Pemandangan yang menyakitkan sore itu di depan warung si Teteh telah membuat Arjuno sedikit minder. Setelah dia melihat penampakan sosok yang berstatus sebagai tunangan Shopia, pemuda itu menjadi krisis percaya diri. Dia ragu untuk melanjutkan langkah mendekati gadis bermata sendu itu. Jadi atau tidak pedekate dengan Shopia? Pemuda itu menarik napas dalam dan menghembuskannya, dia berusaha membangkitkan lagi rasa percaya dirinya yang terkikis kemarin.
Arjuno jadi membandingkan fisiknya dengan si Sariawan itu. Kekasih Shopia itu terlihat tampan, walaupun sebenarnya dia juga tidak kalah rupawan meskipun hanya berada di level minus. Si Pesaing berbadan tinggi, dia juga sebenarnya bisa tinggi walau menggunakan benda tambahan seperti bangku atau menggunakan highheel sepuluh sentimeter. Si Sariawan berkulit putih, Arjuno juga memiliki yang seperti itu walaupun hanya di spot tertentu dan tidak terlihat umum karena memang kadang gatal. Dan katanya si Sariawan itu kaya, tentunya dia pun di bagian itu tidak kalah walaupun masih dalam doa yang dipanjatkan. Apapun yang dimiliki tunangan gadis bermata sendu itu Arjuno pun memilikinya.
Hampir saja keinginan pemuda itu untuk selangkah mendekat dengan Shopia dihapus dari daftar mimpinya, tetapi dia berpikir ulang, tidak ada salahnya untuk mencoba itu. Bagaimana jika ternyata usahanya nanti gagal? Coba lagi, Jika ternyata gagal lagi? Coba lagi. Coba lagi sampai berhasil. Bukankah tidak ada salahnya untuk memperjuangkan mimpi? Lagi pula Shopia layak untuk diperjuangkan, MERDEKA!
Pemuda berkulit hitam buluk itu bersyukur jika Shopia nanti bisa menerima kehadirannya. Jikapun ternyata tidak, setidaknya dia sudah mencoba memperjuangkannya. Mneurut Arjuno tampang dan uang tidaklah terlalu penting, tekad untuk nekad adalah yang utama. Mengapa dia harus mempunyai tekad itu? Ini disebabkan hanya kenekadan itulah yang dimilikinya, ketampanan dan uang masih belum bersahabat dengannya.
Arjuno teringat dengan teman SMA-nya dulu, dia dikaruniai dengan wajah tampan dan badan tegap dengan kulit putih sebagai pemanis. Hidungnya bengkok seperti burung betet walau tanpa sayap. Sebuah hal lucu terjadi dengannya saat ada adik kelas ada yang naksir dan menggodanya, dia malah minder and pretend has no response at all. Berbanding terbalik dengan teman SMA yang satu lagi, wajah yang dimilikinya hanya ala kadar, badannya pun ceking. Tetapi dia bisa berpacaran dengan adik-adik kelas yang cantik jelita. Dia pun akhirnya menikah dengan perempuan dari ras bidadari. Berdasarkan kenangan masa sekolah itu akhirnya Arjuno memutuskan untuk tidak akan mundur walau se-sentimeterpun.
Pemuda itu sempat bercerita kepada teman-teman kerjanya di pabrik, banyak dari mereka yang tidak setuju dengan keinginan Arjuno untuk maju selangkah untuk pedekate dengan Shopia. Syahronie adalah salah satunya, dia adalah teman dekatnya yang juga sales malam.
“Lo kayaknya lagi pedekate dengan si Shopia ya, Teng?” katanya suatu sore di warung si Teteh. Syahronie lebih senang memanggil Arjuno dengan nama Bonteng daripada Arjuna, mungkin dia mual-mual dengan nama asli pemuda itu.
Arjuno tidak menjawab pertanyaan sahabat baiknya itu, dia merasa kesulitan saat memilih kalimat yang tepat untuk dijadikan sebagai penjelasan. Jikapun pemuda itu memaksakan diri untuk menjelaskan, mungkin Syahronie tidak akan sepenuhnya mengerti.
