Cinta Sederhana Devia

1011 Kata
Langit mengetuk pintu kamar Mentari. Setelah sahutan terdengar dari dalam, ia membuka pintu perlahan. Mentari masih tenggelam di dunianya sendiri—bersandar di bantal, novel terbuka di pangkuannya. “De,” sapa Langit sambil duduk di sampingnya. “Udah dua minggu kok Devia enggak ke sini lagi, ya?” “Katanya lagi sibuk skripsi,” jawab Mentari tanpa menoleh. Lalu sudut bibirnya terangkat jahil. “Kangeeeen, yaa?” Langit mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Mas cuma penasaran. Tumben lama banget.” Kini Mentari menutup bukunya. Tatapannya berubah serius—sesuatu yang jarang Langit lihat. “Dia juga enggak mau lagi sepedaan sama aku, Mas,” ujarnya pelan. “Enggak tahu kenapa.” “Oh ya?” Kening Langit berkerut. “Iya,” Mentari mengangguk. “Mas sih... Kak Via dicuekin terus. Aku kan udah bilang, sesekali ajak jalan.” Langit tersenyum kecil, lalu kembali mengacak rambut Mentari. “Sok tahu.” Namun, setelahnya hatinya terusik. Jangan-jangan karena waktu itu ia tak jadi melukis gadis itu. “De,” panggilnya lagi, lebih hati-hati. “Coba tanyain Via. Dia mau enggak dilukis sekarang?” Mentari langsung melotot. “Mas jangan cari masalah lagi, deh. Nanti kalau Kak Malia tahu?” “Dia udah enggak marah,” potong Langit cepat. “Mumpung Mas ada waktu. Kamu telepon sekarang, ya.” Tanpa menunggu jawaban, Langit keluar dan masuk ke studio lukisnya. Tak lama kemudian, suara Mentari terdengar berbicara di telepon, disusul pekikan kecil penuh semangat. Beberapa menit setelahnya, Devia datang dengan wajah cerah. “Hai, Via. Udah siap dilukis?” sapa Langit. Devia mengangguk malu-malu. Pipinya merona. Langit memintanya duduk di kursi khusus, mengatur posisinya dengan cermat. “Rileks aja, ya,” ucapnya lembut. Namun Devia justru semakin gugup. Ia berkali-kali menarik napas, matanya bergerak ke sana kemari, menghindari tatapan Langit. Tubuhnya kaku, jemarinya saling menggenggam. “Sebentar aja,” kata Langit menenangkan. “Mas cuma bikin sketsa.” Langit mulai mengguratkan kuas di kanvas. Wajah Devia berbeda dari Malia. Bulat, polos, dengan sorot mata jujur yang membuat siapa pun enggan menyakitinya. Kulitnya pucat bersih, dan saat tersipu, pipinya memerah dengan rona yang begitu murni. Tak lama kemudian, sketsa itu selesai. Devia mengembuskan napas lega. “Nanti kalau udah jadi, Mas kabarin,” ujar Langit sambil kembali fokus pada kanvas. Devia menatap lukisan itu dengan mata berbinar. “Aku boleh nunggu di sini?” Langit mengangguk. Devia duduk di sampingnya, memperhatikan Langit melukis. Lama mereka terdiam, hingga akhirnya Devia memberanikan diri. “Mas… waktu itu aku pernah lihat Mas melukis perempuan. Itu… Malia?” Tangan Langit berhenti di udara. Kini ia mengerti alasan gadis itu tiba-tiba menjauh. Langit tersenyum. “Iya,” jawabnya tenang. “Buat kado ulang tahun.” Devia tersenyum lega. Langit tahu, gadis itu menyimpan banyak tanya. Tapi ia berharap Devia tak menunggu sesuatu darinya. Gadis itu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik. Yang dapat memberinya masa depan yang indah, tidak seperti dirinya. “Mas Langit…” suara Devia pelan. Langit menegang. Hatinya berdesir. Ya Tuhan! Apakah dia benar-benar akan mengungkapkan perasaannya sekarang? Pikirannya kalang kabut. Devia menatap Langit dengan ragu. "Kalau aku wisuda nanti... apa Mas Langit mau nemani aku?" Tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Langit tersenyum lega. Ia mengangguk. "Terima kasih, Mas." "Nanti saja terima kasihnya," sahut Langit ringan. "Wisudanya kan, belum?" Devia tertawa. Tawa yang renyah dan jujur. Sesaat Langit tertegun. Baru kali ini ia melihat gadis itu tertawa begitu lepas. "Mas! Nanti sore ikut kita, yuk?" Suara nyaring Mentari di ambang pintu mengagetkan keduanya. "Aku sama Kak Via mau nonton film horor di bioskop!" Serunya, penuh semangat. Langit mengangkat wajahnya lalu menggeleng. Ia tidak suka film horor. "Ayo, lah, Mas. Mas kan, udah lama enggak pernah ngajak aku nonton lagi," rayu Mentari, bibirnya mengerucut. Langit tetap tak menanggapi. Ia sibuk menggoreskan kuas lukisnya di atas kanvas, dunia lain yang lebih ia nikmati. "Maaaas!" Mentari memeluk punggung Langit. "Katanya mau ngajak Kak Via jalan-jalan?" "Hah?" Langit berhenti bergerak, matanya melotot. Wajah Devia merona. Langit menarik napas. Ah! Kan jadi salah sangka. Dasar tukang fitnah! Rutuknya dalam hati. Dengan terpaksa, ia mengangguk. Mentari bersorak kegirangan. .... Devia berdiri di hadapan Langit, mengenakan dress pink pastel selutut. Riasan tipis membuat wajahnya tampak manis dan lembut. “Cieee… terpesonaaa!” seru Mentari. “Berisik,” balas Langit sambil mencubit pipi adiknya. “Ayo, taksinya udah datang.” Di dalam mobil, Langit mencuri pandang ke arah Devia. Gadis itu tak berhenti tersenyum—bahagia dengan cara yang sederhana. Ah, mudah sekali membuatnya bahagia. Gadis itu memang berbeda dari Malia. Dia menenangkan. Tak pernah membuatnya marah, apalagi terluka. Ia menyukainya—namun bukan dengan getaran yang sama. Dan Malia... Langit tersenyum. Dia memang sering membuatnya jengkel. Tapi juga membuat hatinya hidup. Sedang apa dia sekarang? “Mas Langit sukanya nonton film apa?” tanya Devia saat mereka masuk ke gedung bioskop. “Apa aja yang kamu suka,” jawab Langit. Devia tersipu. “Mas Langit itu sukanya nonton film action. Soalnya dia beran—” Langit refleks menutup mulut Mentari. Tatapannya tajam. Ia tak ingin masa lalunya terbuka. Sepanjang film, Mentari berteriak ketakutan. Saat Langit hendak menutup telinganya lagi, tiba-tiba Devia menggenggam tangannya erat. Langit membiarkannya. Namun cengkeraman itu semakin kuat, membuatnya meringis tanpa sadar. “Maaf!” Devia refleks melepaskan tangannya. “Enggak apa-apa,” ujar Langit sambil tersenyum. Ia menggenggam tangan Devia kembali. “Biar kamu enggak takut.” Devia menatapnya dengan senyum yang tak lagi ragu. Malam ditutup dengan makan bersama. Langit ingin membahagiakan Mentari—sekaligus ini adalah waktu yang tepat untuk membalas kebaikan Devia. Hampir tengah malam saat mereka akhirnya pulang. Langit mengantar Devia ke rumahnya dengan berjalan kaki. “Terima kasih, Mas. Jadi ngerepotin,” ucap Devia. “Padahal aku bisa pulang sendiri. Kan, dekat." “Tapi ini kan, udah malam," jawab Langit. “Terima kasih juga udah traktir aku nonton dan makan,” lanjut Devia, matanya berbinar. “Ini enggak seberapa dibandingin kebaikan kamu selama ini," jawab Langit, jujur. Devia tersenyum lagi. "Udah sampai. Aku masuk dulu, ya Mas. Sekali lagi terima kasih." Sebelum melangkah masuk ia menoleh sekali lagi. Matanya bersinar oleh harapan yang kembali tumbuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN