bc

Malam Liar si Pewaris

book_age18+
4
IKUTI
1K
BACA
family
friends to lovers
doctor
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
serious
office/work place
ABO
superpower
like
intro-logo
Uraian

Josephine sangat membenci para Alpha dan percaya diri bisa hidup tanpa mereka. Dia adalah Omega Dominant yang menolak untuk mengikuti sistem Alpha-Beta-Omega yang dibuat oleh Pemerintah. Namun, seluruh keyakinannya runtuh semenjak bertemu Hyun, seorang Alpha yang juga dokter untuk adiknya. Semakin Josephine menentang takdir, semakin banyak bantuan dan sentuhan Hyun berikan. Dan bagaimana jika Hyun bukan hanya sekedar penyelamat adiknya? Apa Josephine bisa melawan takdirnya sebagai Omega dengan bantuan Hyun?

chap-preview
Pratinjau gratis
Akhir Omega Tanpa Alpha
Hujan pertama di bulan kedua turun dengan bau logam yang menusuk. Josephine kecil menangis saat mendengar suara keras dari dalam ruangan— suara yang akan membentuk hidupnya selamanya. Banyak orang yang hilir mudik bergerak bebas tanpa peduli akan keberadaannya. Ini sudah berlangsung selama 2 minggu berturut-turut. Seorang wanita menangis sambil memeluk balita. Papanya, Dion, terbaring di kasur dengan tubuhnya gemetar. Seluruh urat di leher menegang seperti kawat yang hendak putus. Luka di sisi tengkuk pria cantik itu memerah. Dan berulang kali dokter menghapus darah di sekitar lukanya. Itu bukan luka biasa. Itu adalah pelepas tanda, operasi paling menyakitkan yang pernah dilakukan antara pasangan Alpha dan Omega. Setelah lima tahun resmi bercerai dari Alpha-nya —Julien, lelaki yang dulu bersumpah akan menjaganya seumur hidup— tanda di kulit Dion mulai menolak eksistensinya. Seperti api yang melahap dagingnya perlahan. “Bau feromonnya… tidak bisa hilang,” gumam Elara dengan suara serak. Balita yang dia peluk tampak bingung berulang kali menoleh. Josephine masih berdiri di ambang pintu. Rambutnya menutupi setengah wajah berusaha tidak menampilkan ekspresi. Dia setia menunggu bersama Elara dan bayinya. Menunggu kesehatan Papanya pulih setelah operasi ini. Hari itu dia berjanji pada dirinya sendiri. “Kamu tidak boleh menjadi seperti Papa, Jo. Jangan pernah biarkan siapapun menandaimu. Bahkan jika kamu mencintainya.” Para dokter berhasil menenangkan Dion. Elara segera mendekat dan meminta Josephine menjaga Elizah, anak kecil yang terus memanggil, “Papa Dion.” “Tidak apa-apa, Elizah. Besok Papa akan bermain sama kita,” ujar Josephine pada Elizah. Sedangkan balita itu hanya menepuk-nepuk pipi Josephine. Seolah mengerti, “Aku tidak menangis. Mata kakakmu ini sedang sakit dan ini perih.” Josephine memeluk Elizah berharap tidak membuatnya ikut menangis. Setengah jam kemudian, Dion yang telah sadar memanggil Josephine. Tangan panjang itu sudah putih dari dulu tetapi ada semacam rasa ngeri melihatnya. Josephine tidak bisa menahan air dari matanya. “Papa, Papa harus sehat. Jo sudah janji pada Elizah besok Papa sehat.” Dion tersenyum dan menyisir rambut pendek putrinya dengan tangan. “Anakku, kamu kuat ‘kan?” Josephine mengangguk, tapi d**a kecilnya sudah sesak. Sigap, Dion mengangkat tubuh putrinya dan memeluknya. “Josephine, Putri Papa, Kesayangan Kakek Dep dan Paman Rox, pelan-pelan tarik nafas.” Ujarnya menepuk punggung kecil. “Papa, aku kuat.” Suara ceria Josephine menyenangkan Dion dan berulang kali mereka bercanda. Tanpa disadari oleh Josephine banyak darah keluar dari tubuh Dion. “Anak Papa yang kuat janji ya jaga Mama Elara dan Elizah.” “Tentu, Josephine sudah berusia 11 tahun. Papa janji akan merayakan minggu depan.” Wajah pucat Dion semakin suram. Dia tidak menjawab malah memeluk erat tubuh putrinya. “Papa harus sehat ya. Kalau Papa sudah sembuh nanti Josephine akan pukul Ayah Julien.” Kepala Dion menggeleng pelan. “Ayahmu akan menangis kalau kamu memukulnya. Papa sudah tidak apa-apa,” ucapnya tanpa menatap putrinya. Dion masih bertahan memeluk putrinya dan menciumi pipi putrinya. “Dion, kamu harus istirahat.” Ingat Elara dengan mata berkaca. Dion menarik diri, ia menatap putrinya yang tersenyum lebar. “Ingat, sampai kapan pun Papa masih mencintai Ayahmu.” Mata Josephine membola lalu, “jangan buat Papa menangis ya.” “Jo, tidak akan membuat Papa menangis. Jo, bukan Ayah ataupun Kakek Dep.” Janji Josephine menyerahkan jari kelingkingnya ke hadapan Dion. “Janji.” Dion tersenyum dan kembali menurunkan Josephine. “Papa istirahat ya. Nanti malam aku datang lagi.” Dion melambaikan tangannya dan berhenti sesaat Josephine menutup pintu kamar. Suasana sore itu tenang padahal sejak pagi hingga matahari meninggi masih banyak orang. Rumah mereka di distrik timur wilayah kekuasaan kakek Josephine— Dev, mantan bos mafia yang masih disegani bahkan oleh Alpha-Alpha di Dewan Kota. Jarang orang yang berani ke wilayah mafia. Josephine tahu, jika Dep datang hari ini, semua orang akan diam. Tapi kakeknya tak kunjung muncul di saat yang penting. Malamnya, paramedis dan dokter datang kembali. Hal itu membuat Elara menidurkan Elizah dan Josephine sangat cepat. Jam masih menunjukkan pukul 11. Josephine kecil yang tidak bisa tidur diam-diam mengintip di dalam kamarnya. Paramedis menutupi tubuh Dion dengan kain putih. Di belakang terdapat Elara yang menangis tanpa suara. “Mama Elara, Mama Elara,” panggil Josephine setelah membuka pintu lebar. Semua orang terkejut lalu meminta Elara mendekati Josephine. “Mama, Papa dibawa ke mana? Bukannya Papa akan sehat?” tanya Josephine meminta penjelasan. Josephine tidak bodoh dia tahu maksud dari paramedis. Tetapi dia tidak mau menerima kenyataan yang telah dibuat dari otaknya. Dia butuh kata-kata dan Elara terlalu terkejut untuk menjelaskan. Josephine didudukkan di kursi kayu, Elara mengatupkan tangannya dihadapan Putri Dion. “Maafkan Mama. Maaf.” Berulang kali dia mengucapkan maaf hingga sirine mobil penjaga bergema. Tidak ada yang mau datang terlalu dekat ke rumah mereka — semua tahu, Omega yang kehilangan Alphanya telah meninggal. Namun yang mengejutkan, Josephine tidak merasakan ketakutan. Hanya… amarah. Amarah pada sistem yang membuat ayahnya seperti itu. Amarah pada Alpha yang meninggalkan keluarganya seolah mereka tidak berarti apa-apa. Dan amarah pada feromon — zat konyol yang katanya adalah lambang cinta, tapi nyatanya hanya rantai yang membunuh. — Josephine menatap peti Papanya yang terbungkus kain hitam lembut. Lilin-lilin putih bergetar di setiap sudut ruangan, menebarkan cahaya redup yang membuat bayangan menari di dinding. Aroma dupa memenuhi udara, menembus hidungnya hingga menusuk tenggorokan. Ia berbisik, nyaris tanpa suara, “Aku tidak akan pernah tunduk pada siapa pun. Tidak pada Alpha. Tidak pada siapa pun.” Upacara pemakaman diadakan selama tiga hari penuh. Hari pertama penuh tangisan. Hari kedua diisi doa. Hari ketiga, hanya keheningan yang tersisa. Selama tiga hari itu Josephine hampir tidak beranjak dari sisi peti. Tubuhnya yang mungil duduk tegak di kursi kayu yang dingin, punggungnya lurus seolah rasa sakit tidak mampu menjatuhkannya. Hanya sesekali Elara bersama Elizah kecil, membawakan semangkuk sup yang dingin sebelum sempat disentuh. Elara akhirnya melaporkan keadaan itu kepada Dev Agust. “Dia seperti tidak tidur, Tuan Dev. Matanya kering memerah, tapi dia tidak menangis.” Dev hanya diam sesaat di seberang layar panggilan, nafasnya berat. Lalu ia menjawab pelan, “Aku akan datang.” Pagi itu embun masih menempel di kaca jendela saat Dev tiba. Udara di ruang upacara terasa beku, seperti menyimpan amarah yang belum sempat pecah. “Josephine Vera Agust.” Suara itu, lembut tapi tegas, menembus dinginnya udara. Gadis itu mendongak perlahan. Bola mata yang memerah menatap kakeknya, seolah waktu berhenti di sana. Dev berdiri tegap di ambang pintu — seorang pria tua berwajah keras, tubuhnya masih berisi dan berotot di balik setelan hitam. Ada bekas luka lama di bawah rahangnya, tanda masa lalu yang berat. Ia memanggil sekali lagi, “Josephine Vera Agust…” Namun gadis itu hanya menatap balik, tak menjawab. Sorot matanya terlalu tenang untuk anak berusia sebelas tahun. Tidak ada amarah, tidak ada air mata — hanya ketegasan dingin yang nyaris menakutkan. “Papa sudah pergi,” katanya akhirnya, suaranya nyaris datar. “Dan aku akan menjaga Mama dan Elizah. Aku janji.” Kata-kata itu meluncur dari bibirnya seperti bilah dingin — tajam, tanpa getar, tanpa air mata. Dev Agust berdiri diam di seberang ruangan, memandangi cucunya. Di balik kacamata tipisnya, matanya yang telah melewati banyak perang dan perundingan masih mampu membaca manusia lebih baik dari siapa pun. Dan dari caranya gadis itu berbicara, dari cara bahunya tidak sedikit pun berguncang, Dev tahu cucunya telah kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar ayah. Ia telah kehilangan kemampuan untuk menjadi anak-anak. “Dunia ini tidak murah hati pada Omega, apalagi yang keras kepala,” ucap Dev lirih, suaranya berat, nyaris seperti gumaman doa yang tertinggal di antara dinding batu. Doa-doa bergema pelan, tenggelam bersama detak jam tua di sudut ruangan yang berdebar monoton. Seolah setiap detik menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan, bahkan setelah kematian. Josephine mengangkat wajahnya, sorot matanya gelap tapi mantap. “Aku tahu,” jawabnya cepat. Ia berdiri, tinggi tubuhnya sejajar dengan d**a kakeknya — kecil, tapi tidak tampak rapuh. Ada ketegangan dalam rahangnya, seperti seseorang yang sedang menahan amarah besar tapi memutuskan untuk menelannya. “Tapi aku bukan Omega seperti Papa.” Ucapan itu menggantung di udara. Sejenak, Dev hanya menatapnya lama. Ada sesuatu yang menusuk di dalam d**a pria tua itu, sesuatu di antara kebanggaan dan ketakutan. Ia tahu darah keluarga Dev selalu membawa harga mahal. Tapi melihat cucunya berbicara dengan keyakinan seperti itu — di depan peti jenazah anaknya— membuatnya sadar bahwa garis itu mungkin sudah mulai berubah arah. Pandangan Josephine berlari ketika mendengar tangisan Elizah yang terus memanggil Papanya. Anak itu belum genap lima tahun, dengan pipi bulat yang basah oleh air mata. Rambut cokelat mudanya berantakan, menempel di dahi karena keringat dingin. Ia tidak mengerti apa pun dari dunia orang dewasa — dunia tentang hierarki, feromon, dan kehormatan — tapi ia bisa merasakan suasana yang begitu berat hingga membuatnya menggigil. Lampu di langit-langit berkedip pelan. Aroma dupa bercampur feromon para tamu berkabut di udara bau duka yang khas dalam keluarga berdarah murni. Di bawahnya, lantai marmer dingin berkilau, memantulkan cahaya lilin seperti riak di permukaan air tenang. Di pojok ruangan, Elara menahan isak, punggungnya bergetar kecil. Namun tak ada yang berani menyela percakapan antara kakek dan cucu itu. Setelah Dev beranjak, Josephine menoleh. Ia mendekat untuk menggenggam tangan kecil adiknya, Elizah. Anak itu baru berusia empat tahun, pipinya masih bulat, matanya besar dan bingung. Ia tidak mengerti apa pun. Ia hanya menatap cahaya lampu yang berkelap-kelip di langit-langit, saat lonjakan feromon bertebaran di udara karena duka keluarga yang menebal. “Kita harus kuat,” bisik Josephine, menunduk ke arah Elizah. Suara itu lembut, tapi tidak menghibur. Ia mengucapkannya bukan untuk menenangkan, melainkan untuk mengukir perintah di udara. Dan gadis kecil itu — yang bahkan belum tahu arti kehilangan — hanya menatap kakaknya dengan mata besar yang bingung. “Kuat itu artinya apa?” tanyanya polos, suaranya seperti denting kecil di tengah sunyi. Josephine menatap lurus ke matanya. Pandangan mereka bertaut, dan waktu seolah berhenti di antara keduanya. “Artinya… tidak menangis,” jawabnya pelan. Suara lilin yang meleleh terdengar jelas dalam keheningan itu. Sebuah tetesan lilin jatuh ke lantai — tik — kecil tapi nyaring. Hari ini adalah hari terakhir dia bisa melihat wajah Papanya. Pemakaman diadakan khidmat. Ketika malam tiba, Josephine duduk di dalam kamar Dion. Bayang-bayangnya menari di dinding, membelah dirinya menjadi dua. Hembusan angin malam masuk dari celah jendela yang belum dikunci. Membawa aroma hujan, tanah, dan sedikit feromon Dion yang tersisa. Josephine menarik napas dalam-dalam, menatap fotonya bersama Dion. “Papa,” bisiknya nyaris tak terdengar, “aku tidak akan jadi lemah. Aku tidak bisa menjadi seperti, Papa.” Kata itu keras, tapi getarannya samar. Seolah sebagian dari dirinya sendiri menolak mengucapkannya. Namun sekali ia berkata, seluruh tubuhnya tahu — ia tidak akan menariknya kembali. Bertahun-tahun kemudian, banyak orang mengatakan malam itulah yang mengubah segalanya. Bahwa di hadapan peti kayu hitam itu, Josephine memutuskan sesuatu yang bahkan tak disadarinya sendiri — untuk tidak lagi merasakan apa pun. Ia berjanji akan tumbuh tanpa tanda, tanpa pasangan, tanpa takut disentuh feromon siapa pun. Ia belajar memadamkan reaksinya, menekan aroma Omeganya hingga tak terdeteksi. Dunia menyebutnya aneh, para Alpha menyebutnya mustahil. Tapi Josephine belajar dari satu hal yang pasti kelemahan adalah pintu yang tidak boleh dibuka lagi. Dan ketika Dev akhirnya menyerahkan kekuasaan padanya bertahun-tahun kemudian, para Alpha menertawakan keputusan itu. Mereka melihat seorang Omega muda memegang kunci kekuasaan keluarga Agust — hingga mereka sadar betapa berbahayanya gadis itu. Karena Josephine, Omega yang kehilangan perasaannya di usia sebelas tahun, tidak lagi mengenal kata takut. Ia hanya mengenal satu kata kendali. Dan kendali itulah yang akan ia gunakan untuk menakhodai takdir keluarganya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook