Jace Miller

1679 Kata
Jalanan tampak lenggang, sedikit kendaraan yang berlalu-lalang di daerah ini, Bevrlyne dan Velgard berjalan di trotoar jalanan di mana banyak pepohonan yang membuat daerah sana cukup teduh. Dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara, hanya joging sambil melemaskan persendian dengan melakukan gerakan-gerakan senam. Pada saat itu, keduanya tak sengaja bertemu dengan Jace, teman tim football Velgard. Saat ini pria itu mengenakan pakaian olahraga dengan celana pendek yang tampak ketat, mungkin itu pakaian bersepeda, bukan pakaian olahraga. Jace Miller adalah pria yang tinggi dan memiliki bentuk tubuh yang atletik, ia memiliki tinggi badan sekitar 1,6 kaki, rambutnya pirang dengan iris biru. Ia adalah salah satu pria tampan yang digemari gadis-gadis di Morgana High School, tentu saja Velgard juga termasuk, hanya saja Jace mencolok dengan tubuhnya yang besar. Bisa dikatakan bahwa Jace adalah teman baik Velgard, mereka sudah bersama sejak masih kecil, hal itu membuat hubungan mereka akrab sehingga mengenal orang tua satu sama lain. Ketika matanya melihat sepasang saudara kembar itu, Jace menghampiri mereka menyapa sambil tersenyum. “Apa kalian tak bosan selalu bersama?” Ia melontarkan ejekan dengan candaan. Meski berbeda gender, Bevrlyne dan Velgard sama seperti sepasang saudara kembar pada umumnya, memang keduanya selalu bersama, bahkan sesekali Bevrlyne akan ikut nongkrong bersama teman-teman tim football Velgard. Bevrlyne ikut menyukai salah satu olahraga ini karena Velgard aktif di dalamnya, ia sering menonton latihan pria itu bersama teman-teman satu timnya. Maka bukan hal aneh jika Jace melontarkan candaan seperti itu, apalagi keduanya tak pernah terlihat memiliki teman kencan. “Hai, Jace.” Velgard mengabaikan sapaan mengejek dari pria itu, ia melambai ramah padanya. Jace segera bergabung berjalan santai dengan sepasang saudara itu. “Aku bosan, benar-benar bosan, jauh lebih bosan lagi melihat wajah sok tampanmu.” Bevrlyne membalas dengan nada yang sinis, benar-benar tak ramah pada pria itu, sementara Velgard hanya menggeleng singkat sambil tersenyum. Ketiganya segera berjalan bersama dikarenakan jalan menuju rumah mereka satu arah dan satu jalur. “Tak apa, aku tahu kau naksir padaku yang keren ini,” balas Jace dengan penuh percaya diri. Bevrlyne langsung memberi ekspresi hendak muntah mendengar kalimat itu. “Aku tahu di dunia ini banyak orang yang tak tahu malu, tapi tak pernah ada yang sepertimu, benar-benar menjijikkan.” Bevrlyne menyahut dengan nada ejekan yang kentara. “Kasarnya.” Jace pura-pura terluka dengan kalimat yang dilontarkan oleh Bevrlyne. “Padahal aku sudah berniat mengajakmu kencan malam ini, tentu kau tak keberatan, ya kan?” Jace menyikut Velgard saat mengatakan kalimat terakhir yang mana itu ditujukan untuknya. “Mana sudi aku mengizinkan Bev pergi dengan b******n sepertimu.” Velgard menyahut sambil tersenyum, ia tentu mengatakan itu dengan candaan, tak sepenuhnya serius. “Kau membuatku sakit hati, kau tahu.” Jace bergumam sambil memegang dadanya. Velgard tak memedulikan perkataan itu, ia kemudian berbasa-basi dengan Jace. “Kau sudah putus dengan pacarmu?” tanyanya. Pertanyaan itu sontak membuat Jace memasang wajah tak mengerti. “Pacar apa? Aku tak punya pacar, kalau teman kencan sih banyak.” Pria itu malah membalas dengan seenaknya. Ia bahkan tampak sangat bangga ketika mengatakan pengakuan itu. “Kenapa kau mengatakannya dengan bangga? Apa itu sesuatu yang patut untuk dibanggakan?” Bevrlyne berucap dengan nada yang mengejek lagi. Sudah biasa jika ia menanggapi pria itu dengan gaya yang seperti ini, hal tersebut menjadi alasan khusus untuk Jace lebih banyak menggodanya. “Anggap saja itu prestasinya.” Velgard bergumam pelan, mewakili untuk menjawab pertanyaan itu. “Mana ada prestasi seperti itu.” Bevrlyne bergumam pelan sambil menggeleng. “Jadi, bagaimana?” Velgard mengulang meminta jawaban. “Apanya?” “Ah, lupakan saja. Tidak penting juga.” Velgard membalas dengan bosan membuat Jace hanya menyengir. “Omong-omong, mana sepedamu? Kenapa kau memakai baju itu?” Velgard menarik baju ketat itu pada bagian rusuk kiri Jace. “Oh, ini,” ucap Jace sambil melihat penampilannya. “Aku balapan dengan Edgar, tapi sepedaku loncat ke tengah jalan tanpa aku di atasnya.” Ia menjawab dengan kalimat yang jelas merupakan lelucon. Bevrlyne langsung menoleh memandang ke arahnya. Kalimat Velgard segera membuat Jace menggelengkan kepalanya. “Lalu apa yang terjadi? Sepedamu terlindas kendaraan?” tebak Velgard. “Ya, harusnya seperti itu, tapi sebuah truk menyelamatkannya.” “Dan? Bukannya itu bagus?” balas Velgard lagi. “Ya, andai saja truk itu berhenti lalu mengembalikan sepedaku. Yang terjadi adalah truk itu membawa pergi kendaraan kesayanganku.” Jace berucap dengan nada sedih saat mengatakan kalimat itu. Velgard langsung tertawa lepas mendengarnya. “Tunggu, bagaimana bisa sepedamu meloncat sampai masuk ke bak truk? Bahkan kau tak ada di atasnya?” tanya Bevrlyne tiba-tiba. Ia merasa heran dengan apa yang diceritakan oleh Jace. Entah ia terlalu menganggapnya serius atau apa, intinya adalah Bevrlyne tak menangkap bahwa Jace sedang melontarkan lelucon. “Oh itu, aku ingin melakukan atraksi, tapi malah gagal sehingga kecelakaan itu terjadi.” Jace menjawab sekenanya. “Katakan lebih jelas, bodoh. Mana bisa sepeda melompat setinggi itu.” Bevrlyne menekankan menagih jawaban. “Hei, sudahlah, apa itu penting?” Velgard segera melerai karena ia tahu bahwa Jace sedang melontarkan lelucon. “Bodoh.” Bevrlyne langsung bergumam dengan ketus. Tak selang berlalu beberapa menit, Jace sudah hampir mengakhiri perjalanannya. “Kalian mau mampir? Aku baru saja membeli bola baru.” Jace segera menawarkan ketika rumahnya sudah terlihat oleh mereka. Hanya sekitar beberapa puluh langkah sebelum mereka tiba di halaman rumahnya. “Oh tidak, aku akan pulang saja.” Bevrlyne langsung menolak tawaran atau ajakan dari pria itu. Mereka segera menghentikan langkah masing-masing. “Ada urusan?” tanya Velgard yang dibalas dengan anggukan oleh Bevrlyne. “Ya, aku perlu menulis artikel untuk koran sekolah. Tugas tambahan yang menyebalkan.” Bevrlyne menjawab dengan nada yang acuh tak acuh. Bevrlyne memang mengikuti ekskul ini, ia mengikuti sebagai penulis berita yang mana berita-berita yang didapat berasal dari pencariannya sendiri atau berasal dari rekannya yang mencari berita juga. “Jurnalis memang sangat sibuk, abaikan saja dia.” Jace berucap dengan nada pelan. “Aku dengar itu!” Bevrlyne menyergah dengan ekspresi kesal. “Kalau begitu hati-hati, aku akan pulang sore nanti.” Velgard berucap membuat Bevrlyne menoleh mengalihkan pandangannya dari Jace pada Velgard. “Kau tak perlu mengatakan itu aku bukan anak ingusan lagi.” “Ya sudah, sampai jumpa di rumah. Jangan memasak untukku.” “Aku tak akan repot-repot.” Mereka kemudian berpisah di jalan itu, setelahnya Jace berlari yang segera dikejar oleh Velgard. Sementara Bevrlyne berjalan kaki pulang sendirian. Ia merasa tak ingin bergabung di rumah Jace, tak ada hal yang hendak dirinya lakukan di sana, lebih baik mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. *** Rumah Jace adalah sebuah rumah dengan nuansa warna putih berarsitektur minimalis, lokasinya tepat berada di pinggir jalan yang lebih sering dilalui kendaraan pribadi saja, hal tersebut membuat jalanan lebih sering kosong sehingga sangat cocok untuk digunakan sepeda. Jace tinggal di rumah itu bersama dua orang tua dan satu kakak perempuan, namanya adalah Andrea, gadis yang usianya sudah mendekati dua puluh tahun, tiga tahun lebih tua dari kedua pria itu. Ketika mereka masuk ke dalam rumah, Andrea menyambutnya dengan lemparan bola football ke arah mereka. Sigap Jace menangkapnya dengan kedua tangan. “Wow, lemparan yang jelek.” Velgard melontarkan ledekan pada gadis berambut pirang panjang tersebut ketika ia menoleh memandang Jace yang menangkap bola tersebut, bola yang warnanya coklat gelap dengan dua ujung yang tumpul. Satu-satunya benda yang dinamakan bola tapi bentuknya tidak bundar. “Thanks,” ucap Andrea sambil duduk di atas sofa ruang tengah. “Sudah kukatakan jangan bermain-main dengan barang milikku, apalagi bola football.” Jace memprotes dengan nada yang agak tinggi, sepertinya ia tak suka ketika barang-barang miliknya dipegang oleh kakaknya tersebut. “Aku tak merusaknya bukan?” Andrea tampak tak terpengaruh oleh adiknya yang tampak sedang kesal. “Tetap saja.” Jace berjalan meninggalkan ruangan itu setelah memberikan bola football tersebut pada Velgard. Sementara Velgard sendiri langsung duduk di seberang sofa sambil memainkan bola pada kedua tangannya. Di ruang tengah itu terdapat sofa yang mengelilingi sebuah meja, terdapat televisi yang ditaruh di atas lemari, di sekitarnya terdapat berbagai barang pajangan yang tertata rapi. Sofa itu berwarna merah gelap senada dengan meja yang berada tepat di tengah. Tepat di atas meja terdapat mangkuk berisi makanan ringan, wadah abu rokok yang kosong dan remote televisi. “Jadi, kalian mau pacaran lagi di belakang?” tanya Andrea agak meledek. Sudah biasa ia melontarkan ejekan seperti itu pada Jace dna Velgard. “Aku bukan gay, adikmu tak terlalu menggoda juga.” Velgard membalas sambil bersandar. “Dan sejak kapan aku pacaran dengannya?” Andrea hanya angkat bahu. “Hanya menebak, kalian lebih lama berada di kamar daripada bermain bola di halaman belakang.” “Kau tahu, kau terlalu berprasangka buruk pada adikmu. Dia punya banyak teman kencan, mana mungkin kita saling tusuk pantat.” “Siapa yang tahu, bukan?” “Otak binal,” ejek Velgard yang dibalas senyum singkat oleh Andrea. “Kau mau minum sesuatu?” tawar Jace di dapur. Maka Velgard segera beranjak berdiri kemudian meninggalkan Andrea yang sedang menonton televisi, meninggalkan bola di atas sofa juga. “Ada anggur di rumahmu?” tanya Velgard ketika ia memasuki dapur. Keadaan dapur rumah itu tampak biasa saja, sama seperti rumah mininalis pada umumnya, tampak Jace sedang berjongkok di depan kulkas ketika Velgard masuk. “Kau tahu, orang tuaku akan lebih dulu membunuhku sebelum aku sempat meminumnya.” Setelah mengatakan itu, Jace berdiri lalu menutup pintu kulkas. Ia memutar badan lalu mengulurkan tangan kirinya yang memegang kaleng soda. “Aku hanya bercanda.” Velgard menerimanya, hampir dalam waktu bersamaan mereka membuka dan meneguk isi kaleng soda tersebut. “Hei, kalian belum sarapan? Mom meninggalkan sisa makanan untuk Kitty, tapi aku akan berbaik hati memberikan sebagian pada kalian.” Andrea berujar dari ruang tengah memuat Velgard sontak menoleh ke arah sana. Andrea tampak sedang menumpang kaki di atas meja. Kitty adalah seekor anjing peliharaan Andrea, aneh memang. Andrea menamai seekor anjing seperti nama kucing. Apalagi anjing itu cukup seram dan terlalu besar untuk nama Kitty, bisa dikatakan nama itu sama sekali tak sesuai dengan anjingnya. “Terima kasih.” Jace berucap dengan sinis menyahut ucapannya. “Ramah sekali tuan rumah ini,” timpal Velgard dengan nada yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN