.
“Dulu gue sempet deket sama Mahesa, mau tau ceritanya?” sekali lagi Anneth bertanya membuat Brian tersedak karena gadis ini berbicara tanpa basa basi. sedangkan Asha kembali menganggukkan kepalanya, jika tentang Mahesa, Asha dengan senang hati akan mendengarkan penjelasan Anneth.
Mereka bertiga kini siap mendengar Anneth bercerita, gadis itu pun mulai mengambil nafas dalam dan menata agar duduknya nyaman. Ia menceritakan keadaan pada 2 tahun silam saat Mahesa masih menjadi mahasiswa baru bersama dengan Yeremias.
Berawal dari Yeremias sang sepupu dan Banyu teman kuliahnya yang memperkenalkan Anneth kepada Mahesa, hubungan mereka semakin lama semakin dekat hingga terkesan tidak pantas disebut sebagai sahabat.
Anneth sama seperti Asha, gadis itu memberanikan diri untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada Mahesa. Namun bedanya, Mahesa langsung menolak Anneth dengan alasan bahwa lelaki itu sama sekali tidak mencintainya, Mahesa berkata Anneth terlalu percaya diri dengan menganggap lelaki itu mencintainya. Sedangkan Mahesa kemarin malam tidak mengatakan sepatah kata apapun kepada Asha.
Asha hanya diam saja saat mendengarkan perkataan Anneth, siapa yang harus ia percaya sekarang? Kemana Mahesa? Apakah semua cerita Anneth itu benar atau gadis di hadapannya ini hanya sekedar membual?
“Mahesa itu b******n Sha, dibalik semua kelakuan manisnya ke lo, dia itu nggak nyimpan perasaan apapun. Dia cuma mau main-main sama lo,” Brian memegang tangan Anneth, lelaki itu menggeleng pelan bermaksud agar Anneth menghentikan kata-kata yang menurutnya akan melukai hati Asha.
“Kenapa aku harus percaya sama kak Anneth?” Asha membuka suaranya. Seperti dugaan mereka, gadis ini terlalu polos dan sudah benar-benar jatuh dalam pesona Mahesa.
“Sekarang gue tanya, Mahesa ada kirim pesan ke lo?” Asha menggelengkan kepalanya pelan, tapi bisa saja lelaki itu sedang ada kuliah pagi atau menggantikan jadwal mengajar dosennya pagi ini.
“Kalau kata gue mending lo ketemu sama Banyu dan Yeremias buat memastikan mereka sama Mahesa atau enggak, dan kalau bisa sih lo sekalian datang ke apartemennya,” tutur Anneth dengan tersenyum, ia pernah melewati masalah ini sebelumnya dan gadis itu bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Asha mengangguk, mulai membereskan beberapa barang yang berada di atas meja untuk ia masukkan ke dalam tas ranselnya, berpamitan kepada Maya dan Anneth lalu menarik Brian untuk segera pergi, ia harus membuktikannya sendiri.
Maya menatap kepergian mereka berdua hingga masuk ke dalam tanpa ada niatan ingin mengikuti, tugasnya adalah hanya menjadi pembaca yang baik dengan tidak ikut tercebur dalam masalah si penulis.
Asha menutup pintu mobil Brian dengan cukup keras hingga membuat seseorang yang masih di berada di dalam sana sedikit terkejut. Gadis itu sekarang berlari memasuki sebuah cafe dimana Banyu dan Yeremias berada. Hampir satu bulan berada di dekat Mahesa membuat Asha hafal jadwal mata kuliah serta tempat nongkrong mereka.
“Kak Banyu!!” Asha berteriak sembari berjalan mendekati Banyu dan Yeremias yang sedang asik bersenda gurau di meja paling pojok membuat para pengunjung memandang Asha bingung, begitu pula dengan Banyu serta Yeremias.
“Kak Mahesa ada masuk kelas nggak tadi?” tanyanya yang langsung duduk di depan mereka tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
Brian yang baru saja masuk ke dalam cafe berjalan dengan terburu-buru mendekati mereka bertiga, ia berusaha mencegah Asha jika tiba-tiba gadis itu kehilangan kendali karena emosinya, padahal yang bersumbu pendek di sini sebenarnya adalah Brian.
“Nggak masuk tadi anaknya, gue telfon juga nggak diangkat,” ucap Banyu sembari menggelengkan kepalanya.
Seketika Asha mematung, bahkan Mahesa juga tidak memberi kabar Banyu dan Yeremias. Banyu menyipitkan matanya, ia merasa ada yang tidak beres dengan Asha. Begitu juga dengan Brian, lelaki itu tidak biasanya memasang wajah seserius ini jika bertemu dengan mereka berdua.
“Kalian berdua tau kalau kak Mahesa sama kak Anneth dulunya pernah deket?” Asha kembali bertanya. Kedua senior itu saling pandang, sudah dimulai ternyata, batin mereka.
Yeremias mengangguk, “Kak Anneth emang pernah deket sama Mahesa, tapi kita nggak tau kenapa akhirnya mereka kayak musuh gitu, iya kan Bay?” jelasnya lalu menyenggol dengan keras kaki Banyu hingga membuat lelaki itu langsung mengangguk, mereka berdua sengaja berbohong agar Asha bisa mencari tau sendiri karena keduanya juga tidak ingin mencampuri urusan percintaan Mahesa yang seperti benang kusut ini.
Asha membuang nafasnya kasar, Banyu dan Yeremias tidak tau dimana Mahesa berada. Satu-satunya cara sekarang adalah ia harus pergi ke apartemen Mahesa, mencari tau apakah sosok itu masih di apartemen atau pergi seperti dugaan Anneth.
“Bri, anterin ke apartemennya kak Mahesa,” pinta Asha lalu kembali menarik lengan Brian dan pergi tanpa berpamitan kepada kedua pemuda itu.
“Eh tunggu, kita mau ikut!” ucap Yeremias lalu berlari mengejar Asha dan Brian dengan tangan kanannya terus berusaha menyeret Banyu yang tersedak minuman karena kelakuan lelaki manisnya.
Berhubung apartemen Mahesa termasuk apartemen kelas atas yang sangat mengutamakan privasi pemiliknya, keempat orang itu dilarang masuk tanpa persetujuan Mahesa terlebih dahulu. Banyu ingat betul bagaimana susahnya ia membujuk resepsionis wanita ini agar percaya bahwa dirinya bukan pembunuh saat menggendong Mahesa yang pingsan tempo lalu.
“Lo mau berapa sih?” ucap Brian kesal sembari mengeluarkan sebuah kartu kredit berwarna hitam yang berbunyi nyaring ketika ia lempar ke meja resepsionis hingga membuat Banyu dan Yeremias seketika membulatkan matanya terkejut, itu black card.
“Maaf, ini sudah peraturan apartemen kami,” jawab resepsionis itu berusaha sabar dengan menampilkan senyum manisnya.
“Mbak nya mau cari siapa memangnya? Saya bisa bantu untuk mengecek CCTV area lobi, namun jika ingin masuk ke dalam apartemen pemilik, saya tidak bisa bantu,” secercah harapan ternyata masih memihak Asha, dengan segera gadis itu mengangguk dan mengikuti sang resepsionis masuk ke dalam ruang CCTV diikuti dengan ketiga lelaki itu.
Mereka berempat kini menatap CCTV lobi yang disetel mulai pukul 12 malam sampai siang ini. Tepat pukul setengah satu dini hari, Banyu menekan tanda pause rekaman tersebut, tangannya memutari tubuh seorang lelaki yang terlihat akan berjalan masuk ke dalam lift. Pemuda tersebut sangat yakin bahwa itu Mahesa dari jas yang ia pakai dan waktu lelaki itu sampai di apartemen.
“Gue yakin ini Mahesa, dia pulang dari rumah Yeremias pukul 12, dan perjalanan ke apartemennya kurang lebih menghabiskan waktu setengah jam,” opini Banyu membuat mereka bertiga mengangguk setuju.
Rekaman kembali diputar, dari pukul 1 malam sampai pagi tidak ada tanda-tanda Mahesa keluar dari apartemennya. Namun tepat pukul 8 pagi, Asha melihat sosok yang mirip Mahesa dan dengan segera ia menyuruh Banyu untuk menghentikan rekaman itu sekali lagi.
Lelaki dalam rekaman tersebut terlihat memakai masker dan kacamata berwarna hitam sembari membawa sebuah koper keluar dari lift, yang membuat Asha yakin bahwa itu Mahesa adalah jam tangan hitam yang melingkar di tangan kanannya, Mahesa tidak pernah memasang jam di tangan kiri, tinggi mereka pun terlihat sama.
“Kalian berdua nggak ada yang tau kak Mahesa mau kemana sambil bawa koper itu?” Asha bertanya kepada dua orang yang masih fokus menatap rekaman itu.
Yeremias menggeleng lalu diikuti oleh Banyu, mereka benar-benar tidak tau Mahesa pergi kemana.
Jadi, semua perkataan Anneth mengenai Mahesa itu benar? Bahu Asha melemas, ia ingin menangis saat ini juga, semuanya terjadi terlalu cepat hingga membuat otaknya tidak bisa berfikir dengan jernih.
Brian yang melihat hal itu kemudian mengelus pelan pundak Asha sembari menariknya agar bisa menyenderkan badan gadis tersebut di dadanya, berusaha membisikkan sebuah kata-kata yang setidaknya dapat membuat Asha sedikit tenang.
“Its okay, besok kita cari lagi ya.”
***
Satu bulan berlalu, Anneth sudah kembali ke Jepang untuk melanjutkan studinya, sedangkan Brian masih menepati janjinya yaitu mencari Mahesa sampai saat ini. Namun nihil, lelaki itu seakan hilang ditelan bumi, tidak ada yang mengetahui keberadaannya, bahkan orang tua Mahesa pun tak tau dimana sang anak berada.
Asha tidak ingin melaporkan hal ini ke pihak berwajib karena jelas-jelas Mahesa yang ingin pergi, bukan hilang. Gadis tersebut kini duduk di balkon kamarnya ditemani dengan Brian yang baru saja selesai mengerjakan tugas.
“Lo kurusan tau Sha, pipi gembul lo udah hampir hilang,” celetuk Brian yang lagi-lagi tidak mendapat balasan dari Asha.
Brian marah? Tentu saja, ia marah kepada Mahesa yang dengan berani terlah merebut warna warni di kehidupan Asha, Mahesa merebut keceriaan Asha, Mahesa hilang dengan membawa senyuman Asha.
Ting!
Tiba-tiba terdengar suara notifikasi sebuah pesan masuk di ponsel pintar Asha yang detik berikutnya langsung membuat gadis itu membulatkan matanya dan mengguncang pundak Brian dengan heboh.
“Brian, kita dapet hilal!”
"Hah? apaan?"
@Yeremias
[Gue tau Mahesa dimana.]
***
Tok! Tok! Tok!
Pintu diketuk dengan tidak sabar, membuat lelaki berbadan kecil yang saat ini sedang meringkuk di dalam selimut kamar kosnya bergerak sukar. Siapa tamu yang berani menganggu minggu paginya seperti ini?
Sekali lagi, pintu itu kembali diketuk dengan keras seakan lupa bahwa mereka sedang berada di wilayah kos yang cukup padat. Demi Tuhan, Yeremias akan mengutuk tamunya saat ia membuka pintu nanti.
Lelaki dengan rambut acak-acakan tersebut kemudian berjalan gontai mendekati pintu, memutar kunci lalu membuka kenop pintu dan bersiap untuk mengeluarkan segala u*****n kepada dua orang dihadapannya.
“Dimana alamatnya?” belum sempat membuka suara, sosok wanita dengan badan yang beberapa senti lebih pendek dari Yeremias langsung menodongnya dengan pertanyaan aneh.
“Maksud lo apa sih Sha? Ngelindur lo pagi-pagi kesini?”
Asha mengeluarkan decakan kesal sembari berkacak pinggang, agaknya nyawa Yeremias belum sepenuhnya pulih.
“Alamat rumah kak Mahesa sekarang, kakak kemarin udah janji ya mau ngasih!” omel Asha, pasalnya gadis itu kemarin ingin langsung menemui Yeremias namun dilarang dengan alasan sudah malam padahal masih pukul 8.
“Oh, bentar gue kirim ke line lo,” jawab Yeremias santai lalu mengambil ponselnya yang berada di dalam kamar dan mengirim alamat Mahesa ke nomor Asha.
Brian dan Asha kompak melongo, lalu untuk apa sebenarnya mereka berdua datang kesini kalau Yeremias akan mengirim alamatnya lewat sebuah pesan?
“Udah tuh, pulang sana!” agaknya semua teman Mahesa tidak mengerti bagaimana cara menjamu tamu dengan baik dan benar, atau justru Asha yang memang tidak memiliki adab karena bertamu sepagi ini?
Baru saja Brian dan Asha hendak berbalik menuju mobil yang diparkir di depan gerbang, mata mereka berdua tiba-tiba menangkap sosok laki-laki lain tanpa memakai baju dengan handuk yang melilit area bawahnya.
“Loh Asha, Brian. Ngapain pagi-pagi kesini?” tanya Banyu yang sekarang sudah berdiri di samping Yeremias.
“Harusnya gue yang tanya lo nggak sih bang, kenapa jam segini udah ada di kost bang Yere? Numpang mandi pula,”pertanyaan itu seketika membuat mereka berdua membeku.
“Air di tempat kost gue kotor, jadi numpang mandi disini,” tutur Banyu berusaha setenang mungkin.
Tempat kost Yeremias lebih jauh dari kampus dibandingkan dengan tempat kost Banyu, tapi kenapa Banyu malah berada di tempat Yeremias? lebih-lebih lagi hanya menumpang mandi. Brian dan Asha yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka berdua.
Tak ingin mengulur waktu dengan memikirkan hal yang aneh-aneh, Asha kemudian kembali berpamitan lalu mengajak Brian masuk ke dalam mobil.
“Kita ke Jogja!”