Matahari terbit, malam yang gelap menyingsing. Cahaya menghangatkan turun untuk menyambut pagi yang cerah hari ini. Tapi sejuk nan lembut itu tak jua meluluhkan kebekuan yang melanda Marsha yang duduk didalam angkot menuju ke sekolahnya.
"Halo, cewek cantik!"
"Cewek, jangan gitu dong. Lirik aku coba? Nanti kita jalan ke warung bakso, aku traktir deh." Marsha tahu, siapa yang mencoba menggodanya sekarang. Sayangnya dia salah sasaran, Marsha bukan orang yang cocok untuk meladeni rayuan laki-laki.
"Brrr …." Cowok yang berada didepannya mengusap-usapkan kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Bertujuan memasang tameng pada rasa menggigil yang menusuk fisik. Apalagi melihat tatapan datar dan dingin cewek yang melamun menatap keluar jendela angkot.
"Cocok sudah, udara dingin ditambah lagi CCD disini. Pemandangan yang harusnya gak gue lihat," keluh cowok itu. Mukanya memelas, mirip anjing jalanan yang terlantar.
"Apa itu CCD, bro?" tanya cowok di sebelahnya. Cowok yang mengeluh itu mengeluarkan cengengesan tak bermanfaatnya.
"Cantik-Cantik Dingin. Lo tau kan siapa?" bisiknya pada temannya. Temannya mengangguk mengiyakan, sempat melirik Marsha sekilas.
"Lo-lo berdua kalo mau ghibah, jangan di angkot. Mending di tong sampah aja, kan nerima tuh omongan-omongan sampah kalian." Lagi seorang cowok yang baru saja masuk angkot, sepertinya menyadari siapa yang cowok-cowok gatel itu bicarakan. Namun, yang diomongin acuh tak acuh.
"Ih apa sih, Lo ikut nimbrung? Gue gak kenal lo, tau!" Cowok yang membelanya itu mengulurkan tangan kepada Marsha, bermaksud mengajak kenalan cewek berwajah pucat yang cantiknya tak terelakkan itu.
"Nama gue Ab--"
Ckiit
Decitan ban mobil yang bergesekan dengan aspal cukup memekakkan telinga yang masih berfungsi itu. Cowok itu akhirnya menubruk jendela yang ada dibelakang punggungnya. Kepalanya ikut menghantam jendela angkot yang jelas-jelas terasa sakit.
Nah kan kena azab.
Tanpa bertanya bagaimana keadaan cowok yang tak ia tahu identitasnya itu, Marsha memilih istilah bodoh amat saja.
"Mamak, kepala gue sakit bat."
Aku gak dengar apa-apa. Telinga tadi ada lalat lewat.
Marsha memutar bola matanya malas. Menumpukan tangan kanannya ke bingkai jendela untuk menahan pipi kanannya, menandakan ia tidak merasa bersemangat buat fokus pada pelajaran yang akan berlangsung dikelas nanti.
"Duh, tuh cewek patung apa? Kok gak noleh waktu gue teriak tadi. Gak bergerak sama sekali buat ngerespon sekitar." Cowok itu terus bergumam, mengomentari sikap antipati Marsha.
"Udah gitu, gak bales jabatan gue. Gak etis banget sih." Tadi marah-marah karena membelanya, sekarang marah-marah pada sikapnya yang kurang menyenangkan.
Ck!
Marsha mendengkus, berusaha menahan diri untuk tak meluapkan rasa kesal yang terkubur didalam hatinya.
"Hei," seseorang menepuk bahunya. Marsha dengan enggan menoleh, matanya berkilat malas.
"Kenapa lagi? Sudah puas ngomongin gue?" Ternyata oh ternyata, lagi-lagi cowok yang sama. Yang menggerutu tentang dirinya, juga yang sudah menambah alasan badmood-nya pagi itu.
"Eh, hehe. Sori gue lagi banyak pikiran." Cowok itu hanya cengengesan.
"Oh ya kenalin nama gue Abri--"
"Semuanya sudah boleh turun, dah sampe!" Abang angkotnya menyela, menyuruh penumpang segera turun. Benar saja, mereka sudah berada tepat di gerbang sekolah.
"Hm," Marsha berdehem. Langsung mengangkat tas yang diletakkan dipangkuan gadis itu. Segera meninggalkan lelaki itu seorang diri di samping Abang angkot.
"Dek, bayar dulu!" sebelum kakinya melangkah pun, tangan penuh kuman itu menyentuh tangan sucinya.
"Jangan sentuh saya, Pak!" Dibalas oleh Abangnya bersama tatapan jijiknya pada cowok itu.
"Dih, mas Abri kambuh lagi. Situ gak usah merasa paling bersih, Mas. Kita semua makan nasi, terus itu punya dosa." Abang angkot itu geleng-geleng kepala, mengiringi langkah kaki cowok yang dipanggil Abri yang sudah memberikan bayaran kepadanya.
"Oh ya, bang. Jangan panggil saya Abri, nama saya itu Reynand bang!" Cowok bernama Rey itu protes. “Saya tuh gak mau disentuh selain lawan jenis, Bang! Soalnya rasanya Abang belom cuci tangan tuh!”
Perkataan Rey itu sanggup membuat Abang angkotnya mengendus-endus tangannya.
***
Namanya, Marsha Kezia Anaki. Seorang cewek yang antipati dan juga nyaman dengan kesendiriannya. Cantik dan pucat adalah salah satu ciri khasnya. Wajahnya yang mengalir darah blasteran membuatnya gampang meluluhkan hati kaum Adam dengan seulas senyum manis. Namun, itu jarang ia tampilkan. Sebaliknya ia suka mendatarkan mukanya daripada tersenyum palsu. Karena menurutnya itu sangat menyakitkan membohongi orang lain hanya agar terlihat bahagia yang sayangnya hanya pura-pura saja.
Namun salah satu kelebihannya meruntuhkan rasa percaya dirinya didepan umum. Bahkan untuk sekedar menyapa orang sudah susah, apalagi menampakkan wajah didepan publik.
"Marsha!" panggil cewek kuncir dua yang mendatangi Marsha. Cewek itu tersenyum manis. Namun, cewek dihadapannya bukanlah pusat fokus cewek pendiam itu, ada sosok lain yang memunggungi cewek kuncir kuda yang menyunggingkan senyum lucunya.
"Mar, lo udah ngerjain PR Fisika?" tanyanya. Marsha tidak menjawab, melirik sekilas cewek dan sosok itu bergantian.
Sraaat ….
Sosok yang menggelayuti bahu cewek itu akhirnya menunjukkan wujudnya. Marsha menunduk, mual menderanya. Mulut sosok itu yang memuntahkan darah segar, mata sebelahnya yang bolong. Juga tangan yang membusuk membuat perutnya terasa diaduk-aduk.
"Lo kenapa, Mar? Marsha? Lo muntah darah?" Alisa kelihatan bingung menghadapi Marsha yang muntah-muntah. Cairan merah mengental itu menusuk hidung bagi yang menghirupnya.
"Hehehe …." Sosok menyeramkan itu terkekeh senang.
Enak banget ya, tinggal ketawain orang yang susah aja. Kalo dia?
Walaupun sudah terbiasa melihat makhluk tak kasat mata dari kecil, yang namanya kaget tak kenal usia dan waktu. Marsha selalu kaget setiap berhadapan dengan mereka yang menjahili dirinya. Jika kalian menanyakan hantu apa saja yang sudah bertatapan dengannya, Marsha pasti menjawab tak bisa dihitung oleh jarinya sendiri. Bahkan jika memakai jari yang tersedia ditangan dan kakinya yang berjumlah 20, lebih dari yang kalian bayangkan.
Efeknya bertemu mereka pun bisa lebih dari ini. Bisa sakit dan pingsan berhari-hari, tak apa Marsha cukup kebal buat tak merepotkan orang lain lagi. Cara mereka yang biasanya menguji kesabarannya adalah membuatnya kaget lalu berefek pada tubuhnya. "Gak papa, gue gak papa. Lo bisa pergi kan?"
Alisa ngeri sendiri pada tatapan tajam dari Marsha. Dia memilih pergi daripada risih ditatap seperti itu oleh cewek berwajah blasteran tersebut.
Marsha mengelap darah yang membekas di pipinya, berlari cepat menuju kamar mandi di bagian ujung kelas.
***
Kriiing ….
Bel masuk kelas berbunyi. Murid-murid berlarian masuk kelas, rata-rata tergesa dan berwajah panik saat kembali ke bangku masing-masing.
Marsha yang melemas dan lesu mendaratkan bokongnya ke bangkunya. Rasanya ingin menaruh dagunya pada permukaan meja yang seakan menggodanya. Tidur, satu kata itu merupakan satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya. Memikirkan itu saja sudah sangat menggiurkan, kasur termasuk impian nomor wahid setelah pulang sekolah. Murid-murid pasti berpikir demikian juga, kecuali orang-orang yang pacaran. Lupa waktu dan dunia, seakan hanya ada mereka berdua saja.
Kriing ....
Lagi, bel berbunyi tapi ini bukan bel yang mengganggu. Tapi bel pulang sekolah, hal yang ditunggu-tunggu oleh sebagian murid.
"Oke, anak-anak. Materi teori sampe sini dulu. Kita lanjutkan Minggu depan!"
"Hore!" Sorak semua anak kelas 11 IPA 2. Berebut didepan pintu hanya dengan tujuan sampai rumah tepat waktu. Mengulas senyum tipis, Marsha memberesi peralatan yang berantakan di mejanya. Memasukkan semuanya dengan hati-hati ke dalam ransel sekolahnya.
"Doorrr!" Seseorang menepuk bahunya kasar. Marsha terkesiap dan melompat saking terkejutnya.
"Kamu--"
"Iya, kenapa? Kaget? Mau marah? Aku kan cogan yang famous. Jadi suka-suka aku dong!"
Ucapan Marsha sudah dipotong. Terus dibalas pakai jawaban tak nyambung. Setelah itu apalagi?
"Ini kan bukan kelas kamu. Ngapain masuk sini?" Marsha bertanya ketus. Tak nyaman dengan keberadaan cowok asing tersebut.
“Gue kan cuma ngecek aja, murid-murid udah pada pulang atau gak? Pas gue kesini, tau-tau cuma ada lo doang."
"Hm, ya udah. Saya mau izin pulang duluan, cowok gagap!" Sebelum Marsha sempat melangkah pergi, Rey menahan kerahnya.
"Siapa yang lo bilang gagap, hah?" Rey membalikkan badan Marsha sampai tepat dihadapannya.
"Kan udah dua kali gak bisa ngomong. Jadi saya simpulkan kamu gagap."
"Hah? Kok gampangan banget sih lo?"
Marsha mengangkat bahu acuh tak acuh. Lalu apa maksudnya dia gampangan? Dia kan hanya menyimpulkan saja.
"Saya gak mau tau nama cowok yang gagap kayak kamu yang kerjaannya cengengesan didekat cewek-cewek!”
***