“Dia 'kan cewek matre, Teng,” kata sahabatnya lagi. Arjuno masih diam, dia masih belum menemukan kalimat yang akan dikeluarkan dari mulutnya.
“Penjelasannya ada di otak gue, Ron. Tetapi susah untuk dikeluarkan menjadi rangkaian kalimat supaya lo bisa mengerti apa yang gue rasakan,” batin Arjuno. “Tenang aja, Ron. Gue tahu apa yang gue lakukan.” Entah jawaban macam apa yang dirangkai oleh pemuda itu? Tetapi, entah mengapa rangkaian kalimat yang belum sempat diucapkan itu menguap begitu saja dari benaknya.
Penolakan juga datang dari adik ipar Arjuno, dia bekerja di bagian quality control roti tawar. Laki-laki muda itu adalah suami dari adik kandungnya teman kerjanya Lies. Dia terlihat tidak setuju tetapi tidak berani melarang keinginan dari abang iparnya.
Menurut mereka Shopia bukanlah perempuan baik-baik, matre lagi. WHAT THE HELL! Bodo amat! Pokoknya dia suka dengan gadis bermata sendu itu. Dalam hatinya Arjuno meminta maaf dan berterima kasih kepada mereka. Meminta maaf karena mengabaikan saran, berterima kasih karena diperhatikan.
Matre it’s doesn’t a matter for me.
“Cewek matre manusia juga, Teng. Disaat perasaan cinta dihatinya sudah tumbuh, dia pun sanggup berkorban demi memperjuangkan cintanya.” Terngiang kalimat yang diucapkan oleh Aroel, teman karibnya waktu SMP. Kalimat yang dilontarkannya itu berdasarkan pengalaman nyata dari kisah asmaranya yang luar biasa. Bukankah ini patut untuk dicoba?
Ada sebuah pepatah jawa mengatakan witing tresno jalaran soko kulino, datangnya cinta karena sering bertemu. Berdasarkan pepatah sakti itulah Arjuno bertekad untuk hadir di hidup Shopia sesering mungkin. Menyempatkan untuk selalu menyapanya di setiap pagi saat gadis itu baru tiba, walaupun dengan wajah yang masih disiksa kantuk juga belek yang bertahta di sudut mata. Memberikan Shopia bunga setiap pagi, walaupun hanya bunga ilalang berwarna kuning yang diberikan. Kebetulan memang banyak pohon ilalang yang tumbuh di sepanjang jalan menuju pabrik. Mau romantis tapi tidak modal.
Keinginan untuk selalu bertemu dengan Shopia terus menggeliat dalam d**a pemuda itu, akhirnya jam tidurnyalah yang sering menjadi korban. Bukankah memang harus ada yang harus dikorbankan untuk meraih sesuatu itu?
Walaupun Jalur Tangerang sudah kembali lagi ke pabrik sebelum matahari terbit, tetap saja pemuda itu sampai ke rumah paling cepat jam sembilan pagi karena dia mempunyai aktifitas rutin yang dilakukan di warung si Teteh setiap pagi hari yaitu menunggu kedatangan gadis incarannya untuk mengucapkan selamat pagi dan memberikannya bunga. Sebelum Shopia datang, Arjuno menyempatkan untuk sarapan dan menikmati kopi di sana karena mencintai juga butuh tenaga dan harus tetap hidup. Setelah rutinitas baru itu terlaksana, dia langsung pulang. Sesampainya di rumah langsung mandi dan bersiap melukis Kepulauan Nusantara.
Ada yang bilang mandi setelah begadang bisa menyebabkan masuk angin, tetapi Arjuno berhasil membuktikannya bahwa itu hanyalah mitos. Itun hanyalah sebuah kesimpulan yang tidak berdasarkan riset dulu. Pemuda itu mandi setiap pagi setelah begadang dan tetap baik-baik saja atau mungkin juga itu dikarenakan sebenarnya dia tidak full begadang. Arjuno saat bekerja lebih sering tertidur di mobil dari pada terjaga menemani partner kerjanya menyetir.
