Saat ia datang, nenek sangat terlihat tidak suka padanya. Ia terus berperilaku buruk seolah sedang mengusir kekasihku. Aku selalu meminta maaf padanya dan memberikan pengertian kalau nenek memang seperti itu. Tampaknya ia tidak mempermasalahkannya.
Keesokkan harinya, giliran aku yang datang ke rumahnya. Keluarganya menyambutku hangat sekali, aku merasa diterima menjadi bagian dari mereka. Usai menemui keluarganya, aku mulai terbuka tentang kisah keluargaku. Ia menyimak dan menunjukkan rasa prihatin, katanya ia ingin membuatku berkecukupan juga merasa bahagia.
Dua tahun kemudian, kami menikah. Aku meminta ibu untuk tidak bekerja lagi dan biarkan aku yang menanggung semua biaya. Namun, setelah menikah suami tidak mengizinkanku bekerja dan aku harus ikut dengannya ke sebuah daerah di Indonesia Timur.
Sebagai istri aku hanya bisa menuruti permintaannya. Di sana masih sangat sepi sekali dan jarak antara rumah tetangga juga cukup jauh. Aku merasa kesepian dan hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Suami memberikan semua gajinya dan aku berusaha memenuhi kebutuhan rumah juga membiayai keluargaku di kampung halaman.
Tiga tahun menikah kami diberi kepercayaan merawat sepasang anak kembar dan dua tahun setelahnya suami dimutasi ke pulau lain. Tidak memungkinkan untukku ikut suami ke sana karena anak-anakku masih sangat kecil dan aku merasa akan cukup repot jika harus berpindah-pindah rumah.
Selama ia berada di pulau lain, komunikasi di antara kami masih sangat baik. Perlahan ekonomi keluargaku juga semakin membaik, suami sudah mampu membeli mobil dan motor meski tetap belum bisa memiliki rumah sendiri. Bertahun-tahun ia dimutasi dan hanya pulang beberapa kali dalam satu tahun membuat anak-anakku selalu meminta untuk bertemu dengannya.
Berkali-kali mereka mem-video call ayahnya tetapi sering kali tidak diangkat. Anak-anakku mulai merajuk dan selalu mengatakan rindu dengan ayah mereka. Semakin lama ia seolah semakin menjauhi keluarganya, saat ia pulang ke rumah aku meminta izin untuk kembali ke kampung halaman.
Ia menanggapi itu dengan sangat baik dan menyuruhku untuk berlama-lama di sana. Aku sudah merasa ada yang tidak benar dengan dirinya, tidak biasanya ia membolehkanku pulang ke rumah ibu terlalu lama. Aku mencoba menepis keraguan itu dan menyambutnya dengan suka cita, aku berterima kasih padanya karena sudah menjadi suami yang pengertian.
Satu minggu kemudian, aku kembali ke kampung halaman menggunakan bus. Aku membawa serta kedua anakku, mereka sangat senang sekali bertemu dengan neneknya. Nenekku sudah meninggal satu tahun setelah aku menikah dan kini ibu hanya tinggal seorang diri.
Berulang kali aku meminta ibu mencari pendamping agar tidak merasa kesepian, tetapi ia tidak menginginkan suami baru. Ayahku saja sudah cukup untuknya. Aku selalu mendambakan kisah cinta kedua orang tuaku, betapa romantisnya mereka. Ibu selalu setia menemani ayah meski mereka sudah berbeda dunia.
Sesampainya aku di rumah ibu, anak-anakku langsung memeluk neneknya. Kami melakukan banyak hal untuk mengisi waktu luang dan kebetulan mereka sedang liburan sekolah. Jadi, tidak perlu pusing dengan tugas-tugas yang harus mereka kerjakan.
Ketika ada momen di mana aku hanya berdua dengan ibu. Ibu selalu menanyakan keberadaan suamiku, “ia seharusnya ikut denganmu ke sini, jangan dibiarkan sendiri di sana. Sudah lama dia tidak disentuh olehmu” kata ibu. Aku berencana memintanya untuk datang ke tempat ibu beberapa hari setelah ibu menasihatiku.
Satu minggu aku dan anak-anak berada di rumah ibuku. Suatu malam ponselku berdering dan nama salah satu tetanggaku tertera di sana. Aku mengangkat teleponnya dan terkejut, ia menyampaikan kalau suamiku ditangkap warga karena memasukkan wanita lain ke dalam rumah. Tubuhku lemas sekali dan aku hanya bisa menangis dipelukkan ibuku.
Hilang sudah harapan memiliki kisah cinta layaknya kedua orang tuaku. Aku menangis dan disaksikan oleh kedua anakku, mereka mengelus pundakku juga menghapus air mataku. Aku memandangi mereka, ibuku terus bertanya apa yang sedang terjadi tetapi belum aku beri tahu.