-------------
JANGAN LUPA TAP LOVE-NYA ... MASUKAN CERITA INI KE DALAM DAFTAR PUSTAKAMU AGAR TIDAK KETINGGALAN CERITANYA.
--------------
Suasana Cafe X tak begitu ramai. Lampu remang-remang menciptakan suasana romantis di sana.
Sepasang kekasih--Kirei dan Jordan--nampak asyik menikmati hidangan. Namun, tiba-tiba ....
"Huueek .... Huueek." Kirei hampir saja memuntahkan semua makanan yang telah meluncur ke dalam lambungnya.
Sontak Jordan terperanjat. Tergesa menyambar tisu di meja, beralih duduk ke samping Kirei, dan mengelap bibir gadis itu.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Jordan khawatir.
Kirei menarik napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri agar tidak mual lagi.
Kirei menatap Jordan. "Ma-Mas, aku hamil," ucap Kirei terbata.
Kening Jordan saling bertautan. Ia bergeming beberapa saat. Mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh Kirei.
"Hamil, Sayang? Kamu beneran hamil?" cecar Jordan.
"I-iya, Mas. Aku harus gimana, Mas? Aku gak mau keluar dari Abraham Company." Kirei tergugu.
Jordan menangkup pipi Kirei dan menatap manik mata Kirei lekat-lekat. "Kita menikah saja," tegas Jordan.
Setelah melalui perdebatan yang alot, mereka bersepakat untuk menikah. Tentu saja Jordan bahagia karena itulah yang ia inginkan dari awal.
Namun, Kirei terlihat murung. Ia teringat akan Ibu dan adiknya. Harapan dan cita-cita untuk membahagiakan mereka, kini kandas sudah.
******
Keesokan harinya ....
TOK! TOK! TOK!
Puji membuka pintu dan mempersilakan para tamu untuk duduk di sofa.
Puji memanggil ibu dan kakaknya untuk segera menemui tamu yang datang.
Kirei berdiri mematung di ruang tamu. Ia shock seperti melihat hantu. Berulang kali ia mengucek mata, tetapi tetap sama.
"Pa-Pak Abraham? Ba-bapak kok datang ke sini?"
Kirei benar2 kaget dibuatnya. Ia berpikir kalau kedatangan Pak Abraham ke rumahnya untuk memintanya kembali bekerja di perusahaan.
Pak Abraham dan Bu Tika--istrinya Pak Abraham--tersenyum tipis.
"Kirei sayang ... perkenalkan ini orang tuaku," ucap Jordan yang membuat Kirei tercengang.
"O-orang tuamu, Mas? Pemilik perusahaan tempatku bekerja kemarin itu orang tuamu, Mas?" cecar Kirei.
Jordan hanya mengangguk pelan. Sebenarnya ada rasa bersalah dalam diri lelaki itu karena tidak memberitahukan dari awal tentang siapa dirinya.
Kirei menatap Jordan nanar. Gadis itu merasa tak percaya dengan kenyataan ini. Ada banyak pertanyaan dalam benaknya.
Jika Jordan adalah anak dari pemilik perusahaan itu, mengapa dia tidak membantunya untuk tetap bekerja di sana?
Jika Jordan benar-benar anak mereka, mengapa dia sendiri tidak bekerja di sana? Ah, terlalu banyak kejanggalan.
"Kirei, pasti banyak pertanyaan dalam benakmu tentang kami. Jordan memang anak kami satu-satunya, dialah pewaris Abraham Company, tapi Jordan ini anaknya memang mandiri, bahkan terlalu mandiri. Dia ingin merintis karirrnya dari nol ...."
Pernyataan Pak Abraham menjawab semua tanda tanya besar dalam benak Kirei.
Jordan, anak seorang pengusaha kaya raya, tetapi menolak untuk mendapatkan segala fasilitas dari orang tuanya.
Padahal, Jordan bisa menikmati kekayaan itu tanpa harus bersusah payah bekerja di perusahaan lain. Bodoh ataukah apa dia itu?
Sementara Kirei sendiri harus berusaha setengah mati untuk dapat diterima di perusahaan milik keluarganya. Tidak bisakah dia menggunakan kekuasaannya untuk tetap mempertahankan Kirei di perusahaan itu? Ah, sungguh naif.
Pertemuan ini akhirnya mendapatkan kesepakatan jika Jordan dan Kirei akan menikah seminggu lagi dengan perayaan yang sederhana.
Ah, lagi-lagi Kirei dibuat bingung dan kesal. Kenapa hanya mengadakan acara sederhana? Sedangkan mereka bisa mengadakan acara super mewah.
Kirei berfikir jika menikah adalah moment sekali seumur hidup. Jadi harus diadakan semewah dan sesempurna mungkin. Namun, jika pihak lelaki inginnya sederhana. Apa mau dikata?
******
"Mas, kenapa kamu tidak pernah bercerita jika kamu anak dari Pak Abraham?" tanya Kirei saat duduk berdua di ruang tamu dengan Jordan.
"Memangnya kenapa? Apa semua itu bisa berpengaruh bagimu jika tahu latar belakangku sesungguhnya?" Jordan balik bertanya.
"Ya, bukan begitu ... aku baru nyadar aja kalau selama ini aku tidak pernah kamu kenalkan kepada orang tuamu. Apakah aku ini tidak cukup berharga bagimu?"
Jordan menarik napas panjang. "Bukankah selama ini aku terus-terusan memintamu menjadi istriku? Jika kamu menerimaku dari dulu, bagiku itulah moment yang tepat untuk memperkenalkan langsung calon istriku pada Mama dan Papa," jelas Jordan.
Kirei hanya terdiam mendengar penjelasan dari Jordan. Benar sekali, selama ini dialah yang selalu menolak jika Jordan mengajaknya ke pelaminan. Lalu kenapa sekarang dia protes?
Jordan pun menjelaskan kenapa dia tidak membantu Kirei untuk tetap bekerja di Abraham Company. Padahal, dia bisa menggunakan kekuasaannya untuk tetap membuat Kirei berada di sana.
Jordan tidak mau jika ia menggunakan kekuasaan sesuka hati. Walaupun Kirei adalah calon istrinya, peraturan tetaplah peraturan. Lagipula ia sendiri memilih tidak memimpin perusahaan itu jika belum waktunya.
Jordan merasa belum pantas untuk memimpin perusahaan itu. Oleh karena itu, ia pun berusaha untuk memantaskan diri dengan merintis karier dari nol.
Jordan ingin membuktikan pada papanya jika ia mampu berdiri di kaki sendiri tanpa bantuan orang tua. Jikapun ia harus kembali, maka ia pun akan merasa pantas berada di kursi tertinggi di perusahaan Abraham Company.
******
"Bu, maafin Kirei karena tidak bisa membahagiakan Ibu dan Puji. Seharusnya Ibu sekarang udah waktunya untuk istirahat. Seharusnya Kirei yang bertanggung jawab pada Ibu dan Puji." Kirei bersimpuh di kaki Bu Tiwi yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.
Bu Tiwi mengusap lembut pucuk kepala Kirei yang tertidur di pahanya. "Jangan jadikan Ibu sama Puji sebagai bebanmu, Nduk! Lagi pula, gaji pensiun dari mendiang ayahmu masih cukup untuk membiayai kehidupan kami. Ibu juga, kan, jualan soto di depan rumah. Cukuplah untuk membiayai kami berdua."
Kirei menitikan air mata. Teringat kerja keras ibunya menyekolahkan dirinya. Hanya bermodalkan gaji pensiun dari mendiang ayahnya dan hasil berjualan soto ibunya.
"Ini semua salah Kirei, Bu. Kirei tidak bisa menjaga diri. Kirei--"
"Sst, jangan menyalahkan diri sendiri. Ini semua sudah suratan takdir. Kalau saja ayahmu masih ada, beliau pasti juga akan merasa bahagia melihat putri kesayangannya akan menikah dengan pria sebaik Nak Jordan."
Benarkah apa yang dikatakan oleh Ibu? Benarkah Ayah juga akan merasa bahagia jika aku menikah sekarang dengan Mas Jordan?
Namun, apa yang dikatakan Ibu memang benar adanya. Selama ini Ibu bisa dan mampu merawat kedua putrinya seorang diri tanpa bantuan dari siapapun.
Ibunya benar-benar wanita tangguh. Berhasil menyekolahkan Kirei sampai lulus sarjana dan membiayai Puji yang masih di bangku SMA.
Kirei benar-benar merasa bersalah kepada keluarganya. Seharusnya sekarang menjadi tanggung jawabnya menopang ekonomi keluarga. Namun, kini cita-citanya hanya akan menjadi angan belaka. Ah, penyesalan memang akan selalu datang diakhir cerita.
Akan tetapi, tak dipungkiri sebagai wanita normal, ia pun ingin hidup berumah tangga dengan kekasih pujaan hati. Ingin hidup berbahagia bersama suami dan anak-anaknya kelak. Bolehkan dia egois kali ini saja?
Di dalam lubuk hatinya ingin mendapatkan keduanya. Karier dan suami. Ah, antara keinginan dan cita-cita terkadang tidak bisa berjalan beriringan. Ingin hati mendapatkan keduanya, tetapi takdir berkata lain.
Memangnya siapa yang bisa melawan takdir? Sekuat apa pun kita berusaha. Sekeras apa pun kita berjuang, jika takdir berkata lain, maka kita harus bisa se-ikhlas mungkin menjalani.
Bersambung ....