Alasan utama Arjuno mandi sebelum tidur adalah karena saat kerja badannya berkali-kali basah oleh keringat. Saat loading roti di pabrik dan berulang kali membongkarnya di agen. Jika dia tidak membersihkan badannya, hal pertama yang terjadi adalah bau ketek. Penyebab bau yang tidak enak tersebut adalah kuman yang bercampur dengan air keringat, apalagi jika ditambah dengan kuman yang juga berkeringat di sela-sela bahu dan lengan itu pasti baunya kian seksi.
Arjuno biasa bangun tidur jam tiga sore, setelahnya dia langsung bersiap-siap berangkat kerja lagi. Mandi, makan, boker dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Berkali-kali jam lima lewat dia sudah standby lagi di warung si Teteh. Mungkin ada orang yang berpikir dia keranjingan pekerjaan, beruntung dia adalah sosok yang jarang diperhatikan orang lain jadi tidak ada yang peduli.
Terkadang ada rasa yang menggelegak dalam dadanya yang lebih cepat ingin bertemu dengan Shopia. Untuk mengusir kegelisahannya itu, dia masuk ke pabrik di luar jam kerja divisi sales malam yang biasanya datang bakda Magrib. Tentu saja kehadirannya di sana yang diluar kebiasaan telah membuahkan tanda tanya bagi beberapa orang, salah satunya adalah Muhaemin. Dia adalah salah seorang security di pabrik roti, berdasarkan kabar yang sampai ke telinga Arjuno, katanya dia juga adalah salah satu fans Shopia, lebih tepatnya dia juga ada rasa dengan gadis bermata sendu itu.
“Ngapain lo jam segini udah sampe, Jun?” Muhaemin bertanya menyelidik. Pertanyaan satpam itu tidak dijawab dengan kalimat, hanya sebuah senyuman yang teramat manis dilempar ke arah laki-laki berkumis tipis itu untuk menjawab pertanyaannya. Arjuno yakin sekali sebentar lagi dia akan muntah darah karena senyuman beracun itu.
“Gue mau ketemu Shopia lah, masa ketemu lo.” Sebenarnya Arjuno mau menjawab seperti itu tetapi sepertinya tidak mungkin karena satpam itu pasti akan memberikan respons yang tidak enak.
“Ngapain lo mau ketemu Shopia? Lo naksir dia emang?” kata si Satpam nada nyolot dan menyematkan wajah yang mengesalkan.
“Iyalah, gue naksir dia. Emang enggak boleh?” jawab Arjuno juga dengan nada nyolot.
“Ngaca dong lo, Jun. Segala naksir Shopia lagi!” Satpam itu tambah nyolot.
Jika sudah seperti itu, respons yang paling masuk akal untuk Arjuno adalah nyengir kuda karena jika dilanjutkan pasti akan terjadi pertumpahan darah. Pemuda itu pasti kalah oleh Muhaemin karena sudah lama dia tidak latihan jurus langkah seribu.
Masa naksir Shopia saja disuruh ngaca? Ribet banget. Soalnya Arjuno biasa melakukan kegiatan itu di cermin besar yang ada di lemari pakaian, benda itu sekarang ada di rumahnya. Masa dia mesti membawa cermin itu ke pabrik, memang mau pindahan?
Muhaemin ini berperawakan atletis, rambutnya selalu tersisir rapi dan mengkilat. Kumis tipis menghiasi mukanya. Seragam yang selalu digunakan itu warna ijo lumut atau ijo t*i kuda. Apa bedanya kedua warna itu ya?
Sejak dari awal masuk kerja di pabrik roti ini, Arjuno tidak suka melihat wajah satpam itu. Seperti ada sesuatu di sana namun dia tidak tahu apa itu. Satu hal yang pasti adalah bagian keamanan itu sekarang menjadi pesaing yang juga mengantre untuk mendapatkan bidadari bermata sendu bernama Shopia.
Sebenarnya selain Muhaemin yang mengantre, masih ada lagi pesaing yang lain, ada seorang supervisor pastry yang suka sekali memberi Shopia cokelat. Ada sopir shift siang yang selalu geregetan mencari-cari waktu untuk mengantar gadis itu pulang. Ada juga anak produksi yang suka dandan ala Shahrukh Khan yang juga ada feel kepada Shopia. Jika ditambahkan lagi dengan detil di daftar antrean tidak akan cukup kedua tangan untuk menghitungnya.
Malam terlihat cerah sekali dengan taburan bintang di angkasa. Tidak jauh dari pos jaga satpam, di dekat pintu masuk floor produksi nampak seorang sales siang sedang serah terima basket roti jalur dengan karyawan produksi yang bertanggung jawab. Tidak jauh darinya nampak temannya sedang menghitung roti-roti yang return dari toko.
Sales shift siang jam kerjanya dari pagi sampai selesai, kadang hanya sampai sore tetapi terkadang juga sampai malam. Mereka yang beruntung mendapatkan jalur dekat sebelum Magrib sudah bisa berleha-leha rumah masing-masing.
Jam tujuh lewat tiga puluh lima menit malam, terlihat di jam dinding yang ada di pos jaga satpam. Arjuno baru saja checklock absensi di ruang distribusi yang terletak di bagian belakang pabrik. Sebelum nongkrong di warung si Teteh untuk menikmati black coffee dan mie rebus telur kesukaannya, pemuda itu berpikir ada baiknya jika dia mengecek roti jalurnya dulu, walaupun biasanya memeriksa ketersediaannya hanya akan menjadi perbuatan yang sia-sia jika dilakukan jam awal. Jalur Tangerang selalu mendapatkan jatah terakhir setelah semua jalur dalam kota berangkat.
Wangi semerbak khas pabrik roti mulai menggoda hidung pemuda itu, saat langkah kakinya masuk ke floor tempat di mana semua roti jalur dikumpulkan dan dialokasikan berdasarkan pesanan para agen. Arjuno sebenarnya malas sekali mengikuti peraturan melepas sandal saat masuk ke ruangan ini karena lantainya terasa lengket dan kotor di kaki.
Tumpukan basket roti berwarna biru terlihat unik karena ada tumpukan basket yang tinggi sekali tapi ada yang justru sebaliknya. Hal itu disebabkan karena pemesanan masing-masing agen roti yang mengalikan dua ordernya. Saat malam Sabtu pemesanan akan menjadi lebih banyak karena mereka memesan untuk dua hari, hari Sabtu dan Minggu. Malam minggu karyawan off sehingga tidak ada armada pengiriman roti.
Arjuno tidak bisa memalingkan wajah saat matanya tak sengaja beradu dengan Shopia yang duduk tak jauh dari Hendrik. Pemuda berbadan jangkung itu adalah bagian quality control roti manis yang kebetulan masuk di shift dua. Gadis bermata sendu itu menyapa sambil melambaikan tangan ke arah Arjuno.
“Halo, Jun.” Senyum gadis ity mengembang manis mengikuti kalimat sapaannya. Arjuno menyambut kalimat Shopia dengan setengah grogi, dia berusaha menyembunyikan apa yang menyerbunya tiba-tiba.
“Hai, Phia. Belum pulang?” Arjuno berusaha membujuk dirinya supaya tidak gugup, dia berusaha bertingkah senormal mungkin.
“Sebentar lagi aku mau pulang, lagi tanggung ‘ni, Jun.” Shopia melihat jam tangannya sebentar lalu melanjutkan menimbang roti manis yang ada di hadapannya. Aneh, mengapa roti itu ditimbang? Seperti bayi di posyandu saja. Arjuno memperhatikan dengan diam-diam apa yang dilakukan oleh gadis yang telah menyita waktu tidurnya itu.
Shopia absen pulang di mesin checklock yang ada di depan pintu masuk ruang produksi, setelah merapikan kembali neraca yang digunakannya tadi. Melihat gadis bermata sendu itu nampaknya akan pulang, Arjuno pun bergerak cepat untuk menyelesaikan mengecek roti jalur. Dia menginginkan supaya bisa mengantar Shopia pulang.
Roti jalur tanggung jawab Arjuno masih seperti malam-malam yang lalu, belum ready. Kali ini justru lebih parah, belum ada sama sekali roti pesanan agen di basket biru.
Jam tujuh lewat lima puluh enam menit malam, Shopia melangkah keluar pabrik setelah mengobrol sebentar dengan Muhaemin. Satpam berkumis tipis itu menawarkan untuk mengantar pulang namun Shopia menolaknya.
Hujan lebat sore tadi masih menyisakan tanah becek dan genangan yang terbentuk secara acak. Arjuno berjalan menyusul Shopia yang berjalan hampir tiga meter di depannya. Pemuda itu berjinjit dengan ujung kaki dan kadang meloncat seperti Pocong dengan kain kafan barunya karena takut kotor. Satu dua air hujan masih menetes dari daun yang ada di atas kepala, beruntung pemuda itu menggunakan topi sebagai penghalang. Terdengar tak jauh darinya suara kodok bangkong yang bernyanyi bersahutan dengan Bahasa yang tidak bisa dimengerti olehnya. Akhirnya dengan sedikit mempercepat langkahnya Arjuno berhasil menyejajari kaki Shopia. Mereka berjalan bersama menuju ke warung si Teteh.
Sejak mengenal gadis bermata sendu ini, semangat kerja Arjuno meningkat dengan fantastis. Tidak ada lagi malas-malasan atau alasan sakit karena menghirup aroma asam ketek. Semangat itu pun kian bertambah saat pemuda itu mulai memupuk rasa terhadap Shopia. Kadang terlintas di benaknya apa sebenarnya yang membuat dia nekad untuk mendekat gadis itu. Apakah karena senyumnya yang selalu membuat d**a berdegup hebat dan melayang ke awang-awang? Ataukah karena mata sendunya? Atau disebabkan karena jidatnya yang katanya jenong itu?
Berbicara masalah jenongnya Shopia, Arjuno sevbenarnya belum pernah melihat bentuk dari kejenongan gadis itu. Entahlah itu nyata atau tidak atau jangan-jangan ini adalah sebuah hoax yang terstruktur, sistematis dan masive? Sudah fitrah manusia suka dengan keindahan, kebetulan dia pun berasal dari ras manusia, wajarlah jika suka juga dengan keindahan. Mempunyai rasa senang dan suka dengan makhluk indah seperti Shopia.
Sebenarnya sudah banyak perempuan yang telah membuat pemufda itu terpesona dengan kecantikannya, tetapi Shopia adalah gadis yang berbeda sekali, dia telah membuat Arjuno JATUH HATI.
Pemuda itu berdialog dengan dirinya sendiri tentang bagaimana caranya mengungkapkan perasaan yang mendera dalam dadanya? Bagaimana bila rasa yang mulai berkecambah ini tumbuh namun tidak berbalas? Pemuda itu bertekad, dia harus mengungkapkan gelora dalam dadanya itu, Shopia harus tahu perasaan yang dimilikinya. Tapi, Shopia ‘kan sudah punya cowok, si Pesaing itu. Walau bagaimanapun harus tetap dicoba, harus diungkapkan perasaan ini.
Nothing to loose!
***
Sang mentari sore sudah pergi saat menjelang Magrib tadi, dia berlalu bersama dengan kemuning senja yang ikut menghilang dengannya. Kini gelap malam telah menyelimuti bumi dengan selimut perkasanya. Dewi malam di atas sana sedang asyik bernyanyi gembira diiringi dengan riuh bintang-bintang.
Jam delapan lewat tiga puluh dua terlihat tak sengaja di jam dinding tukang jamu di Perempatan Perumpung tadi. Mobil box favorit mulai menyusuri jalan raya Desa Cibinong selepas mengantarkan pulang karyawan produksi yang tadi pulang ke Jampang Bugel.
Arjuno mulai menyusun siasat untuk melancarkan jurus yang tadi sore dirapalkannya sebelum tidur, semoga bisa untuk menaklukan hati Shopia. Jurus itu penuh dengan kalimat bucin yang mungkin akan membuat gadis itu klepek-klepek tak berdaya. Dia harus menembak Shopia malam ini.
Dada pemuda itu tak henti-hentinya deg-degan, lidah rasanya kelu saat berusaha mengungkapkan perasaan yang menggelora dalam dadanya. Harapan dan takut bercampur menjadi satu. Harapan untuk diterima menjadi seseorang yang berarti di sampingnya, rasa takut karena apa yang Arjuno katakan justru nati malah menyebabkan sebuah ketidak nyamanan dan akhirnya menyebabkan gadis pujaannya pergi menjauh. Tetapi jika Shopia akan menerimanya nanti, posisi Arjuno sebagai apa di hidup gadis itu? Bukankah dia sudah mempunyai tunangan yang bernama si Sariawan itu?
BODO AMAT, pokoknya ungkapkan dulu saja rasa ini, tembak. Arjuno membentak dirinya sendiri supaya tidak lagi bimbang. Si Sariawan nanti saja mengurusnya belakangan, dioles Albothil juga nanti dia tidak sariawan lagi.
Juruspun mulai dikeluarkan untuk mengungkapkan perasaan yang ada. Tentang rasa indah saat Bersama Shopia lalu meminta izin untuk masuk lebih jauh ke dalam hidupnya.
1 ... 2 ... 3 ...
Arjuno menghela napas panjang dan dalam, ternyata jawaban Shopia tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak sesuai dengan apa yang ada di imajinasinya. Padahal dalam dialog imajiner tadi sore yang dia susun seharusnya bisa. Rekayasa percakapan tidak sama dengan kenyataan yang terjadi malam ini. What should I do? Arjuno menelan ludah.
Perutnya terasa kembung karena kebanyakan menelan air ludah. Mengapa rasa air ludah agak berbeda ya kali ini? Apakah mungkin dikarenakan sudah bercampur dengan jigong sisa-sisa makanan seminggu lalu?
Banyak rasa yang tiba-tiba timbul dalam dadanya karena hal yang diharapkan tidak terjadi, diantaranya rasa kecewa dan bingung. Masa dia gagal? Masa statusnya tetap tidak jelas di hidup Shopia? Kalimat apa lagi yang harus dilontarkannya untuk membuka hati gadis itu supaya mengizinkan pemuda itu menetap di sana?
“Sebenarnya aku ada enggak sih di hati kamu?” Kalimat Arjuno seperti sebuah pamungkasnya di ujung putus asa. Sebenarnya jika boleh memilih jawaban dari pertanyaan itu, dia menginginkan jawabannya adalah ‘ada’.
Shopia diam beberapa saat lalu dia menoleh dan memandang Arjuno dengan menyematkan sebuah senyum kecil. Pemuda itu tidak mengerti apa arti dari senyuman gadis di sampingnya itu. Dia menjadi semakin bingung dan tegang menanti jawaban.
“Ada.”
Wow! Pemuda itu memandang Shopia dengan tatapan tak percaya, dia tidak salah mendengar ‘kan? Dia senang sekali mendengar tiga huruf yang diucapkan oleh gadis bermata sendu itu tadi. Hampir saja Arjuno menari-nari, jingkrak-jingkrakan, lompat-lompatan gaya Pocong alay. Tralala-trilili, senangnya rasa hati.
“Tapi segini.” Shopia menunjukan ruas terakhir di ujung jari kelingkingnya.
Astaga, ternyata walaupun ada di hidupnya, Arjuno hanya seujung jari kelingkingnya saja. Pemuda itu menelan ludah untuk yang kesekian kalinya sambil memandangi jari kelingking gadis itu yang bahkan lebih kecil dari kelingking milik Arjuno. Untung dia belom jingkrak-jingkrakan aneh. Haduh!
“Ya sudah. Enggak apa apa segitu juga, yang penting ada,” ujar Arjuno sambil berusaha menghibur dirinya sambil tersenyum getir. Dia bertekad akan membuat arti hidupnya yang hanya sebesar kelingking itu menjadi besar. Bukan hanya menjadi sebesar jempol, tapi akan menjadi sebesar kepalan tangan raksasa yang bengkak karena beri-beri bahkan lebih besar lagi. Kamu lihat saja, Phia.
Terngiang lagu milik Dewa 19 yang berjudul Risalah Hati, “aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku walau kau tak cinta.”