Felisha sudah mengajukan resign ke atasannya. Ia sebisa mungkin menghindari bertemu Ferdian atau berpapasan dengannya. Untung saja proses resign yang seharusnya 1 month notice bisa Felisha nego hingga akhir bulan, atau 2 minggu setelah ia ajukan resign dan ia pun sudah diterima bekerja di tempat Melani bekerja setelah dua kali interview dengan HR dan tentu saja dengan Pak Dafi, Direkturnya. Hari ini adalah hari pertama Felisha bekerja di perusahaan tempat Melani bekerja.
Bahkan Felisha sempat pulang kampung untuk menenangkan hati orang tuanya yang secara tiba-tiba Felisha memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Ferdian dan membatalkan rencanya untuk menikah. Keputusan itupun juga di dukung orangtuanya, Damian dan Yanti. Yanti sempat mengkhawatirkan kondisi Felisha, tetapi Felisha meyakinkan bahwa dirinya lebih kuat dari yang ibunya bayangkan.
“Makasih pak, nanti tipsnya lewat aplikasi ya” Felisha turun dari motor ojek online yang mengantarkannya ke kantor Felisha. Sedikit jauh dari apartment yang Ia tinggali sekarang. Tetapi itu bukan masalah baginya.
“Felishaa…” teriak Melani saat ia menuju lobby. “Ceileh sekarang kita sekantor dong, ya ampun aku sama sekali tidak menyangka” tambah Melani.
“Haha.. Iya, aku juga tidak menyangka kita bisa satu kantor Mel. Makasih ya” Sahut ku sambil memeluknya.
Mereka sudah sampai di gedung lantai 15. Melani mengenalkan Felisha dengan staff-staff yang sudah datang. Mereka semua ramah dan menyambutnya dengan hangat. Bahkan Felisha diajak mengopi pagi di pantry kantor sambil mengobrol dengan hangat. Suasana baru ini membuatnya semakin nyaman dan membuka lembaran baru bagi Felisha.
“Good Morning” ucap tegas bariton seseorang sambil memasuki kantor.
“Goor Morning Pak” jawab seluruh karyawan bersamaan. Seketika semua langsung menyebar dan mulai duduk di kursi kerja meraka masing-masing. HRD menuntun Felsiha untuk memasuki ruang meeting karena ada beberapa berkas yang harus di submit ke HRD. Dan sekitar pukul 10 HRD mengantarkan Felsiha bertemu dengan Pak Herman, Selaku Manager Purchasing. Bu Ratna, Supervisor Purchasing dan Pak Dika Staff Purchasing. Setelah berkenalan dan mengarahkan meja kerjanya, Bu Dwi, HRD mengajak Felisha untuk ke ruang Direktur, Pak Dafi.
Diketuknya pintu kaca ruangan Pak Dafi. “Permisi pak” Ibu Dwi bersuara sesopan mungkin. Pak Dafi tidak menjawabnya hanya sedikit anggukan yang mengisyaratkan kita boleh masuk. Ruangan Direktur disini sedikit berbeda dengan Kantor Direktur pada umumnya.
Pak Dafi tampak tidak memiliki sekretaris dan ruangannya pun hanya pembatas kaca dengan ruangan staff dan bisa dilihat dari luar. Hanya ada tirai yang mungkin harus ditutup saat Meeting atau ada tamu penting. Cukup kagum dengan status Direktur yang masih berbaur dengan staff dan bawahannya.
“Pak Dafi, hari ini Bu Felisha sudah bisa bergabung dan mulai bekerja dengan kita di bagian purchasing”. Bu Dwi mengawali laporannya ke Pak Dafi. “Ibu Felisha, silahkan untuk menyapa Direktur kami, Pak Dafi”
“Selamat pagi Pak, Nama saya Felisha Damayanti. Senang bisa bergabung dengan perusahaan bapak. Semoga saya bisa bekerja dengan baik disini” Felisha semangat berkata dengan hati-hati sambil sedikit membungkukkan badannya.
“Ya, Selamat bergabung, semoga kamu betah kerja disini ya, silahkan mulai trainingnya” jawab Pak Dafi singkat dengan senyum menawannya membuat jantung Felisha seakan meledak.
“Baik Pak, terima kasih” Jawabku sopan sambil membungkuk.
“Kalau begitu kami permisi pak” Ibu Dwi berpamitan untuk keluar ruangan.
Hari ini Felisha sudah memulai trainingnya dengan Bu Ratna dan Pak Dika. Ia sudah mulai mengerti working flow untuk purchasing yang menjadi job desknya. Karena Felisha akan menghandle Import Purchasing, sehingga ia tidak terlalu report karena sebelumnya juga Import Purchasing. Ia sangat senang bisa diterima dengan baik oleh rekan barunya dan tentunya pekerjaan yang memang di comfort zone Felisha.
Beberapa kali ia bertemu pandang dengan Bosnya dan memergoki Bosnya sedang mengamati dirinya, tetapi ia mengabaikan dan fokus pada trainingnya. ‘Mungkin beliau memang sedang menilai hari pertamaku kerja’ batin Felisha menenangkan degup hatinya saat bertatapan dengan Bosnya itu. Dan terlihat Dafi sedikit jutek dan hanya berbicara seperlunya saja. Bosnya sangat perfectionist dan benar-benar teliti. Pengamatan Felisha saat ia pertama kali bekerja di perusahaan tempat Melani bekerja.
Sampai akhirnya pulang kerja pun tiba. Bu Ratna mengajak Felisha untuk turun ke lobby bersama. Bu Ratna tampak sudah di jemput suaminya di Lobby, ia sedang mengandung anak kedua nya, usia kandungan sudah menginjak 7 bulan sehingga tidak mungkin menggunakan transportasi umum.
Felisha memesan kopi di sudut lobby gedung dan duduk di dekat jendela sambil menunggu Melani karena mereka telah berjanji untuk makan malam bersama selepas pulang kerja. Dan Melani masih belum menyelesaikan pekerjaanya dan ia putuskan untuk menunggu nya di gerai kopi tersebut.
Sekilas dirinya melihat Ferdian masuk kedalam Lobby gedung. Ia langsung membalikkan badan, merubah tempat duduknya. Berusaha sembunyi dari Ferdian. Ferdian masih mengusik hidupnya. Ia masih sering berusaha datang ke apartment Felisha tapi jelas langsung di hadang Melani. Melani selalu galak jika ada Ferdian yang masih mengganggunya. Felisha juga selalu mneghindar dan mengabaikan Ferdian.
Felisha masih membuang muka berusaha bersembunyi, tetapi ia merasa ada seseorang yang mendekat ke arahnya. ‘s**t’ umpatnya dalam hati. ‘jangan sampai ketemu sama si b******k itu ya Tuhan, please selamatkan aku’ batinnya terus memohon sambil gelisah.
Tiba-tiba seseorang tersebut duduk di sebelahnya, tepat di sebelahnya hingga lengan Felisha bersentuhan dengan bajunya. Lalu seseorang itu meletakkan kopinya di meja. ‘aduh, tangan laki-laki, Mampus!, Ferdian pasti tahu aku disini. s**t, damn it!’ umpatnya lagi dalam hati.
“Santai saja, tidak perlu grogi seperti itu” Suara itu membuyarkan kegelisahan Felisha. Bukan suara Ferdian. Felisha menoleh melihat sebelahnya, dan betapa terkejutnya karena yang duduk di sebelahnya adalah bos-nya sendiri.
“Pak Dafi? Bapak tahu saya disini?” bisik Felisha sedikit terkejut menoleh ke arahnya.
“Iya sengaja, supaya mantan kamu panas saja” ujarnya santai sambil menyeruput kopinya dengan senyum menawan sekali, sangat tampan dan benar-benar laki-laki idaman. Padahal Dafi hanya mencari kesempatan untuk bisa berbicara banyak seperti saat mereka bertemu di kedai makan cepat saji beberapa minggu lalu.
“Hah, bagaimana bapak tahu kalau saya sedang menghindar dari mantan saya?”
“Tadi saya lihat kamu di gerai kopi, lalu kamu tiba-tiba kaget saat melihat laki-laki itu masuk Lobby” ucapnya sambil melihat Ferdian yang masih di sekitar Lobby, “dan kamu langsung pindah tempat duduk. Apalagi kalau bukan sedang menghindar dari mantan kamu itu?” Dafi menyeringai menjelaskan kebodohan Felisha.
Felisha mengernyitkan dai merasa malu. “Malas pak berurusan dengannya lagi, saya sudah capek, tapi dia terus saja mengusik hidup saya pak” suaranya masih berbisik.
“Sepertinya dia masih berharap denganmu” ujar Dafi.
“Kalau saya sih sudah tidak akan memberi harapan pak. Sudah terlalu sakit pak. Sudah tidak ada yang perlu di pertahankan” timpalnya lagi berbisik.
“Ok, kalau begitu saya bantu selesaikan masalah kamu ya” ucapnya tiba-tiba.
“Maksud bapak?”
“Kita berpura-pura saja bergandengan di depannya sambil jalan arah lift” tanya Dafi dengan idenya yang sangat aneh itu. Sebenarnya hanya Dafi sedikit mencari kesempatan.
“Aduh pak, jangan deh. Saya tidak enak dengan Bapak. Bagaimana kalau ada staff bapak yang melihat kita nantinya?” tanggap Felisha karena tidak mau melibatkan atasannya.
“Bisa tidak manggil aku Dafi saja jika kita sedang tidak di kantor? Kita kan seumuran, bukan?” ujar Dafi lembut sambil tangannya merapihkan rambutnya dan di sematkan di telinga. Seketika Felisha bergidik, jantungnya seperti mencolos keluar. Pikirannya meracau. Ini pasti sudah gila. Dafi berdiri, tangannya mulai mengambil tas dan kopinya. Dan tangan kanannya di ulurkan ke Felisha.
“Ayo, kita pulang” Dafi masih mengulurkan tangannya. Hingga entah kenapa tiba-tiba tangan Felisha menggapai tangannya dan menerima uluran Dafi. ‘s**t, crazy’ pikirannya meracu. Dafi menggenggam erat jemari ramping Felisha, menautkan dengan jemarinya yang membuat Felisha seperti di setrum ditangannya. Mereka bertemu pandang sebentar. Felisha segera berdiri sambil mengambil kopi serta tasnya. Akan tetapi tiba-tiba Dafi mendekatkan wajahnya ke telinga Felisha yang membuat Felisha justru memejamkan matanya ketakutan.
“Jangan canggung, biasa saja, nanti ketahuan kalau acting” ucap Dafi menyeringai persis di telinga Felisha yang membuatnya semakin berdegup kencang. Felisha hanya menganggukkan kepalanya sedikit, lidahnya kelu. Dafi segera mengajak Felisha ke arah Lift. Dafi menggandeng tangan Felisha dengan erat dan Felisha tampak berjalan mengimbangi langkah Dafi. Sampai akhirnya Ferdian menyadari bahwa Felisha sedang bersama laki-laki lain. Ferdian langsung berlari mengejar Dafi dan Felisha.
“Felishaaa!” Ferdian menarik kasar Felisha hingga kopi yang di pegangnya tumpah dan mengenai bajunya.
“Astaga, Ferdian. Kamu benar-benar ya!” hardik Felisha marah. Ferdian tampak tidak senang dan menarik kembali Felisha dengan kasar dari Dafi. “Au, sakit Fer. Kamu gila ya!” pekik Felisha.
“Kita harus bicara dulu sayang!” bentak Ferdian masih mencengkeram tangan Felisha.
“Aku tidak mau!” pekik Felisha tak mau kalah.
“Kita bisa bahas dulu sayang, kita bisa melewati ini!”
“Kita sudah putus! Tidak ada yang perlu dibahas!” bentaknya sambil menarik tangannya. Tetapi justru Ferdian semakin menarik Felisha untuk mengikutinya. Dafi pun tak tinggal diam ia segera melerai cengkeraman tangan Ferdian dan meninju kuat rahang Ferrdian hingga tersungkur.
Pintu lift terbuka, Dafi segera meraih tangan Felisha dan berlari ke arah lift dan langsung di tutupnya Lift tersebut. Beruntungnya, lift nya kosong, hanya mereka berdua. Felisha tertunduk menatap sepatu heelsnya, tangannya masih di genggam erat Dafi. Dia tidak bisa berpikir jernih, bajunya basah terkena es kopi dan baru saja ia bertengkar dengan mantan kekasihnya di depan atasannya. Perfect.