4. Suamiku Jadi Muridku?

1603 Kata
Zohrah berjalan menuju kelas. Ada perasaan tidak percaya diri tapi bercampur penasaran. Maklum dia sudah tahu siapa calon murid-muridnya. Aktor dan aktris yang akan membintangi sebuah proyek film besar. Meskipun dia juga belum tahu siapa persisnya aktor dan aktris itu. Karena tadi dia lupa bertanya pada ustadz Zulkifli. “Ya Allah... Tolong bantu hamba dalam mengemban amanat ini. Semoga hamba berhasil mengajar mereka. Amin,” doa Zohrah dalam hati sesaat sebelum dia sampai di depan pintu kelasnya dengan jantung sedikit berdebar. Sampai di depan pintu Zohrah masih merasa gugup dan tegang. Untung menenangkan diri, dia pejamkan kedua mata dan menarik napas dalam-dalam. Tangannya sudah memegang gagang pintu kelasnya. Tiba-tiba sebuah mobil sport warna merah meluncur dan berhenti tepat di depan teras kelas. Zohrah menoleh pada mobil itu. Perlahan dia memutar badan menghadap ke arah mobil. Tak lama kemudian pintu mobil pun terbuka. Seorang pemuda tampan berkacamata hitam dengan badan dan penampilan sempurna keluar dari dalam mobil. “Subhanallah... Maha suci Engkau ya Allah. Sungguh indah ciptaanMu.” Tak sadar puji Zohrah lirih. Untuk sesaat dia seperti terhipnotis menatap pemuda berwajah perpaduan jawa dan arab nan rupawan itu. Pria itu tersenyum pada Zohrah seraya melepaskan kacamata berjalan naik ke teras. “Assalamualaikum... “ sapanya. Sapaan itu seperti membuatnya tersadar dan merasa berdosa karena terhanyut menikmati ciptaan Tuhan begitu saja. Tak sadar Zohrah segera komat-kamit beristigfar sambil mengelus dadanya. “Astagafirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim... “ “Maaf. Ada apa? Apa saya telah membuat Anda berdosa? Mengapa beristigfar?” tanya pemuda tampan itu dengan polosnya. “Waalaikumsalam---- warahmatullahi----- wabarakatuh... Maaf. Saya tidak berpikir Anda salah,” jawab Zohrah gugup dan agak terbata. “Baiklah. Tolong beritahu saya. Di mana kelas ustadzah Zohrah?” tanya pemuda itu. “Jadi Anda calon murid saya? Ini kelas saya,” jawab Zohrah dengan tangan kanan terarah ke pintu kelasnya yang masih tertutup. “Oh, di sini rupanya. Jadi, apa Anda ini ustadzah Zohrah?” tanya pemuda itu cepat. “Benar, saya Zohrah.” “Saya murid baru Anda. Perkenalkan, saya Reyhan Alrasyid.” Reyhan terlihat jadi lebih bersemangat. Dia tersenyum seraya mengulurkan tangan pada Zohrah. Zohrah segera menyatukan tangan dan tersenyum pada Reyhan. “Saya Zohrah.” “Oh, maaf.” Reyhan segera menarik tangannya malu-malu. “Saya yang minta maaf. Bukan maksud saya menyinggung perasaan Anda,” balas Zohrah dengan senyum tidak nyaman. “Tentu saja tidak. Saya tidak tersinggung, Ustadzah. Saya sangat menghargai dan menghormati keyakinan dan pilihan Anda. Sayalah yang seharusnya minta maaf. Karena telah tidak sopan mengajak Anda bersalaman. Seharusnya saya sudah memperhatikan Anda sejak awal,” jelas Reyhan yang justru menyalahkan dirinya. “Anda tidak bersalah. Banyak wanita berhijab seperti saya masih bersalaman dengan lawan jenis. Dan, itu menurut saya adalah pilihan yang harus dihormati. Asal kita tidak punya tujuan negatif. Tidak terselip syahwat di dalamnya. Hanya sekedar untuk beramah-tamah saja. Tentu tidak masalah. Tapi pilihan saya untuk tidak berjabat tangan dengan lawan jenis, secara pribadi, hal itu membuat saya lebih tenang,” jelas Zohrah. Merasa perlu memberikan penjelasan pada Reyhan. Dia tidak ingin calon muridnya itu merasa bersalah atau tidak nyaman dengannya. Karena memang masalah ini sering jadi perdebatan di tengah masyarakat luas. Padahal menurut Zohrah, penyelesaiannya hanyalah saling menghormati pilihan dan keyakinan masing-masing. Tidak perlu merasa diri kita yang paling benar. “Benar sekali. Saya juga punya pandangan seperti itu. Tenang saja, Ustadzah. Anda tidak perlu risaukan perasaan saya.” Reyhan sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Tak disangka calon ustadznya itu, ternyata punya pemikiran yang cukup terbuka dan penuh toleransi jika dilihat dari cara berpikirnya menanggapi masalah berjabatan tangan ini. Zohrah tersenyum tulus dan mengangguk pelan. “Terima kasih.” Tiba-tiba datang tiga buah mobil secara berurutan berhenti di halaman madrasah. Kedua matanya menyipit begitu mengenali salah satu mobil yang baru datang itu. “Itu ‘kan mobil Alex?” bisiknya dalam hati. Zohrah menatap mobil sport berwarna biru itu. Ia ingin memastikan siapa yang keluar dari mobil itu. Kira-kira suaminya atau bukan. Sebab memang tidak tahu nomor plat mobil Alex. Lebih tepatnya memang tidak memperhatikan nomor platnya. “Ya Allah! Apa mungkin Alex akan jadi muridku?!” Zohrah bertanya dalam hati. “Bagaimana kalau iya?” Perasaan Zohrah mulai dilanda penasaran “Itu teman-teman saya sudah datang, Ustadzah,” ucap Reyhan kemudian merubah posisi berjalan tiga langkah, berdiri di samping Zohrah melihat kedatangan teman-temannya. “Masya Allah. Sepertinya calon murid saya cukup banyak ya,” ucap Zohrah mengangguk-angguk sambil terus memperhatikan mobil berwarna biru. “Benar Ustadzah. Kira-kira ada sepuluh orang,” jawab Reyhan. “Alhamdulillah. Banyak teman akan membuat kita jadi semangat belajar, bukan?” Zohrah melempar senyum serta tatapan yang indah penuh semangat pada Reyhan. “Anda benar Ustadzah,” jawab Reyhan. Mulai terhanyut dengan tatapan dan senyuman indah Zohrah. Pertanyaan Zohrah dalam hati tadi, terjawab. Ternyata memang benar-benar Alex yang keluar dari mobil itu. Namun yang membuat darah Zohrah berdesir serta bergerak cepat naik ke ubun-ubun, ada seorang wanita cantik dengan mengenakan busana muslim berkerudung dilipat segitiga juga keluar dari mobil Alex. Zohrah menebak, mungkin wanita cantik itu adalah Nessa. Teman yang lebih diutamakan Alex dibandingkan dirinya saat motornya mogok tadi. Seolah tak peduli perasaan Zohrah, sebelum naik ke teras, Alex menanti wanita cantik itu sampai di dekatnya. Yang bikin hati Zohrah semakin panas, suami rahasianya itu sengaja mengulurkan tangan ingin meraih pergelangan tangan teman wanitanya itu. Sementara itu, sang wanita, dengan senang hati dan bahagia memberikan tangan kanannya disertai tatapan dan senyuman manis. Lalu keduanya naik ke teras disusul dengan teman yang lain. Tak ada salam atau sapa ramah seperti yang dilakukan Reyhan tadi. Alex sepertinya malas untuk sekedar beramah tamah dengannya dan Reyhan selayaknya orang yang tak dikenal. “Benar-benar akting yang bagus dan total. Istri sendiri seperti orang asing,” puji Zohrah dalam hati memperhatikan adegan mesra itu. “Assalamualaikum,” sapa salah seorang pria diantara mereka. “Waalaikumsalam,” sahut Zohrah dan Reyhan bersamaan. “Kamu ternyata sudah sampai di sini, Rey? Kenapa nggak ajak-ajak aku tadi?” protes orang itu lagi. “Huss, jaga bicaramu. Jangan ganggu orang yang lagi PDKT,” sahut teman wanita Alex dengan senyum-senyum menggoda. “Apaan sih, Nessa? Kamu yang harus jaga bicara. Bersikaplah sopan dengan ustadzah kita. Sutradara memintaku datang lebih dulu untuk mencari guru dan kelas kita,” tutur Reyhan. Alex tampak terkejut. Begitupun dengan yang lain. Tapi tentu tidak lebih terkejut dibandingkan Alex. “Kenalkan, beliau ini ustadzah Zohrah. Guru yang akan mengajar kita di sekolah ini,” jelas Reyhan melihat sebentar kepada Zohrah. “Maaf atas ketidaksopanan saya, Ustadzah. Bukan maksud saya untuk menjadikan Anda bahan candaan,” ucap Nessa mendekati Zohrah akan mencium tangan Zohrah. Zohrah merasa terkejut. Dia segera menarik tangannya. “Jangan begini nona Nessa. Saya tidak apa-apa. Tidak perlu diambil hati ucapan Reyhan.” “Tapi, Ustadzah--- “ “Sudahlah. Jangan berlebihan sikap kamu, Nes. Kita sama-sama manusia bukan,” ucap Alex sambil menarik lengan Nessa dari belakang agak kasar. Zohrah dan yang lain merasa terkejut. Tak disangka Alex bersikap cukup kasar. “Alex! Jaga sikapmu. Kamu yang berlebihan. Hormati guru kita,” tutur Reyhan serius menatap Alex. “Reyhan, kamu kenapa? Ustadzah atau guru itu juga manusia. Tak perlu berlebihan kita menghormatinya. Apalagi usia dia masih lebih muda dari Nessa dan semua yang ada di sini,” ucap Alex tak sadar sedikit kelepasan bicara. “Dari mana kamu tahu usianya lebih muda darimu? Memang dia Istrimu? Jangan sok tahu kamu!” ucap Reyhan kesal. Alex tampak kebingungan. Kemudian dia menjawab asal saja. “Lihat saja wajahnya. Masih ingusan begitu.” Seorang pria berusia lima puluh tahunan mendekati Alex. “Jangan begitu, Lex. Ada masalah apa kamu dengan Ustadzah Zohrah? Biarpun dia lebih muda dari kita. Ilmu agamanya jauh di atas kita. Sebentar lagi dia juga akan jadi guru kita. Kita wajib menghormatinya.” “Tolong jangan berdebat lagi. Perlakukan saya sewajarnya saja. Kalian tidak menganggapku sebagai guru atau ustadzah juga juga tidak masalah. Asal ilmu yang saya berikan nanti kalian serap dengan baik. Jika ada yang kurang paham jangan sungkan bertanya. Maka saya akan menjawabnya kapan pun itu,” jelas Zohrah. “Kita masih di luar kelas, Ustadzah. Lebih baik Anda sampaikan pelajarannya di dalam saja,” saran pria yang bertutur pada Alex tadi. “Oh iya, maaf. Mari kita masuk ke dalam kelas saja sekarang,” ajak Zohrah. “Mari, Ustadzah,” sahut Reyhan dengan cepat bergerak ke pintu dan membukanya. Zohrah mundur sedikit. Daun pintu pun telah dibuka. “Silakan masuk,” ucap Reyhan. “Terima kasih,” ucap Zohrah, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Setelah menaruh buku dan juga tasnya di meja, Zohrah kemudian memperhatikan murid-muridnya. Namun tak sengaja pandangannya terganggu. Dia lihat Alex duduk berduaan dengan Nessa di pojok bagian belakang kelas. “Tolong, duduknya agak lebih ke depan saja. Selain itu, sebaiknya pria duduk dengan pria. Sementara wanita dengan wanita,” perintah Zohrah. “Baik, Ustadzah,” sahut murid-muridnya kemudian maju lebih ke depan. Begitupun dengan Alex dan Nessa. Keduanya segera melangkah maju ke depan. Alex menarik tangan Nessa, mengajak duduk tepat di depan meja guru yang kebetulan masih kosong. “Maaf, saya harap kalian duduk terpisah. Wanita dengan wanita dan pria dengan pria. Atau kalian bisa duduk sendirian,” tutur Zohrah. Alex menatap Zohrah. “Jangan cemas Ustadzah. Kami sangat tahu batasnya. Aku hanya ingin duduk bersama Nessa. Aku tidak berpelukan atau menciuminya di saat proses belajar mengajar berlangsung.” “Oke. Saya hanya mengingatkan saja agar Anda bisa konsentrasi dengan pelajaran Anda. Tapi saya juga tidak yakin Anda sanggup melakukannya,” jelas Zohrah memilih mengalah namun sekaligus menyindirnya. Dia tahu Alex sengaja memanasinya. Namun Zohrah tidak ingin Alex berpikir dirinya merasa cemburu dengan sikapnya pada Nessa. Lebih baik, dia fokus pada tugas mengajarnya saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN