4. Diara?!

1047 Kata
Aku menatap Mas Graha dengan kebingungan yang tidak bisa dijelaskan. Apa dia mengira aku hamil hanya gara-gara aku mengeluh pusing dan mual? Bahkan ini baru minggu pertama pernikahan kami. Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Ng ... maksudku, walaupun masih awam, aku sedikit mengerti kapan waktunya s****a bisa membuahi sel telur, kapan itu masa subur, kapan waktu yang baik agar bisa hamil dan ah ... kenapa pikiranku sampai sejauh itu. "May enggak hamil, Mas," sahutku sambil tersenyum. "Masa?" Dia malah balik bertanya seakan tidak memercayai perkataanku. "Itu ... kita kan, baru seminggu nikahnya, nggak secepat itu," sahutku malu. Mas Graha berjalan mendekatiku. Apa dia masih tidak percaya dengan apa yang aku katakan? "Padahal Mas berharap May hamil," bisiknya tepat di telinga. "Biar bisa hamil, gimana caranya?" tanyanya dengan muka serius. Aku yakin seratus persen kalau kali ini Mas Graha sedang menggodaku. Apa-apaan pertanyaannya itu, masa dia tidak tahu cara menghamiliku? "Sudah ah, May mau mandi dulu," kataku jengah sambil mengembalikan test pack ke tempat semula. Sekilas aku melihat kekecewaan di wajahnya. "Tadi katanya pengen Mas cepat-cepat pulang." Mas Graha menarik tanganku. Aku akui, walaupun sudah menikah, tapi entah kenapa aku masih belum terbiasa dengan semua interaksi fisik yang dilakukannya. Aku masih malu dan sedikit grogi. Setiap sentuhan yang dilakukannya selalu membuat aku berdebar. "Iya," jawabku malu. "Tapi May harus mandi dulu. Mas saja sudah mandi," lanjutku tanpa berani memandang wajahnya. "Ya sudah mandi dulu sana. Malam ini kita makan di luar saja, ya," katanya sambil mencium tanganku dan kemudian melepaskannya. Aku ingin meleleh. *** "Waktu kita pacaran dulu nggak pernah deh, makan malam kayak gini," kataku sambil menatap Mas Graha yang duduk di hadapanku. Malam ini dia mengajakku makan malam di sebuah restoran yang terletak di pinggiran kota. Restoran yang terletak setengah jam dari pusat kota Pontianak ini sangat romantis jika didatangi saat malam hari. Cahaya lampu-lampu yang begitu temaram membuat perasaan menjadi hangat. "Siapa bilang enggak pernah, setiap Mas jemput May pulang dari kantor, kita juga makan, kan?" sahutnya. "Itu beda!" protesku. "Sama-sama makan juga," sahut Mas Graha sambil tertawa. "Ihh ... Mas nggak romantis," protesku sambil menyuapkan potongan tenderloin steak. "Jadi maksudnya ini makan malam paling romantis semenjak kita pacaran sampai menikah?" tanyanya. Aku mengganguk mengiyakan. Lagi-lagi Mas Graha tertawa mendengar perkataanku. "Kalau tiap hari kayak gini mau nggak?" "Nggak mau juga. Bosan. Terus ngabisin uang saja. Mending uangnya May simpan saja," jawabku. "Katanya Mas nggak romantis." "Mendingan Mas nggak usah sok-sok romantis saja deh, nanti malah jadi aneh," kataku sambil tertawa pelan. "Asal bisa sama Mas tiap hari saja sudah cukup kok," lanjutku sambil menunduk malu. Mas Graha kemudian menyentuh tangan dan mengelusnya perlahan. Mungkin orang-orang yang melihat tidak akan mengira aku dan Mas Graha telah menikah. Tingkah lakuku mirip seperti ABG labil yang baru merasakan jatuh cinta. "May enggak bosan ditinggal di rumah sendiri?" tanya Mas Graha. "Nggak tuh." "Benaran nggak bakal bosan kalau Mas tinggal seharian di rumah?" ulangnya dengan pertanyaan yang sama. "Suer, enggak bakal bosan. Asal habis pulang kantor, Mas langsung pulang, nggak boleh mampir-mampir dulu," jawabku sambil tertawa pelan. "May berhenti kerja saja, ya," pintanya dengan suara lembut. Tapi tak urung membuatku terkejut. "Berhenti?" "Iya, jangan kerja lagi. May di rumah saja, ngurusin Mas," jelasnya. Aku menatap mata Mas Graha, sepertinya dia tidak sedang bercanda. Mengurus Mas Graha? Memangnya dia anak bayi? "Tapi kan ...." "Dari dulu Mas pengen punya istri yang punya waktu penuh buat keluarga. May nggak perlu mikirin apa-apa, cukup selalu ada buat Mas dan anak kita nanti. Mas bakal kerja sekuat tenaga buat keluarga kita," jelasnya sambil menerawang. Aku ingin tertawa dan meledeknya, tapi melihat wajahnya yang tampak serius, aku jadi terdiam. Teman-temanku yang bekerja sebagai wanita karier merangkap ibu rumah tangga, tidak pernah mengeluh soal larangan bekerja dari suami mereka. Masa aku harus berhenti kerja hanya gara-gara Mas Graha ingin aku fokus pada keluarga. "Apa nggak tunggu kita punya anak saja, baru May berhenti kerja?" tawarku. "Bukannya dari sekarang kita sedang merencanakan punya anak? Menurut Mas sih, lebih baik dibiasakan dari sekarang." "Mas Beri sama Mbak Rere baik-baik saja tuh, walaupun dua-duanya kerja." Sepertinya aku harus mencari perumpamaan lain yang bisa membuatnya menunda keinginan itu. Rasanya aku belum siap jika harus berhenti bekerja saat ini, seperti ada yang hilang dari kehidupanku. "May nggak mau, ya?" tanyanya tepat sasaran. Aku terdiam. Duh, harus jawab apa? Bukannya aku tidak setuju dengan keinginan Mas Graha, tapi .... "Ya sudah, enggak apa-apa. Mungkin suatu saat nanti May berubah pikiran," katanya sambil tersenyum. Aku tahu dengan pasti, dia kecewa dengan penolakanku. "Bukan gitu Mas, May nggak ada bilang nggak mau kok," jelasku. "Cuma ... Mas kan, tahu selama ini May boros banget soal keuangan. May takut, nanti kalau sudah nggak kerja lagi May bisanya cuma menghabiskan uang Mas aja." "Jadi cuma itu saja alasannya?" Dia kemudian tertawa sambil mengelus kepala. Aku hanya bisa menggangguk pelan. "Mas sudah bilang, kan kalau bakal bekerja sekuat tenaga buat keluarga kita? Apa nanti May tega, sementara Mas kerja keras, May malah foya-foya?" Aku menggeleng mendengar pertanyaannya. Mana aku tega jadi istri durhaka seperti itu. "Itu sih cuma perumpaan saja." Mas Graha kemudian tertawa kecil. "May nggak bakal kekurangan kok, Mas jamin." Suamiku ini, kenapa hari ini mendadak sangat menggoda dengan semua kata-kata manisnya. Aku tidak pernah berandai-andai menjadi ibu rumah tangga. Di keluargaku, semua wanitanya bekerja. Mama punya usaha toko kain, Mbak Rere bekerja di sebuah perusahaan asing, dan aku dari semenjak lulus kuliah juga sudah mulai bekerja. Sebenarnya, aku juga bukan orang yang terlalu terobsesi dengan pekerjaan. Tapi kalau tiba-tiba aku tidak bekerja lagi, mungkin aku akan sedikit kebingungan. "Kalau terlalu mendadak, beberapa bulan lagi juga nggak apa-apa. Tunggu May siap saja." Mas Graha menatapku dengan lembut. "Sebulan lagi ya, Mas. May juga butuh waktu buat ngajuin pengunduran diri." Dia menggangguk pelan sambil mengelus punggung tanganku. "Kita pulang, ya," bisiknya. "Kok cepat? Makanan Mas saja belum habis." Aku menatapnya heran. "Kangen," bisiknya lagi dengan suara yang menggoda. "Tuh kan, mulai lagi," kataku menahan malu. "Ayo." Mas Graha membimbingku keluar dari tempat ini setelah sebelumnya memanggil waiter untuk menghitung total tagihan. Ponsel Mas Graha tiba-tiba berdering. "Sebentar," Dia mengambil ponsel dengan tangan yang tetap merangkulku. Setelah melihat layar ponsel, keningnya tampak berkerut. Aku menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Ya, ada apa, Diara?" Mas Graha menyapa si penelepon. Gawat, ada yang terasa nyeri di dadaku.(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN