Bagian 1

3070 Kata
Pada pertengahan bulan september, persis di awal pergantian musim, Rita sedang duduk di sofa berlengan, menikmati sepoci teh sembari menyaksikan film favoritnya di televisi. Jadwalnya tersusun rapi hari ini: memeriksa kebun bunga, menikmati makanan ringan, memutar film favoritnya hingga sore, kemudian menyabuni dirinya dan mencukur bulu halus di kakinya. Ia berencana untuk berendam sembari menikmati – satu lagi – poci teh kesukaannya. Kemudian, Rita akan memilih pakaian yang cocok, piyama sutra berwarna biru halus dengan sentuhan lembut renda di tepiannya. Rita suka mengenakan piyama berlengan panjang dan celana longgar hitamnya, tapi Jim akan memintanya melepas pakaian itu dengan segera dan menggantinya dengan sesuatu yang dibelikan Jim kemarin. Hampir setiap hari Jim memenuhi lemarinya dengan pakaian-pakaian baru, mendekorasi ulang kamar mereka sesuai suasana hatinya, dan mengisi kulkas mereka dengan masakan cina. Bukannya Rita tidak suka, sebaliknya ia menikmati semua itu. Ia senang menerima perhatian Jim yang berlimpah. Jim telah memastikan hidupnya tidak kekurangan, laki-laki itu juga telah memenuhi seisi rumah mereka dengan perabotan antik, lebih banyak barang-barang yang bernilai tinggi dan laki-laki itu tidak pernah membiarkan Rita kehilangan selera seninya dengan memajang lukisan-lukisan indah di dinding kamar mereka, kemudian lebih banyak lukisan di ruang tamu, dan Jim memberinya lahan di belakang rumah untuk kebun bunga sebagai hadiah pernikahan mereka bulan lalu. Rumah itu bak istana bagi Rita. Garasinya begitu luas, cukup luas untuk menampung setengah lusin mobil. Sedangkan halaman belakangnya memanjang, menempati sebagian besar bagian dari rumah itu. Jim sengaja memperlebar bagian belakang, menyediakan sebuah kolam dengan air setinggi dua meter untuk berenang. Rumah kaca adalah ide utama arsitekturnya. Pintu di bagian depan lebih tertutup, namun pintu bagian belakangnya dikelilingi oleh kaca-kaca tinggi. Sebuah sofa panjang diletakkan di belakang kaca itu. Biasanya Jim suka menghabiskan akhir pekan dengan berbaring di sana, menikmati pemandangan ke arah kolam dari balik kaca. Kamar mereka juga dipenuhi oleh kaca-kaca tinggi. Terkadang Rita merasa terusik karena nyaris tidak ada kelonggaran privasi dalam ruangan pribadi itu, namun Jim meyakinkannya bahwa mereka menempati sebuah rumah yang jauh dari kebisingan kota. Rumah penduduk lain berjarak beberapa meter jauhnya, tepat di seberang taman dan tidak akan ada seorangpun yang memedulikan privasi di sini. Ketika Jim pergi bekerja adalah waktu emas untuk Rita. Ia memastikan semua tirai-tirai menghalangi cahaya masuk melalui kaca-kaca itu dan ia bisa menghabiskan waktu seharian, terkurung di dalam rumah, membolak-balik halaman majalah, duduk menyaksikan siaran favoritnya, berendam, mengambil waktu satu jam untuk berolahraga, kemudian menghubungi teman-temannya melalui telepon, berlama-lama ketika mengobrol hingga Rita pikir rutinitasnya benar-benar mengganggu mereka, kemudian melakukan hal yang sama pada hari-hari berikutnya. Telepon rumah berdering pada pukul sepuluh pagi, jam makan siang dan sore sekitar pukul lima. Tanpa harus menebak, ia tahu bahwa Jim yang menelepon. Rita harus menjawab panggilan itu. Jim sengaja tidak menghubunginya melalui ponsel untuk memastikan Rita benar-benar berada di dalam rumah dan laki-laki itu melakukan hal yang sama di hari-hari sibuk. Satu-satunya kesempatan Rita untuk keluar dari dalam rumah hanya pada akhir pekan, itupun dengan kawalan Jim. Biasanya mereka mengunjungi restoran favorit mereka, pergi memancing, atau menikmati kencan mingguan hingga langit berubah gelap. Kemudian mereka akan mengendara pulang, merasa kelelahan hingga memutuskan untuk tidur lebih cepat. Setiap hari selasa, Helen, kakak perempuan Jim akan datang untuk memeriksa inventaris. Setiap pagi – kecuali di hari selasa, Rita terbangun kemudian melihat kalender dan bersyukur bahwa itu bukan hari selasa. Hubungannya dengan Helen tidak pernah berjalan baik. Ia hanya menjaga semuanya tetap terkendali seperti yang dilakukannya selama ini. Biasanya Helen datang beberapa menit setelah Jim pergi bekerja. Wanita itu akan berkeliling seolah-olah hendak memastikan semua aset-aset pemberian keluarga Foster tetap berada di tempatnya – seakan-akan ia sedang menunggu kesempatan menemukan salah satu benda itu menghilang sehingga Helen dapat lebih leluasa menjatuhkan tuduhan bahwa Rita telah mencurinya. Gagasan itu sempat terbesit dalam benak Rita selama beberapa waktu. Ia adalah istri sah Jim dan satu-satunya orang yang berhak atas aset-aset rumah tangga itu selain Jim adalah dirinya. Sementara Helen – wanita itu tidak menyukai Rita sejak awal. Rita berusaha mengabaikan sikap Helen dan bertingkah selayaknya istri yang baik, namun sesekali ia juga tidak dapat mengusir rasa tidak nyaman setiap kali mendengar Helen berbisik-bisik di hadapan Jim bahwa keputusan Jim untuk menikahi Rita adalah sebuah kesalahan. “Itu salahmu memilih balerina sebagai istrimu!” atau terkadang Helen juga mengatakan, “Balerina itu hanya tahu cara menggerakkan kakinya di atas panggung, bukan berarti dia bisa menjadi istri yang baik!” “Apa yang kau harapkan dari balerina itu! Dia tidak becus mengurus rumah ini, ayah akan kecewa padamu, Jimmy!” Rita terheran-heran mengapa Helen selalu mengaitkan profesinya dengan posisinya sebagai istri Jim. Bagaimanapun, ucapan Helen tidak sepenuhnya akurat. Selama tiga tahun pernikahan mereka – setahu Rita – ia telah menempatkan dirinya di dalam rumah tangga itu dengan benar. Rita bangun lebih pagi sebelum Jim, ia berada di meja makan untuk menyambut suaminya hampir setiap hari, ia yang memilih dan membersihkan pakaian Jim, dan ia tidak akan pergi tidur sebelum Jim pulang. Seingatnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan. Penilaian Helen adalah suatu pemikiran konyol yang didasari oleh pandangan subjektif. Wanita itu tidak menyukai Jim terlibat dengan Rita – mungkin Helen tidak menyukai Jim terlibat dengan wanita manapun. Bagaimanapun, itu adalah masalah Helen dan Rita tidak mau memusingkannya. Ia sudah cukup sabar menghadapi wanita itu berjalan mengelilingi rumahnya sepanjang hari, duduk dan menikmati anggur di atas sofanya, dan mengeraskan suara ketika menghubungi seseorang saat berada di rumahnya. Meskipun Jim mengingatkannya berkali-kali bahwa rumah itu miliknya – hadiah terindah keluarga Foster atas pernikahan mereka, Rita tidak benar-benar merasa memiliki rumah itu. Kehadiran Helen hanyalah satu hal yang membuatnya merasa terpojok. Ia adalah sesuatu yang tidak di harapkan di sana, kecuali tentu saja, karena Jim menginginkannya berada di sana. Pada pagi di hari rabu, Rita membersihkan debu di seluruh ruangan. Itu adalah hari-hari sibuk yang disyukurinya, setidaknya ia memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Terkadang Rita merindukan masa-masa ketika ia masih bermain di teater. Erica, temannya, seorang balerina yang pensiun tiga tahun lalu karena kecelakaan telah menjadi pendukung terbaiknya. Sayangnya, sudah berbulan-bulan sejak Rita tidak menjalin kontak dengannya lagi. Erica memiliki kehidupan sibuk bersama suami dan dua putri kembarnya, sementara Jim tidak begitu menyukai gagasan untuk membiarkan Rita menghubungi temannya. Jim membatasi kegiatan sosial Rita hanya pada hari kamis. Laki-laki itu mengizinkan Rita untuk menghadiri perkumpulan sosial setiap hari kamis dan Rita harus kembali sebelum pukul tiga sore. Terkadang, Rita menghabiskan waktunya di rumah untuk belajar memasak. Ia belajar untuk menyukai semua kegiatan yang akan membantunya untuk melupakan panggung teater. Karena keluarga Foster memiliki aturan ketat untuk tidak mengizinkan seorang istri bekerja, Jim meminta Rita untuk berhenti tampil dan bekerja di teater. Rita harus mengakhiri profesinya pada akhir pekan musim panas dua tahun lalu. Awalnya, semuanya berjalan baik, Rita dapat menjalani kehidupan normal yang baru. Dirinya seperti sebuah kertas yang terbuka: ia siap untuk mencatat hal-hal baru dan mempelajarinya. Namun setelah dua bulan berlalu, Rita merindukan saat-saat berdiri di panggung teater dan tiba-tiba kehidupan yang dijalaninya terdengar mengerikan. Namun, ia telah mengabaikan pintu-pintu yang terbuka selama berbulan-bulan, membiarkan dirinya larut lebih dalam dan berpikir bahwa (mungkin) suatu saat segalanya akan berubah dan kembali normal. Hingga musim berganti, tahun-tahun berlalu dan harapan itu bukannya mendekat justru menjauh, mereka berada di sebuah tepat yang kosong, sendiri dan kesepian kemudian kian memudar seiring berjalannya waktu Rita nyaris kehilangan harapan. Momen-momen indah yang dinikmatinya berasama Jim entah bagaimana telah berubah dan setiap kali ia berkaca, ia tidak lagi mengenali dirinya yang dulu: Rita yang berputar-putar di atas panggung dan mendapat sorakan meriah dari ratusan penonton yang menyaksikannya. Samar-samar Rita mengingat Jim duduk di salah satu kursi penonton. Laki-laki itu memberi senyum paling menawan dan ikut menyaksikan penampilan Rita di panggung teater bersama ratusan penonton lainnya yang berbaris rapi di atas kursi-kursi berlapis kulit. Jim mengenakan tuksedo hitam dan tampil menonjol. Rambut hitamnya dicukur rapi, wajahnya bersih dan tampilannya nyaris sempurna. Kemudian, Rita mengingat percakapan mereka pertama kali ketika laki-laki itu secara khusus menemuinya di belakang panggung, berpura-pura mencari temannya yang sedang mabuk dan menggoda Rita dengan tatapan jenakanya. “Kupikir ruangan ini terlalu sempit dan panas untuk mengobrol,” katanya. “Kenapa kita tidak mencari restoran terdekat jadi kita dapat mengobrol lebih leluasa.” Laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya kemudian yang Rita tahu, malam pertama mereka habiskan di sebuah hotel berbintang, benar-benar tak terlupakan. Tapi itu adalah Jim yang berbeda – Jim yang romantis dan bukannya laki-laki yang dinikahinya saat ini. Rita merasa kehidupannya telah berbalik. Dulu, ia akan sangat menikmati momen-momen sederhana di apartemennya yang sempit dan kotor. Rita suka mendengarkan musik-musik lawas dan melatih kemampuannya di sana. Rita suka memakai sepatu lama milik ibunya, dan ia tidak begitu menyukai potongan rambutnya yang sekarang. Jim yang mengubah semua itu. Laki-laki itu melamarnya pada awal musim panas dua tahun lalu, dan membawakan pesta pernikahan besar dan termegah yang pernah di rasakannya, kemudian menyeret Rita ke dalam rumah ini. Rita tidak mengharapkan semua itu – Jim memberikannya dengan sukarela dan awalnya itu semua terdengar menggoda, romantis. Kamar tidur mereka ditata dengan sentuhan yang begitu sensual hingga Rita merasakan dirinya melambung karena senang. Selama sesaat ia berpikir bahwa kehidupan telah berbaik hati padanya. Kemudian, segalanya berjalan nomal hingga aturan ketat keluarga Foster merenggut kariernya sebagai balerina. Pelan-pelan sikap Jim berubah, pernikahan itu berubah – atau mungkin Rita berubah, ia tidak yakin tentang semua itu, tapi Rita merasakan kehidupannya direnggut secara perlahan dan yang tersisa hanya apa yang dilihatnya saat ini. Setiap hari terasa panjang di sana. Terkadang ia menghitung berapa lama lagi ia sanggup bertahan. Kemudian muncul ide-ide konyol dalam pikirannya: kabur meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil Jim, menghilang tanpa kabar, atau yang lebih mengerikan, melompat dari atas jendela. Bagaimanapun, itu adalah versi terburuk yang dapat dipikirkannya – gagasan paling bodoh dan pilihan terakhir yang akan diambilnya. Setidaknya, beberapa bulan yang lalu itu terasa konyol, namun sekarang Rita tidak yakin tentang keputusannya. Diam-diam, ia menghitung setiap detik yang bergulir, merasakan keringatnya mengalir meskipun dapat dikatakan suhu udara di ruangan itu telah diatur senormal mungkin. Siaran televisi yang memutar film favoritnya telah berakhir, santapannya juga sudah habis dan poci teh di dalam cangkirnya mulai dingin. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore, tinggal beberapa jam lagi sebelum Jim tiba dan ia harus menyiapkan makan malam mereka. Jim tidak suka melihat kekacauan di dalam rumahnya. Remah-remah biskuit, tumpahan kopi di atas karpet, pakaian kotor, tirai-tirai yang jelek. Rita harus membenahi kekacauan itu. Ia hanya memiliki waktu beberapa jam sebelum semuanya siap. Kemudian, ketika langit berubah gelap, Rita sedang berdiri di belakang jendela, menyaksikan dua titik cahaya keemasan dari lampu sen mobil Jim yang bergerak memasuki halaman depan. Laki-laki itu sedang berjalan menuju teras ketika Rita membukakan pintu untuknya. Ia kemudian menunduk untuk mencium Rita, menyerahkan tas hitam besarnya pada Rita dan bergerak masuk. Ketika makan malam, Jim menempati kursinya di seberang Rita. Laki-laki itu cenderung diam seperti biasanya. Jim selalu menikmati makanannya hingga lupa akan kehadiran Rita di sana. Sementara itu, potongan kalkun besar di atas piringnya tidak lagi terlihat mengoda. Rita punya firasat bahwa Jim sedang mengamatinya karena tiba-tiba saja suara dentingan garpu di atas piring itu lenyap. “Ada apa? Kau tidak suka makananmu?” “Aku tidak nafsu makan, itu saja.” Rita berusaha tersenyum, namun laki-laki itu masih memandanginya dari atas piring. “Ini enak,” katanya. “Kau harus membuat yang seperti ini lagi besok.” Jim tidak tahu, tapi Rita sengaja memesan makanan itu dari restoran karena ia tidak berselera untuk memasak hari ini. Terkadang, Rita merasa khawatir masakannya akan terasa hambar di mulut Jim. Tidak hanya dalam satu kesempatan Rita merasa takut apa yang dilakukannya akan memicu amarah Jim. Tiba-tiba semua yang dilakukannya terasa penuh perhitungan. Ia tidak pernah merasa begitu berhati-hati dalam bertindak di sepanjang hidupnya. Ibunya, yang juga merupakan seorang balerina andal, mendidik Rita dengan cara yang santai. Mereka dapat dikatakan tinggal di sebuah bangunan kecil, kumuh, tanpa aturan, tapi Rita tidak pernah merasa lebih bersyukur mendapatkan kehidupan seperti itu. Rumah yang ditempatinya kini adalah singgasana Jim, aturan Jim yang berlaku di sini, bukan sebaliknya. Makan malam itu akhirnya berakhir. Namun, ketegangan tidak berakhir di sana. Setelah Jim menghilang di pintu kamar, Rita segera memeriksa ponselnya dan membaca beberapa pesan yang masuk dari laki-laki itu. Ia menjauh menuju dapur memastikan bahwa Jim tidak melihatnya kemudian dengan tangan bergetar, Rita membalas pesan itu: Aku tidak bisa melakukannya. Bagimana jika dia tahu? Laki-laki itu sedang mengetikkan pesan, tak lama kemudian pesan berikutnya masuk. Tidak akan. Lakukan saja! Pikirkan, ini satu-satunya kesempatan kita. Rita mendengar suara bedebum langkah kaki Jim di anak tangga dan ia terburu-buru ketika menyembunyikan ponselnya. “Dimana piyamaku?” teriak Jim dari anak tangga. Rita menyeka keringat yang bergulir di dahinya, berbalik dan menjawab Jim dengan suara setenang mungkin. “Aku meletakkannya di atas kasur.” Kemudian, ketika langkah kaki Jim menghilang, Rita meraih gelas kosong, menuangkan anggur merah ke dalamnya: Jim menyukai anggur merah dengan tambahan lemon, namun laki-laki itu tidak akan pernah tahu apa yang mungkin akan dialaminya setelah malam ini. Rita mengembuskan nafas, menarik lebih banyak oksigen untuk mengisi paru-parunya. Itu salah satu yang dipelajarinya di kelas perkumpulan sosialnya: tarikan nafas yang panjang selama sepuluh detik nyatanya terbukti menenangkan seseorang. Itu adalah saat-saat yang dinantinya. Sekujur tubuhnya bergetar, namun ia telah dilatih selama bertahun-tahun menjadi wanita yang anggun. Seluruh rekannya di teater merasa iri karena Rita begitu cantik, pesona dan keahliannya berhasil memikat banyak perhatian – termasuk Jim. Mungkin itulah yang paling disukai Jim darinya: keanggunan dan ketenangannya. Ia dapat berjalan tanpa bersuara. Setiap pergerakarannya begitu mulus, langkah yang diambilnya begitu lembut dan Rita adalah wanita yang dapat membawa dirinya dengan baik. Ia adalah malaikat di tengah pesta, keanggunannya menarik setiap perhatian, namun beberapa tahun belakangan, ia tidak lagi merasakan perasaan yang sama. Terkurung di dalam istana besar Jim adalah salah satu penyebabnya. Rita meraih satu gelas kosong lain kemudian menuangkan anggur putih ke dalamnya. Ia lebih mudah mengenali miliknya karena seleranya selalu berbeda dari Jim, namun entah bagaimana hal itu menggoda Rita pada awal pertemuan mereka: Jim yang romantis, menarik, mapan secara materi, dan mampu memikat wanita manapun hanya dengan menunjukkan sederet giginya – seorang suami yang dingin, laki-laki yang nyaris tidak dikenalinya, dan laki-laki yang benar-benar berbeda ketika berada di atas ranjang. Meskipun tiga tahun telah berlalu sejak hari pernikahan mereka berlangsung, entah bagaimana Rita masih merasa bahwa ia tidak mengenali suaminya secara menyeluruh. Bersamaan dengan pemikiran itu, Rita menyeret langkahnya, bergerak setenang mungkin ketika mendorong pintu kamar menggunakan sikunya, kemudian menyaksikan Jim telah berbaring di atas ranjang, nyaris tak berbusana. Laki-laki itu menyambar gelas anggurnya dari tangan Rita kemudian menunduk untuk berbisik di telinga Rita. “Aku meninggalkan ponselku di meja. Bisakah kau mengambilnya untukku?” Rita mengangguk, membiarkan Jim meletakkan gelasnya di atas meja kemudian bergerak pergi untuk menemukan ponsel laki-laki itu. Ketika Rita kembali, Jim sedang berdiri membelakangi kaca, gelas berisi anggur merah di tangannya setengah kosong dan ia sedang memandangi kolam ketika Rita bergabung. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Jim kemudian. Rita sedikit terkejut karena itu bukanlah apa yang biasa mereka bahas. Jim nyaris tidak pernah memulai percakapan yang berpusat pada Rita, seringnya laki-laki itu membicarakan masalah bisnis, meminta pendapat Rita untuk mengambil keputusan dalam bisnis propertinya, dan lebih menyukai membicarakan pengalamannya bermain golf bersama Scott, salah satu teman lama Jim. Pernikahan mereka, atau kesan yang didapatkan Rita dalam kehidupan rumah tangga mereka adalah hal terakhir yang akan dibahas atau dipikirkan Jim. Jadi ketika Rita membuka mulutnya, nyaris menganga setelah mendengar pertanyaan itu, Jim mengulanginya dengan suara lembut. “Aku sibuk akhir-akhir ini dan jarang memerhatikanmu. Maafkan aku. Jika kau punya keluhan atau apapun, beritahu aku sekarang!” Tapi Jim seharusnya lebih tahu bahwa untuk alasan apapun Rita tidak akan mengatakannya. Tidak malam ini atau malam setelah ini. “Tidak ada?” Perasaan Rita nyaris melambung. Jim telah mengambil sebagian besar tempat dalam pikirannya selama bertahun-tahun hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sejak pertemuan mereka, obrolan pertama mereka malam itu, Jim berhasil menyakinkan Rita bahwa dirinya adalah pilihan yang tepat. Keputusan terbaik yang dapat diambil Rita sepanjang hidupnya dan sesuatu yang tidak akan bisa ia hindari. Jim menunjukkan kegigihan yang membuat Rita geli. Laki-laki itu mungkin satu-satunya orang yang menyukai tawa polosnya. Ciuman pertamanya pada malam itu tidak terkesan bimbang dan Rita menyadari bahwa Jim adalah sebuah takdir atau mungkin kesalahan terbesarnya. Ia tidak berpikir duakali saat menerima tawaran pernikahan Jim, malahan Rita merasa sangat bersemangat untuk itu. Kemudian ia menyadari, inilah laki-laki yang diinginkannya, kehidupan yang didambakannya selama ini, terlepas dari semua angan-angan tentang kehidupan yang bebas, pada dasarnya Rita benci terlahir dalam kekurangan. Terutama ia benci mengetahui kalau ayahnya tega meninggalkan ibunya untuk wanita lain, wanita yang bahkan tidak dapat menyeret bokongnya dari atas kasur atau sekadar menuang air ke dalam panci – meninggalkan Rita dan keluarganya dalam keadaan penuh kekurangan, bahkan dalam kondisi saudarinya yang sakit-sakitan. Rita tertawa polos persis ketika Jim bergerak melewatinya. Laki-laki itu kemudian menariknya dan membawanya bergelung di atas ranjang. Jim tidak pernah kekurangan stamina dalam kegiatan bercinta seakan-akan ia diciptakan untuk itu. Sejauh yang Rita tahu, ia adalah pasangan yang pasif, nyaris tidak mampu melepas kendali dan membiarkan dirinya kehilangan akal sehat. Namun, Jim pernah mengatakan bahwa itulah yang paling disukainya dari Rita: keanggunannya, kemampuannya menjaga kendali bahkan dalam hal pemuasan nafsu birahi sekalipun. Mungkin Rita telah terlahir untuk hal itu, dan sekali lagi Jim membuatnya heran. Sekitar pukul dua, Rita masih terjaga dari tidurnya. Jim bergelung di sampingnya. Lengannya yang besar melingkari pinggul Rita dan laki-laki itu bernafas dengan teratur dalam tidurnya. Cahaya remang-remang bulan di langit September menjadi satu-satunya hal yang menarik perhatian Rita. Ia telah menggeser tubuhnya, berusaha setenang mungkin sehingga tidak membangunkan Jim. Ia kemudian meraih gelas anggurnya yang masih kosong dan membawanya ketika bergerak ke arah balkon. Di ujung sana, tepat di seberang taman, cahaya lampu berkedip-kedip. Angin dari utara menerpa wajahnya, membisikan sesuatu ke telinganya. Suara-suara yang menyerupai patahan ranting dan kepakan burung terdengar di sekitarnya. Namun, malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Sesuatu yang benar-benar didambakannya meletup-letup di dalam dirinya. Terkadang hal itu mengusik pikirannya, menciptakan sebuah adrenalin yang memacunya untuk melangkah lebih jauh dari tempatnya dan ia sudah sampai sejauh itu. Rita punya firasat kalau cepat atau lambat, Jim akan menghetahuinya. Rahasia tentang hubungan gelapnya akan terkuak dan Rita tidak memiliki rencana jika hal itu terjadi. Namun, apa yang benar-benar mengganggu pikirannya saat ini hanyalah bayangan tentang apa yang akan terjadi esok. Bagaimana segalanya akan berjalan seperti biasa dan apa yang selanjutnya akan terjadi? Bagaimapun ia terus bergantung pada harapan. Karena hanya itu yang dapat dilakukannya dalam situasi ini: terus berharap.  - PUNISHMENT
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN