Yah, mau gimana lagi, angkotnya ngumpet. Terus gue pulang pake apa?
Marsha memperhatikan jalanan, matanya berfokus mencari apa yang menjadi objeknya. Menghalau pemandangan yang membuat muak pandangannya. Ya, bisa dibilang risih karena begitu banyak makhluk yang berlalu lalang.
Kadang wujudnya tak beraturan, Marsha tak menyukai kedua matanya. Mata yang entah berupa anugerah atau sebuah kutukan. Bisa menerawang dimensi lain yang sama sekali tak terlalu ia inginkan.
Kata kakeknya, mata ini adalah keturunan ke 6 dalam silsilah keluarga. Biasanya yang mendapat keistimewaan itu adalah laki-laki. Dan kakeknya bilang bahwa Marsha adalah generasi pertama perempuan yang memiliki mata batin itu. Tetapi bagi Marsha, mata batin itu merupakan kekurangan yang menyiksanya selama ini. Kedua mata yang ia punya membuatnya dijauhi semua orang. Julukan gila dan aneh sudah mendarah daging padanya.
"Mama … papa … kalian dimana?"
Anak kecil yang berada di tengah jalan terus menyusuri aspal sambil membawa boneka beruang yang sudah kusam. Anak kecil berwajah pucat itu berjalan tak tentu arah.
Marsha, hanya terus mengawasi. Membawa buku pelajaran yang selalu didekapnya ke sekolah. Tatapan biasa itu memandangi anak kecil itu yang terus-menerus memanggil orang tuanya.
Tak lama, sebuah kendaraan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Suara klaksonnya menjadi pengantar nyanyian di kesunyian sore hari.
Brakk
Tabrakan itu tak dapat dihentikan. Tubuh anak tak berdosa itu terpental jauh, ujung kepalanya menancap pada ranting pohon yang tajam. Sebelah kakinya putus dan masuk ke dalam selokan. Mewarnai parit dengan darah segarnya.
Oh, anak kecil yang malang. Anak kecil yang dibuang oleh orangtuanya. Anak itu masihlah terlalu kecil untuk mengerti jika dia tidak pernah diinginkan. Bahkan, nyawanya melayang percuma.
Hal seperti ini sudah seringkali dilihat oleh Marsha. Penglihatan terbuka itu cukup mudah memperoleh masa lalu seseorang. Walaupun Marsha tak punya niat untuk melihat semuanya. Tetap saja sesuatu selalu mendobrak masuk untuk memberikan secuil ingatan yang menewaskan seseorang ditempat kejadian. Dan Marsha tidak bisa mendengalikannya.
"Ah, pusing. Kapan busnya datang?" keluhnya. Marsha menoleh ke arah kanan. Ada seseorang yang sudah duduk disampingnya.
"Hei, kita ketemu lagi."
"Sejak kapan kamu duduk disitu?" tanya Marsha curiga. Kenapa selalu nongol didekatnya mulu?
"Sejak lo ngelamun sendirian disini. Kenapa sih suka banget tempat sepi, hm?" Marsha menghembuskan napas. Capai juga meladeni orang sok kenal yang terus mengoceh panjang lebar.
"Saya gak butuh ocehan kamu. Kamu bisa pulang duluan."
"Kan gue nanya, kenapa lo gak pulang-pulang? Udah magrib ini, gak baik lho cewek pulang begini." Perkataannya menyuratkan setitik khawatir.
"Saya bisa pulang sendiri, jadi anda bisa pulang ke rumah." Marsha tetap diam ditempatnya.
Rey beranjak dari posisinya, mengambil ponsel dari saku rok abunya. Mengotak-atik sesuatu mengunakan jemari lincahnya. Lalu menyerahkannya kepada Marsha.
Kebingungan timbul di wajah pucat cewek itu.
Apa maksudnya?
Pertanyaan besar muncul di kepala cantik Marsha. Bergantian menatap Rey dan benda yang kini dipegangnya.
"Sudah, pegang aja. Nanti di rumah dibaca, yah!" Cowok itu menampilkan senyum tampannya. Lesung pipinya mencuat dikedua sisi pipinya.
Marsha yang tak tahu mau bilang apa hanya mengangguk saja, memasukkan ponsel yang diberikan secara asal ke dalam tas sekolahnya yang berwarna biru langit.
Bis sekolah pun tiba di halte, tempat Marsha dan Rey menunggu sedari tadi. Ia masuk duluan, tanpa menoleh lagi ke arah Marsha.
Marsha merasakan keanehan dari bus, tumben datang di jam sore begini? Biasanya jadwalnya jam 4 dan sekarang sudah masuk jam 6.
Dipikir-pikir tidak mungkin seaneh ini. Entahlah, sepertinya bukan apa-apa. Bisa saja jika telat dari jadwalnya menjemput murid-murid pulang dari ekskul atau tidak supir tuanya yang pelupa. Marsha mengalami kesulitan saat ingin menaiki pijakan bus. Kakinya seakan berat untuk melangkah naik. Seakan ada yang merantai kakinya secara tak kasat mata.
"Lo kenapa?" Rey yang menyadari Marsha masih belum masuk, membalikkan badannya. Kebingungan akan tingkah Marsha seperti orang yang sedang ditahan polisi. Marsha diam tak menjawab, gadis itu masih sibuk menendang-nendang kakinya yang terasa mati rasa.
"Mar, cepat naik!" Rey berusaha menarik tangan kiri Marsha yang bebas. Sedangkan tangan kiri cewek itu memegangi kakinya yang sulit bergerak.
"Ayo, tunggu apalagi?" Rey tak bisa menari tubuh Marsha yang seperti punya beban berton-ton.
"Kok lo berat banget sih, Mar?" Keringat menetes dari dahi cewek itu. Marsha diserang rasa panik yang sama dengan Rey.
"Sudah, lepasin! Saya gak papa, dia gak mau saya pergi." Rey bingung atas ucapan Marsha yang yang tak begitu ia mengerti.
"Ya gak bisa gitu dong! Kan lo juga pengen pulang kan?" Rey tetap keras kepala dan terus menarik Marsha sekuat tenaganya. Walau sudah ditarik begitu kuat, tubuh Marsha tidak bergerak sedikitpun.
Gadis itu menggeleng, ingin melepas genggaman tangan mereka. Namun, tautan tangannya erat sekali. Seakan tidak ingin Marsha melepaskannya.
"Udah, gak papa. Saya bisa cari kendaraan lain." Marsha sekali lagi mengalah. Tidak ingin melibatkan orang lain untuk menolongnya dari cengkeraman makhluk lain yang sayangnya tak mau melepaskannya.
"Lo pokoknya harus pulang bareng gue!" Pantang bagi Rey, untuk tak menolong seseorang. Mau itu seseorang yang dikenalnya ataupun yang tidak ia kenal. Rey tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada orang lain.
"Ayo sedikit lagi!" Rey menarik kedua tangan Marsha bersamaan. Kakinya sampai terseret ke depan saking susahnya.
"Lo kok bisa begini sih?" Rey bertanya. Setengah mati menariknya, tetapi kaki Marsha diam pada posisinya.
"Saya ditahan sama—dia.” Rey bahkan tidak bisa mendengarnya. Sangat pelan layaknya bisikan.
Napas Rey mulai putus-putus, tenaganya mulai terkuras habis. Mengapa tenaganya kuat sekali?
"Lo jangan begitu! Ayo!" Marsha menunduk, pasrah saja. Tak akan berhasil ditolong oleh Rey. Kekuatan makhluk yang menahannya diluar akal manusia.
Suara komando supir bus terdengar, menambah kesan panik di antara Marsha dan Rey yang masih didepan pintu.
Supir itu baru sadar masih ada penumpang yang belum masuk, "Eh yang di dekat pintu ngapain atuh? Ayo duduk sana, kita mau jalan!"
Ada niat yang terlintas untuk mengendong Marsha. Namun ia urungkan. Ya kalian bakal tahu lah apa yang bakal terjadi. Bus perlahan mulai berjalan, Rey masih saja tak menyerah membawa Marsha masuk. Tangan keduanya basah keringat, sehingga melicinkan genggaman tangan Rey yang kuat terlepas semudah tali tipis yang rapuh.
"Ah!" tubuh Marsha limbung. Mata indahnya terpejam, takut melihat tubuhnya yang terkapar mati di jalanan nanti, lalu melayang diudara.
"Marsha!!!” seru Rey.
***