6. Bella

1006 Kata
"Mas ..., ada telepon," bisikku hampir tak terdengar. Maa Graha berguman tidak jelas, seperti tidak mendengar ucapanku. "Biarin saja," sahutnya tidak peduli dan dibalas dengan desahanku. Aku menahan eranganku tapi Mas Graha semakin tidak terkendali. Mas Graha kembali menenggelamkan kepalanya di leherku, dia memberikan ciuman-ciuman kecil yang memabukkan. Detik yang sama, suara bel pintu terdengar dengan nyaring. Aneh, kenapa ada dua orang yang menggangu di saat yang bersamaan? Dering ponsel dan bel pintu, betapa mengganggunya dua suara itu di saat seperti ini. "Mas...," bisikku lagi. Tidak ada tanggapan dari Mas Graha. Aku menyerah dan membiarkannya melepaskan pakaianku satu per satu. Semoga saja orang yang sedang menekan bel akan bosan dan kemudian pergi. Kalau sudah seperti ini, Mas Graha tidak bisa dihalangi lagi. Yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan, bel berbunyi berkali-kali tanpa henti seperti sedang mengalami kerusakan. Aku menatap Mas Graha yang juga tiba-tiba terdiam karena kaget. "Dimainin orang usil kali, Mas," kataku pelan. Mas Graha menggeram kesal dan dengan tergesa-gesa menarik baju kaosnya yang terlempar di ujung tempat tidur, kemudian memakainya. "Tunggu sebentar." Dia meninggalkan kamar dengan raut wajah kesal. Sejujurnya aku dua kali lebih kesal. Pertama karena telepon dari Diara, dan kedua bel sialan itu yang tiba-tiba berbunyi tanpa henti. Semuanya benar-benar mengusik rencanaku yang awalnya ingin berduaan saja dengan Mas Graha. Aku membuang napas kesal dan berharap Mas Graha segera kembali. Pandanganku mengarah ke pintu, sudah beberapa menit berlalu, kenapa Mas Graha lama sekali. Perlahan aku mengambil baju-bajuku yang tadi ditebarkan begitu saja di atas kasur. Selain karena kedinginan, aku juga penasaran kenapa Mas Graha lama sekali. Jangan-jangan memang sedang ada tamu. Pintu kubuka dengan perlahan sambil sesekali merapikan rambut dengan tangan. Dari ruang tamu, samar terdengar orang bercakap-cakap. Mungkin teman kantornya Mas Graha. Aku mengernyitkan kening ketika terdengar suara anak kecil yang seperti sedang menangis. Dengan langkah tergesa, aku menuju ruang tamu. Diara! Rasanya aku seperti lupa bernapas untuk beberapa detik saat melihat sosok yang sedang berada di ruang tamu. Diara dan anaknya. "Sini May, ada Diara dan Bella," kata Mas Graha saat melihat sosokku muncul di ruang tamu. Aku masih gugup, bingung tidak tahu harus berbicara apa. Terakhir kali bertemu Diara saat acara pernikahan kami, saat itu dia tidak banyak bicara, hanya mengucapkan selamat padaku dan Mas Graha. Dan kali ini saat melihatnya kembali, aku merasa tidak nyaman. Jadi, orang yang menekan bel berkali-kali seperti orang gila tadi adalah orang yang sama dengan yang menelepon Mas Graha. Aneh sekali, kenapa dia bisa melakukan dua hal menyebalkan seperti tadi dengan waktu yang bersamaan. Diara memang berbakat dalam menganggu kehidupan rumah tangga orang. "Apa kabar, Mbak?" tanyaku basa-basi sambil melirik ke arah Bella yang masih sesengukan. "Baik," jawabnya singkat sambil tersenyum. "Bella kenapa nangis?" tanyaku penasaran sambil menghampiri Bella. "Dia nggak mau ditinggalin mamanya." Kali ini Mas Graha yang menjawab. "Memangnya Mbak mau ke mana?" Aku mengelus rambut Bella perlahan. Matanya memerah, sisa-sisa air matanya masih membekas di pipi. "Mau ke luar kota beberapa hari," jawab Diara. Aku tidak memedulikan Diara lagi, padanganku tercurah pada Bella. Dia tampak ketakutan dan menarik baju Diara dengan kencang. "Tante ada coklat, Bella mau nggak?" bujukku. Dia menggeleng lemah tapi tak urung ketika tangannya kutarik perlahan, dia mengikutiku juga. Pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan Diara pada Mas Graha sampai dia datang ke rumah. Aku tahu kehadiranku hanya akan membuat Diara canggung karena itulah aku memilih berpura-pura membawa Bella keluar dari ruang tamu agar dia bisa bebas berbicara. Walaupun sebenarnya aku agak sedikit cemburu, tapi lebih baik daripada mereka berdua bertemu di kantor tanpa ada aku. "Bella jangan nangis lagi, ya. Tante temanin deh, makan coklatnya. Enak, loh." Aku membagi coklat menjadi dua dan memberikanya sebagian kepada Bella. Dia mengambilnya dengan ragu. Setahuku waktu pertama kali bertemu dengannya, Bella tidak sependiam ini. Dia agak cerewet dan ceria. Kali ini wajah murungnya membuatnya terlihat seperti sedang sakit. "Enak, kan?" kataku sambil mengunyah coklat dengan bersemangat. Bella menatapku dengan pandangan bingung dan kemudian dia mengigit coklat yang ada di tangannya dengan perlahan. Aku memang tidak suka dengan Diara, mamanya. Tapi melihat mata Bella yang sendu, tidak mungkin aku membencinya juga. Bella mengunyah coklatnya dalam diam. Sesekali dia melirikku sekilas. Aku membalasnya dengan tersenyum. Entah kenapa, rasanya hanya melihat wajahnya saja, aku merasa sedih. Apa Diara tidak memperlakukannya dengan baik? "May ...." Tiba-tiba terdengar suara Mas Graha memanggilku. "Yuk, kita ke depan." Aku menuntun Bella menuju ruang tamu. Dia sudah tidak menangis lagi, hanya wajahnya masih murung. "Ada apa, Mas? Oiya, maaf ya Mbak, aku lupa. Mbak mau minum apa?" kataku saat tersadar kalau lupa menawarkan minum pada Diara. "Nggak usah, ini sudah mau pulang kok," sahut Diara pelan. Aku melirik ke Mas Graha, dia malah memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Dengan masih menuntun Bella, aku menghampiri dan duduk di sebelah suamiku. Bella duduk diantara aku dan Mas Graha. "May, gini ... Diara mau ke Surabaya siang nanti." Mas Graha menggantung pembicaraannya. Aku semakin penasaran melihat ekspresinya dan Diara yang begitu aneh. Jangan bilang kalau Diara meminta Mas Graha menemaninya. Tidak akan aku ijinkan! "Terus?" tanyaku cepat. "Ada beberapa hal penting yang mesti aku kerjakan di sana. Nggak lama kok, segera setelah semuanya selesai aku bakal langsung pulang." Diara menimpali. Aku menatap Diara dan Mas Graha bergantian, sungguh aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Buat apa Diara memberitahuku. Apa aku termasuk salah satu orang penting dalam hidupnya sehingga dia harus memberitahuku jadwalnya untul seminggu ke depan? "Maksudnya Mas juga mau ikut?" tanyaku akhirnya. Mas Graha tampak kaget dengan pertanyaanku. "Nggak," jawabnya sambil menahan tawa. Entah apa yang ditertawakannya, mungkin pertanyaanku yang twrdenhar lucu di telingnya. "Mas nggak ke mana-mana kok," lanjutnya sambil tersenyum. Jangan-jangan Mas Graha tahu aku sedang cemburu. "Aku nggak punya keluarga di kota ini. Yang aku kenal cuma kalian," lanjut Diara. Untung saja dia tidak mengucapkan, 'yang aku kenal cuma Graha'. Terus aku bisa apa kalau memang Diara enggak ada keluarga di kota ini? Mencarikan keluarga baru buatnya? "Aku titip Bella bersama kalian selama aku di Surabaya. Tadi Graha sudah setuju, aku harap kamu juga enggak keberatan," suara Diara terdengar seperti mau menangis saat mengucapkannya.(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN