"Ada apa, Diara?" ulang Mas Graha sekali lagi.
Aku berpura-pura tidak peduli, tapi terus menajamkan pendengaran. Nggak salah, kan jika aku ingin tahu apa isi pembicaraan mereka?
"Sekarang?! Nggak bisa, aku lagi sama istriku," jawabnya. Diam-diam aku tersenyum sendiri, ada rasa bangga saat Mas Graha menyebut siapa aku, apalagi jika itu berbicara dengan Diara.
"Besok ke kantorku saja," lanjutnya dan tak lama menutup telepon. Saat telepon berakhir, aku buru-buru mengubah ekspresi wajah agar tampak seperti tidak mau tahu.
"Diara mau bertemu," kata Mas Graha sambil menyimpan ponsel di saku.
"Urusan apa, Mas?" Kali ini sepertinya nada bicaraku terlalu bersemangat. Aku berdeham pelan mengusir rasa mau tahu yang begitu besar.
"Nggak tahu juga, katanya penting," jawab Mas Graha. Aku terdiam, pikiranku kemana-mana. Lagi-lagi Diara! Mau apa dia mengajak bertemu suami orang dengan mengatakan urusan penting segala lagi?
"Kok Nggak malam ini aja?" tanyaku. Maksudnya jika hari ini Diara bertemu Mas Graha, setidaknya ada aku yang menemani. Mungkin istilahnya lebih bagus, ada aku yang mengawasi sebenarnya apa yang ingin dibicarakan Diara dengan suamiku malam-malam begini.
"Ganggu acara kita nanti," sahut Mas Graha sambil tersenyum.
"Lagi pula kita juga sudah selesai makannya kok," balasku.
"Kan masih ada acara yang lain," bisik Mas Graha sambil terkekeh.
"May sudah lama enggak pernah bertemu dengan Mbak Diara," kataku tanpa memedulikan selorohan Mas Graha.
"Waktu acara nikahan kita kan, dia datang." Mas Graha menatapku dengan bingung. Mungkin dia tidak mengerti kenapa aku begitu bersemangat ingin bertemu dengan Diara.
Aku sebenarnya juga heran, kenapa waktu acara pernikahan kami kemarin Diara berani datang tanpa rasa sungkan. Padahal aku sudah tahu semua rahasianya. Semoga saja itu artinya dia telah melupakan perasaannya pada Mas Graha.
"Terus nggak apa-apa kalau besok ketemuannya di kantor Mas?"
"Ya nggak apa-apa. Memang siapa yang mau melarang," jawab Mas Graha enteng sambil membuka pintu mobil. Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi Mas Graha tidak peka dengan kekhawatiranku. Bagaimana kalau Diara merayu Mas Graha lagi seperti yang pernah dilakukannya? Bagaimana kalau tiba-tiba saja Mas Graha terpengaruh? Dan bagaimana lainnya yang mendadak muncul dari pikiranku.
Diara. Setiap menyebutkan namanya, yang hinggap di kepalaku hanya kecemburuan. Wanita yang pernah mengaku menjadi masa lalu Mas Graha itu seperti tidak ada habisnya mau mengganggu hubunganku. Dan entah kenapa aku merasa Mas Graha seperti tidak mau tahu dengan setiap kelakuan Diara.
Diara memang tidak pernah terang-terangan mengancamku, tapi aku yakin apa yang kurasakan pasti tidak salah. Diara masih menyimpan perasaan pada Mas Graha dan menunggu saat yang tepat untuk masuk ke kehidupanku dan Mas Graha. Kali ini entah apa lagi yang direncanakannya setelah lama menghilang.
Diara terlihat rapuh dan mengundang siapapun untuk bersimpati padanya. Wajahnya yang terlihat sendu seakan tidak menyimpan rencana busuk apapun padahal sebenarnya itulah yang digunakannya dulu untuk mendekati Mas Graha.
"May, kok malah bengong? Ayo masuk." Aku terperanjat kaget dan buru-buru masuk ke mobil.
"Besok Mas sibuk nggak?" tanyaku tiba-tiba saat sudah berada di dalam mobil.
"Ngak juga, memang kenapa?" tanyanya.
"May bosan di rumah sendirian. Mas temanin ya besok." Aku memasang wajah memelas. Mas Graha menatapku sekilas dengan wajah bingung, kemudian berkonsentrasi mengemudi.
"Tumben jadi manja," balasnya singkat.
"Kalau mau ditemanin, minggu depan saja gimana? Nanti Mas ambil cuti beberapa hari. Kebetulan minggu depan nggak terlalu banyak proyek," lanjutnya.
"Maunya besok," jawabku dengan nada merajuk.
"Gini saja, besok Mas agak siangan saja ke kantornya. Jadi bisa nemanin May agak lama," tawar Mas Graha sambil menyentuh kepalaku perlahan. Aku tersenyum lebar mendengar penawarannya. Semoga saja dengan seperti ini Diara tidak jadi bertemu dengannya.
***
"May nggak sakit kan?" Raut wajah Mas Graha terlihat panik saat melihatku tidak mau bangun dari tempat tidur. Ini sudah jam sembilan pagi, sebentar lagi pasti Mas Graha akan siap-siap ke kantor. Aku harus mencari cara agar dia tidak bisa bertemu Diara hari ini. Dengan berpura-pura sakit seperti ini, misalnya.
"Iya ... agak pusing," jawabku asal.
"Ke dokter saja ya. Dari kemarin May ngeluh pusing terus, kan?" tawar Mas Graha.
"Nggak apa-apa kok. Tapi ...." Aku menggantung perkataan, takut Mas Graha tidak suka dengan ideku.
"Tapi kenapa?" tanyanya masih dengan nada panik.
"Tapi Mas nggak usah ke kantor ya, hari ini," pintaku dengan wajah kesakitan.
"Maunya dipijitin," kataku pelan, agak sedikit malu mengucapkannya.
"Jangan-jangan benaran hamil, deh," tebak Mas Graha sok tahu. Hampir saja aku tertawa terbahak jika tidak segera sadar kalau saat ini aku sedang pura-pura bersandiwara seperti orang sakit.
"Dibilangin nggak secepat itu," kataku sambil berakting tersenyum dengan terpaksa.
"Sini, mana yang mau dipijit." Aku bersorak dalam hati ketika dia kembali menghampiriku setelah tadi dia hampir saja mau mandi.
"Mikirin apaan sih sampai pusing kayak gini?" tanya Mas Graha sambil memijit kepala. Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya. Masa aku harus jujur dan menjawab pusingnya gara-gara memikirkan Diara.
"Belakang kepala May juga rasanya enggak enak." Aku membalikkan tubuh dan membiarkan Mas Graha memijit tekuk dan pundakku.
Aku sudah hampir tertidur karena pijatan Mas Graha, tiba-tiba pundakku terasa hangat dan ada sensasi aneh yang terasa.
"Mas ... ngapain?" tanyaku setengah mengantuk.
"Siapa suruh pagi-pagi gini suruh Mas mijitin May," jawabnya dengan suara serak. Hawa panas kembali menyelimuti pundak. Mas Graha tidak lagi memijit pundakku, tapi kali ini dia mencium dan melakukan gigitan-gigitan kecil.
"Kok enggak dipijit lagi," kataku terengah.
"Lebih cepat sembuhnya kalau kayak gini." Suaranya tenggelam bersama eranganku.
Baju tidurku sudah terbuka sampai ke pundak. Hawa dingin karena pendingin ruangan berganti dengan hawa panas dari napas Mas Graha. Dia membalikkan tubuhku tiba-tiba.
"May harus tanggung jawab karena sudah buat Mas nggak masuk kerja hari ini." Suara Mas Graha terdengar samar, bergantian dengan napasnya yang semakin memburu.
Akhirnya yang terdengar hanya desahan napasku saat dia menenggelamkan kepalanya di lekukan leher. Dia melakukan hal yang sama, mencium dan menggigitnya dengan perlahan.
Sebelum aku sempat bersuara lagi, Mas Graha sudah mendaratkan ciumannya di bibir. Desahanku tertahan karena ciumannya yang semakin lama semakin memabukkan. Tubuhku terasa bergetar saat Mas Graha semakin dalam melumat bibirku.
Rasanya aku sudah berada di awang-awang, melayang dalam keadaan setengah sadar saat tiba-tiba suara ponsel Mas Graha berbunyi dengan nyaring. Dia tampak tidak peduli dan malah sedang berusaha menurunkan baju tidurku.
Aku menoleh ke samping, di meja tempat ponsel Mas Graha diletakkan. Nama Diara berkedip-kedip di layarnya.(*)