Kafe sudah tutup setengah jam lalu. Meja konter tampak rapi dan bersih, lantainya berkilau setelah dipel. Sejak ada Danar, beban kerja Langit memang jauh lebih ringan.
Ia berdiri di teras, bersandar pada tembok pembatas, memandangi Danar yang masih sibuk membereskan bagian dalam kafe. Mas Bima sudah pulang lebih dulu. Kini, hanya tersisa mereka berdua—dan sebentar lagi, ia juga akan pulang.
Langit menghisap rokoknya perlahan, lalu mengembuskan asapnya ke udara senja.
Tiga hari beristirahat di rumah telah mengembalikan tenaganya. Dan selama tiga hari itu pula, ia banyak merenung. Kejadian kemarin tak boleh terulang. Ia telah merepotkan terlalu banyak orang—membuat Mentari panik, membuat orang-orang di sekitarnya khawatir. Ia tak ingin lagi menghabiskan energinya untuk hal-hal yang sia-sia. Ia ingin hidup seperti dulu. Sebelum mengenal Malia. Sebelum hidupnya—dan perasaannya—diatur orang lain.
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba membuyarkan lamunannya. “Udah selesai, Nar?” tanyanya tanpa menoleh.
Namun bunyi langkah sepatu yang familiar membuatnya tersadar. Ia menoleh.
Malia sudah berdiri di sampingnya. Mengenakan setelan kerja, tas tersampir di bahu, wajahnya terlihat lelah. Langit mematikan rokoknya, lalu kembali menatap jalanan yang semakin bising.
“Kamu benar-benar udah menganggapku enggak penting lagi?” suara Malia lirih, hampir tenggelam oleh riuh kota.
Langit terdiam.
“Aku sampai harus maksa Mas Bima buat cerita,” lanjutnya. “Aku bahkan enggak tahu kamu masuk rumah sakit.”
Langit menghela napas panjang. “Buatku yang paling penting sekarang cuma Mentari,” ucapnya pelan, lelah.
Malia mengangguk kecil. “Maafin aku…”
“Kamu enggak salah,” jawab Langit datar.
“Aku salah,” potong Malia cepat. “Aku tahu aku enggak seharusnya maksa kamu.” Ia bersandar di pagar pembatas, menatap Langit dengan mata yang menyimpan penyesalan. “Aku sadar… aku sering egois.”
Langit menggeleng pelan. “Kamu cuma terlalu keras sama diri sendiri.”
Malia tertunduk, diam.
“Jangan paksakan diri buat mencintaiku,” bisik Langit. “Nanti kamu cuma akan kecewa.”
Malia mengangkat wajahnya. “Kamu tahu kenapa aku mencintaimu?” suaranya bergetar. “Karena cuma kamu yang melihat aku sebagai Malia. Bukan sebagai anak Prawira Subagja.” Ia menarik napas dalam-dalam. “Mungkin di matamu aku cuma anak manja yang suka mengatur hidup orang lain. Tapi aku… aku enggak tahu dunia selain dunia yang aku jalani. Aku enggak tahu caranya bersikap supaya kamu mau menerima aku.”
Langit memalingkan wajah. Ia membenci situasi seperti ini. Membenci kenyataan bahwa ia tak tahu harus berkata apa—karena sebenarnya ia juga tak tahu bagaimana caranya mencintai.
“Ini bukan soal kamu,” ucapnya akhirnya. “Ini soal aku yang belum mengerti cara menerima cinta.” Ia berhenti sejenak. “Kalau cinta itu ada, kita enggak perlu saling berubah. Cinta punya caranya sendiri.”
Setelah itu, tak ada lagi kata yang keluar. Mereka terdiam, membiarkan suara kendaraan dan hembusan angin senja mengisi jarak di antara mereka.
Malia memeluk tubuhnya, menahan dingin.
Langit melirik jam tangan. “Aku harus pulang.” Ia merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah kunci, lalu mengulurkannya. “Mobil kamu ada di parkiran basement. Selama ini aku titip di rumah Devia.”
Malia menggeleng pelan.
“Please, Mal.” Langit meraih tangan Malia dan meletakkan kunci itu ke genggamannya. Lalu ia berbalik pergi.
“Boleh aku antar kamu pulang?”
Langit menghentikan langkah. “Aku bawa motor,” jawabnya dengan senyum tipis. Tanpa marah. Tanpa sedih. Hanya ingin melupakan.
Malia menatap punggungnya hingga menghilang, lalu mengusap air mata yang jatuh tanpa suara.
…
Di rumah, Langit masuk ke studio kecilnya. Ia membuka kain putih yang menutupi kanvas. Sebuah lukisan yang belum selesai.
Tangannya menyentuh wajah dalam lukisan itu.
Entah kenapa, ia ingin sekali melukis wajah itu. Wajah yang terus mengganggunya. Ia mengingat setiap lekuknya. Setiap ekspresinya—saat tertawa, saat marah, saat menatapnya dengan cinta, dan saat menatapnya dengan air mata.
Langit menghela napas, lalu kembali menggerakkan kuasnya. Setiap gerakan, setiap sapuan di kanvas terasa seperti usaha untuk memahami. Memahami gadis itu, memahami dirinya. Memahami hubungin rumit mereka.
Dari pintu yang sedikit terbuka, Devia mengintip Langit. Matanya berkaca-kaca. Sejak Langit di rumah sakit, ia sudah tahu yang dilukis Langit itu bukanlah dirinya. Itu adalah Malia.
Ia mengenali tatapan di lukisan itu—cara mata itu digoreskan, cara garis bibirnya dibentuk dengan begitu hati-hati. Itu bukan lukisan biasa. Itu wajah yang dilukis dengan perasaan. Dengan perhatian yang tak pernah Langit berikan padanya, meski ia berada sedekat ini, hampir setiap hari.
Ia sempat berharap lukisan itu tak akan pernah diselesaikan. Namun kini, setelah seminggu berlalu—setelah ia merasa mereka semakin dekat—Langit justru kembali ke sana. Kembali pada wajah itu.
Ia baru mengerti sekarang. Kedekatan, perhatian, bahkan pengorbanan, ternyata tak selalu cukup untuk menggantikan satu wajah yang benar-benar dicintai. Ia bisa ada di sisi Langit saat sakit, bisa menjadi tempat bersandar, tapi tetap saja ia bukan tempat pulang laki-laki itu.
Harapan Devia runtuh perlahan. Dadanya sesak. Semua perhatian, pengorbanan, dan cinta yang ia simpan dalam diam terasa sia-sia.
Ada bagian dari dirinya yang ingin marah, ingin membenci Malia, ingin menyalahkan keadaan. Tapi yang paling ia benci justru dirinya sendiri—karena telah berharap terlalu jauh, padahal sejak awal ia tahu, ia hanya berdiri di bayangan.
Tanpa suara, ia meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan, lalu kembali pulang, langkahnya terasa berat, menyeret patahan hati yang baru saja ia rasakan. Kini ia dipaksa menelan kepastian yang pahit—ia bukan kalah karena kurang berusaha, melainkan karena Langit tak pernah benar-benar melihat ke arahnya.
Tak lama kemudian Mentari mengetuk pintu studio, mengingatkan Langit untuk makan malam.
Langit menggoreskan kuas untuk terakhir kalinya, memberi sentuhan akhir pada wajah itu, lalu menutupnya kembali dengan kain putih.
...
Malam semakin larut. Langit terbaring di kamarnya, memandangi langit-langit. Sudah hampir seminggu ia dan Malia tak bertemu. Tak ada pesan. Tak ada telepon.
Bukankah itu yang ia inginkan?
Meski ada kekosongan samar yang mengendap, ia percaya waktu akan menyembuhkannya. Ini jalan terbaik—agar tak ada lagi yang saling terluka.
Karena cinta, seharusnya datang tanpa paksaan.
Tanpa kasihan.
Dan tanpa hutang budi.