Bagian 2

2025 Kata
Wajah-wajah itu menatapnya kosong: pelik dan membingungkan. Mulanya ia menyukai gagasan untuk bergantung pada harapan semu, kemudian semua itu terdengar konyol. Baginya kehidupan seperti roda yang berputar pada porosnya. Ia tidak memercayai kebetulan-kebetulan berulang yang selalu disebutkan dalam setiap kejadian. Ia menyukai segala sesuatu berjalan dengan cermat, mengikuti aturan dasar logika dan tidak menyalahi hukum alam. Tidak ada sebuah kebetulan yang dirancang secara berulang di dunia ini. Begitulah yang dipikirkannya. Ia tidak menempati rumah itu secara kebetulan, ia tidak mendapatkan uang secara kebetulan, dan ia tidak tertarik pada pasangan yang menempati rumah besar di seberang taman itu secara kebetulan. Intinya, semua hal itu terencana. Pergi ke gym, membayar tagihan, membeli pakaian, bekerja, dan mengulangi kegiatan yang sama pada hari-hari berikutnya, semua itu adalah rencana. Termasuk menyaksikan Deniese Owen berputar-putar di balik layar dalam irama akustik yang memanjakan telinga. Louise menyukai kegiatan itu: duduk di sofa, memulai skenario teka-tekinya sembari menyaksikan Deniese muncul di balik layar berlatarkan nuansa hitam putih yang pekat. Louise akan berlama-lama duduk disana, menyesap anggur terbaiknya, menyusun rencana-rencana. Ia ahli dalam menyusun sebuah rencana. Siapa sangka kemampuannya menyusun rencana, memainkan kartunya dengan baik di hadapan lawan mainnya, telah membawa kemenangan berkali-kali yang menguntungkannya dalam sebuah taruhan. Bagaimanapun, Louise menikmati hidupnya. Ia membeli rumah itu dengan kerja kerasnya, mengisi setiap sudutnya dengan barang-barang yang didapatkan dengan susah payah – membeli anggur terbaiknya. Dunia adalah versi lain dari kisah-kisah fiksi, begitu kata Ed, suaminya. Tapi Louise tidak menyukai fiksi. Ia menikmati seni, menyukai torehan lembut dan keunikannya namun tidak dengan fiksi. Louise terbiasa dengan pandangan itu sejak kecil. Membiasakan diri melihat kehidupan dari sudut yang kasar adalah kemampuannya. Tutornya mengatakan bahwa Louise memiliki ketajaman insting dan kepekaan melebihi orang-orang di sekitarnya. (Mungkin) itu juga yang menjadi alasan Ed meninggalkannya. Tapi Louise tidak bisa menyalahkan keterbatasan Ed. Laki-laki itu cenderung berpikir dangkal dan jika ditanya, maka Louise akan mengakui bahwa Ed adalah peselingkuh nomor satu. Laki-laki hidung belang yang menyukai gadis-gadis muda. Itu masalah Ed jika laki-laki itu suka melirik gadis-gadis yang usianya lebih muda hingga lebih pantas disebut sebagai anaknya. Louise tidak bertanggungjawab atas kehancuran rumah tangga mereka. Lagipula, Louise sudah punya firasat bahwa mereka tidak akan bertahan lebih dari sepuluh tahun. Masalahnya, Louise tidak memiliki rencana bagus untuk dilakukan. Ia tidak berencana menikah dalam waktu dekat, ia tidak tertarik untuk melakukan suatu kegiatan dan mengingat Ed hanya membawa pengaruh buruk yang membuat hidupnya semakin kacau hingga tidak terasa lima tahun telah berlalu. Louise hanya merangkak di bawah atap rumahnya, menghitung hari, menghabiskan waktu dengan anggurnya. Setiap jam terasa bergerak begitu lambat, setiap detiknya jadi terasa menyiksa, kemudian hidupnya tidak bisa menjadi lebih buruk dari neraka. Siapa sangka Ed mampu memberikan dampak begitu besar bagi kehidupan Louise? Kehidupannya berubah sejak saat itu, Louise menyadarinya, ia merasakannya dengan jelas, namun sesuatu selalu menahannya untuk tetap merangkak, bersembunyi di balik kenyamanan yang dapat ditawarkan rumahnya dan berkubang disana selama bertahun-tahun hingga ia pikir ia akan segera membusuk. Dunia begitu mudah melupakannya. Pada akhirnya, orang-orang pergi meninggalkan Louise. Tiba masanya ketika Louise benar-benar sendirian, segalanya menjadi terasa salah. Sejauh yang ditahuinya, ia tidak pernah benar-benar keluar dari kubangannya. Yang dilakukannya sepanjang waktu hanya mengamati. Untuk alasan yang tidak dapat ia pahami, Louise menyukai kegiatan itu. Ia senang mengamati dunia di sekelilingnya: pasangan-pasangan muda, kehidupan teratur Mrs. Lawrence yang telah berusia paruh baya, remaja-remaja usil di sekitar rumahnya, juga pasangan muda yang menempati rumah mewah di seberang taman. Louise sering melihat si wanita berdiri di atas balkon dengan mata menerawang ke depan – seolah-olah ia sedang berusaha membayangkan dirinya berada di tempat lain. Rambut cokelat gelapnya dipangkas sepanjang bahu, garis rahangnya tegas dengan sudut-sudut yang pas. Biasanya wanita itu akan mengenakan pakaian dengan kerah tinggi yang menutupi lehernya, hari ini Louise melihatnya mengenakan sebuah sweter merah, warna yang begitu mencerminkan dirinya. Wanita itu muda, tinggi dan ramping. Ia memiliki kulit pucat tak bercela dan kedua mata cekung yang seakan hendak menyiratkan pesan yang begitu dalam. Saat pertama melihat wanita itu berdiri di belakang jendela kamarnya Louise melihat sosok yang benar-benar berbeda. Ia suka mengenakan pakaian berwarna gelap dengan lengan panjang, wajahnya tidak sepucat dan setirus seperti sekarang, dan keanggunannya memancarkan sebuah energi yang jarang ditemukan Louise pada wanita seusianya. Kemudian, laki-laki yang tinggal bersamanya adalah gambaran lain dari bentuk kesempuraan. Si laki-laki cukup menarik, ia mapan dan memiliki segala hal yang dibutuhkan setiap wanita. Keberadaannya adalah pelengkap kesempurnaan dalam hubungan mereka, namun akhir-akhir ini Louise sering bertanya-tanya apa pandangannya sudah tepat. Ia sepenuhnya tidak memiliki dasar atas pendapat itu karena Louise hanya bertindak sebagai pengamat. Kehidupan pasangan itu adalah versi lain dari kisah yang menarik untuk diselami. Dalam kurun waktu kurang dari dua minggu sejak kedatangan pasangan itu di wilayanya, Louise segera mengetahui identitas mereka. Si suami: Jimmy Foster, atau yang akrab disapa Jim. Sedangkan si istri: sang balerina yang memutuskan untuk pensiun di masa emasnya, bernama Rita Foster. Masing-masing berusia tiga puluh tiga dan tiga puluh tahun. Muda dan memiliki segalanya. Namun benarkah hanya itu yang dibutuhkan dalam pernikahan? Jim Foster pergi setiap pukul sembilan pada hari-hari sibuk dan kembali sebelum pukul tujuh. Rita jarang terliat berkeliaran di luar rumah, wanita itu nyaris tidak pernah bersosialisasi dan kehidupannya seakan seperti sebuah isolasi. Setiap hari kamis, wanita itu akan keluar untuk menghadiri kelas terapi, Louise pernah membuntutinya sesekali dan sebagian besar rutinitasnya benar-benar dihabiskan di dalam rumah. Pagi ini, Louise menyaksikan Rita berdiri di ambang jendela, satu tangannya menekankan ponsel ke telinga dan ia berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Wajahnya tampak berseri-seri dan Louise kembali memulai kebiasaannya menebak-nebak. Ia suka membayangkan Rita berbicara dengan suaminya di seberang telepon. Kemudian, Louise akan mencoba menerka isi percakapan mereka. Namun pagi itu baru pukul sepuluh dan Jim pergi beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu mungkin baru saja tiba di kantornya, duduk menempati kursinya yang nyaman dan baru saja membalas e-mail yang masuk ke komputernya. Seseorang yang dihubungi Rita bisa saja Jim, bisa saja orang lain. Ia sedang memerhatikan wanita itu dengan cermat, kemudian alarm kebakarannya menyala, memberitahunya bahwa masakannya terpanggang hangus di dalam microwave. Louise mengumpat kasar. Ia nyaris melompat ketika menyambar mesin itu kemudian mengeluarkan masakannya yang gagal dan meletakkannya di bak pencuci piring. Suara berdesis keluar ketika pancuran air keran menyentuh permukaan panas pemanggang. Louise menyambar ponselnya, memutuskan bahwa sebaiknya ia memesan makanan siap saji untuk sarapannya. Pada pukul dua belas, Rita terlihat berkeliaran di pekarangan rumahnya. Lahan luas itu telah dipenuhi oleh berbagai jenis tanaman sehingga memberi warna yang terkesan ramai. Semak-semak berbaris rapi di sepanjang pagar, rumput hijaunya dibabat hingga membentuk jalur di sepanjang pekarangan. Pohon-pohon berdiri kokoh, air yang mengisi kolam kecilnya masih tampak jernih. Rita tidak kesulitan mengurus rumah itu. Ia telah memastikan tanamannya tumbuh subur dan terawat. Kaca-kaca di rumahnya tidak kusam, dinding-dindingnya mengilap, nyaris tidak ada setitik noda yang dibiarkan menetap lama di sana. Kemudian, satu jam berikutnya, Rita terlihat sedang duduk bersantai di dekat kolam renang. Mengenakan bikini hitam dan celana ketatnya, ia siap untuk melompat ke dalam kolam. Kedua lengannya yang ramping mengayun dengan bebas di permukaan air, kaki jenjangnya bergerak naik turun, menepuk-nepuk air hingga menciptakan cipratan yang besar di belakangnya. Ia berbaring dan menikmati cahaya matahari yang menyinari kulit pucatnya. Membiarkan cahaya itu menyentuh bintik-bintik memerah di atas kulitnya. Wanita itu hanya duduk dan memandangi air untuk waktu yang lama, kemudian Louise menyaksikannya menghilang di balik pintu kaca, tapi ia masih dapat melihat Rita melenggang masuk menaiki tangga. Louise menyaksikannya hendak menanggalkan pakaian sebelum Rita menurunkan tirai untuk menutupi kaca-kaca. Sekitar pukul empat, Louise terbangun dan menyadari kalau ia tertidur di atas sofa ketika menyaksikan siaran favoritnya. Sisa botol anggur dan bungkus coklat bertebaran di atas meja. Bekas tumpahan bir itu kini memenuhi karpet flanel-nya dan menciptakan lingkaran gelap di atas permukaan karpet itu. Ia mengingatkan dirinya untuk mencuci karpet itu besok. Tidak ada banyak hal yang dapat dilakukannya hari ini. Biasanya, seorang petugas pos suka berkeliaran di sekitar rumahnya. Louise menegurnya sesekali, tapi pria itu tidak begitu tertarik untuk berbicara dengannya. Terkadang ia dapat melakukan hal-hal konyol seperti bercocok tanam atau mencoba beberapa resep masakan baru. Namun, mengingat kebakaran kecil yang disebabkannya pagi ini, Louise berpikir duakali untuk mencobanya. Jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh lima belas. Langit di atas atapnya mulai gelap, keheningan menjalar di setiap sudut tempat, dan sisa-sisa daun yang berguguran mengisi jalanan kosong. Rumah di seberang taman itu masih bergeming. Tirai-tirai panjangnya menutupi pemandangan ke bagian dalam rumah, sebuah cahaya keemasan dari arah kamar tidur Rita menyala kemudian sebuah mobil baru saja berbelok memasuki halaman depan rumah. Pintu-pintu yang terbuka segera menyambutnya. Samar-samar Louise menyaksikan Rita berdiri di belakang jendela, mengintip keluar kemudian membenahi ikatan piyamanya sebelum bergerak keluar. Wajah pucatnya tersenyum, rahangnya menarik begitu lebar. Jimmy Foster baru saja keluar dari balik pintu mobilnya, masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat terakhir laki-laki itu meninggalkan rumahnya pagi ini: sebuah kemeja biru, jas hitam dengan label yang tertera jelas, sepatu mengilap, tas hitam besar yang berayun di satu tangannya. Mula-mula ia berjalan menghampiri si wanita, Louise nyaris dapat menebak apa yang terjadi berikutnya: si pria mencium si wanita, si pria berjalan mendauhului si wanita, si wanita mengekor dan menutup pintu di belakangnya. Tirai-tirai kini dibiarkan terbuka sehingga Louise dapat melihat lebih leluasa ketegangan yang terjadi di ruang makan. Pasangan yang begitu anggun dengan keheningan yang elegan. Si pria membalik halaman surat kabar, si wanita sibuk dengan buku catatannya. Louise mencoba membayangkan isi percakapan mereka, topik yang mungkin dibahas dalam situasi sehening itu. Kemudian ia teringat Ed, segala guyonannya tentang sejarah-sejarah kuno, atau komentar-komentar pedasnya dalam setiap kolom berita di surat kabar. Pikiran Louise terbuka seperti cangkang yang kosong. Ia mendengarkan semua yang dikatakan Ed, menyimaknya dengan berhati-hati tanpa berniat untuk menanggapinya. Baginya situasi itu adalah hal yang biasa dalam keseharian mereka. Sebagai dosen sejarah, Ed tertarik pada filosofi kuno – Louise lebih tertarik pada sains. Ia menjalani studi selama tujuh tahun di Chicago dan lulus dengan nilai baik. Louise mengajar di sebuah sekolah menengah atas sebagai guru fisika selama lima tahun. Kehidupannya berlangsung baik saat itu hingga ia bertemu Ed dan satu tahun berikutnya mereka melangsungkan pernikahan. Nyatanya kehidupan pernikahan benar-benar berbeda dari apa yang dipikirkannya. Kemudian, Louise menyadari bahwa ia tidak benar-benar memiliki rencana khusus tentang apa yang akan dilakukan setelah pernikahan itu berakhir. Meskipun begitu, segalanya masih terasa segar dalam ingatan. Obrolan-obrolannya dengan Ed, candaan laki-laki itu, atau bahkan perdebatan mereka di atas meja makan. Situasi itu benar-benar hidup dan begitu berbekas. Nyaris menyisakan sesuatu yang begitu dalam untuk dapat dilupakan dengan mudah. Gambaran pernikahan pasangan di seberang taman adalah versi yang berbeda dari pernikahannya. Dalam tahun-tahun tersulit yang dijalaninya bersama Ed, nyaris tidak ada hari tanpa teriakan dan luapan emosi yang dalam. Gagasan mereka selalu bertolak belakang. Mereka bisa saja memperdebatkan hal-hal kecil, dan Ed adalah ahli dalam membesar-besarkan masalah. Meskipun bergitu, terkadang Louise benar-benar merindukan momen kebersamaan mereka. Sifat keras kepala yang melekat dalam diri mereka dan percakapan-percakapan semu yang mulai teringat samar. Louise nyaris melupakan Ed: cara laki-laki memilih pakaian yang akan dikenakannya, cara laki-laki itu mengatur kursinya ketika hendak makan, atau caranya mengomentari setiap kolom berita di surat kabar. Ingatannya memudar seiring berjalannya waktu. Alkohol telah menghanyutkannya, membuatnya larut dalam kehidupan yang hanya berputar pada satu poros. Louise merindukan kesibukannya, masa-masa ketika ia masih mengajar di sekolah, atau momen ketika ia berkumpul dengan teman-temannya. Memandangi pasangan di seberang taman membuatnya iri, namun disisi lain membuat kerinduannya terpenuhi. Perselingkuhan adalah sesuatu yang menentang janji pernikahan, menyalahi aturan dasar pernikahan, dan tindakan paling bodoh yang tidak didasari akal sehat. Tapi itu sekaligus menggairahkan, menantang dan memberi suatu sensasi yang berbeda. Louise mungkin berpikir bahwa Rita Foster memiliki segalanya, namun siapa yang tahu apa yang benar-benar dirasakan wanita itu? Merupakan hal yang alami jika manusia menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya tapi menukar semua yang dimilikinya untuk satu godaan kecil adalah tindakan paling konyol yang dapat dipikirkan Louise. Namun, Rita melakukannya - Ed juga melakukannya. Louise menyesal tidak dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Ed dan pernikahan mereka, namun Rita memiliki kesempatan, peluang untuk memikirkan keputusannya. Sedikit demi sedikit, Louise menyadarinya. Cara wanita itu mengatur rumahnya, memastikan segala sesuatunya berada pada tempatnya. Atau caranya menatap Jim - suaminya. Sesuatu yang salah terjadi dan siapapun akan menyadarinya. - PUNISHMENT
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN