Wisuda Usai Perang Mulai

1990 Kata
Bunga matahari memenuhi aula kampus sore itu. Josephine berdiri di antara lautan toga hitam dan sorak sorai para keluarga. Wajahnya tenang, tak banyak senyum. Hanya mata abu-abunya yang sesekali menatap langit-langit kaca. Rambutnya kali ini disanggul dengan hiasan bunga milik Elizah. Elara sangat semangat mendandani Josephine walau memaksanya memakai setelah feminim. “Aku masih tidak percaya Jo yang jadwal bolos lebih banyak benar-benar lulus,” suara berat Machi datang dari belakang. Dia mengenakan jas hitam dan kemeja rapi, rambutnya sedikit berantakan, tapi tatapan mata hijaunya tajam —berbeda dari Beta yang lain tapi ia cerdas meski bukan petarung. Josephine menoleh dan tersenyum kecil. “Kamu terlalu meragukan orang, Machi.” “Bukan itu,” katanya sambil mengangkat kotak kecil berbungkus hitam. “Aku cuma pikir, mungkin hari ini kamu butuh sesuatu yang bukan senjata.” Josephine mengangkat alis. “Jadi ini bukan pisau bedah?” Machi terkekeh, menyerahkan kotak itu. Di dalamnya — sebuah pena logam perak dengan ukiran halus. Di gagangnya tertera satu kalimat kecil. ‘Victory in Silence.’ “Pena untuk tanda tangan,” ujar Machi. “Bukan untuk membunuh.” Josephine memutar pena itu dengan jari-jarinya. Seolah itu adalah senjata yang bermanfaat di tangannya. “Kamu tahu selama dua tahun terakhir aku lebih sering menandatangani kontrak daripada tugas kuliah.” “Itu sebabnya aku pilih pena, bukan bunga,” jawab Machi ringan. Lalu menatapnya dengan ragu. “Jo… apa kamu benar-benar mau lanjut di bawah Rox? Kamu bisa kerja di mana saja tinggal minta salah satu perusahaan Kakek Dev. Dunia legal, bisnis, bahkan politik. Kamu kemampuan untuk itu.” Josephine menatapnya lama. “Aku tidak memilih dunia ini, Machi. Tapi aku ingin mengendalikannya.” Machi mengangguk mengerti kemudian tidak lama ada teriakan dari Elizah. Gadis remaja itu melambaikan tangan ke arah Josephine. Di sebelahnya ada Elara yang terus meminta maaf atas keributan putrinya. “Adikmu heboh sekali.” Josephine tertawa lalu bersama berjalan ke arah Elara dan Elizah. “Selamat ya Machi,” ucap Elara memberikan buket bunga. “Terimakasih, Mama Elara.” Machi bergidik saat menerima bunga karena disebelah Elara sudah ada sepasang mata memicing tajam. “Ayo ucapkan selamat ke Kak Machi,” pinta Elara yang kemudian dibalas gelengan kepala keras. “Dia itu sengaja wisuda bareng padahal dia sedang kuliah lagi.” Elara terkejut lalu, “jadi lanjut profesi ya?” “Iya. Saya mengejar gelar untuk pendidikan doktor.” “Ck, jenius tukang pamer…” Josephine langsung menutup mulut pedas Elizah. “Maaf, Machi. Aku heran ini anak sudah 7 tahun mengenalmu semakin barbar di depanmu.” Machi tersenyum kaku bingung. Dia juga tidak tahu harus merespon apa. Elara yang merasa bersalah berusaha mengajak Machi untuk makan bersama tetapi ditolak lembut. Tentu bukan karena sepasang mata yang membolak lucu dari seorang Alpha cilik. “Terimakasih tawaranya, Sekali lagi selamat ya Josephine. Mama Elara dan Elizah saya pamit.” Elara menepuk dahinya pelan. “Sampai kapan sih kamu bersikap tidak sopan gitu, Eli. Padahal Kak Machi baik.” Elizah tidak menjawab tetapi Josephine mengerti bahwa Elizah cemburu. Karena semenjak ia bersekolah asrama dia banyak menceritakan soal teman-temannya kepada Elizah. Termasuk Machi yang sudah seperti saudara bagi Josephine. “Baiklah, ayo kita makan di restoran,” kata Josephine berusaha memecahkan suasana. Elizah mengangguk terus menempel ke Josephine. Sore hari setelah makan bersama perayaan wisuda Josephine langsung menuju markas Rox. Bukan karena memarahi Rox yang tidak datang tetapi menagih hadiahnya sesuai janji. Bangunan tua itu selalu tampak seperti runtuhan yang punya alasan untuk tetap berdiri — dindingnya berlumut, plester terkelupas, dan jendela disekat papan kayu yang disemen ulang berkali-kali. Di dalam, udara berat karena tembakau tua dan kertas—aroma yang menempel seperti sejarah yang tak pernah dibersihkan. Lampu-lampu kuning menggantung rendah, menciptakan jejak bayangan yang panjang di lantai semen. Di sudut ruang, rak besi penuh majalah lama, peta lipat, dan kotak-kotak yang isinya kadang tak bisa ditebak suku cadang, amunisi, dan kertas-kertas yang seolah-olah lebih berbahaya daripada senjata. Di ruangannya yang beraroma tembakau dan kertas, Rox sudah menunggu dengan dua cangkir kopi hitam. Uap kopi mengepul tipis, membentuk lingkaran kecil yang segera tercecer oleh kipas angin berputar pelan di atas. Rox berdiri di balik meja kayu besar, postur tubuhnya sangat tegap, wajah tegas itu mirip dengan Dev. Di depan meja, layar proyektor tergulung, menunggu perintah. “Selamat telah lulus,” katanya tanpa basa-basi. “Tapi kamu tahu, tidak ada upacara di sini.” Bibir Josephine membentuk senyum tipis yang nyaris sinis. Pria itu sedang mengacungkan sebuah kertas berhias emas lengkap dengan stempel. “Dan tidak ada foto bersama?” Josephine mengangkat alis begitu melihat hadiahnya. Sejak dini hari ia sudah berfoto lebih dari seribu kali bersama Elizah, Mama Elara dan teman-teman kampusnya. Minus sang Kakek yang sedang berada di Villa perawatan. “Tidak ada, kecuali foto target,” jawab Rox datar, membuat Josephine tertawa kecil. Tawanya seperti kristal yang dicubit pendek, dingin, dan langsung menghilang. Ia duduk, menggulung lengan kemejanya hingga siku, membiarkan kulit seminggu latihan menunjukkan bekas-bekas kecil di pergelangan tangannya. Ada cara Josephine duduk yang membuat ruang terasa lebih rapat bukan karena feromonnya, tapi karena kehadirannya menutup ruang seperti pintu yang tertutup rapat. “Paman bilang minggu ini aku harus belajar sesuatu yang belum pernah diajarkan.” Kalimat itu keluar sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan jutaan makna—janji, kerinduan akan pembelajaran, dan juga penyangkalan terhadap tradisi lama yang selalu mengganggu ruang napasnya. Rox menatapnya serius, mematikan senyum yang mungkin ingin muncul. “Benar. Cara menghancurkan musuh tanpa perlu menyentuh mereka.” Kalimat itu seperti instruksi perang yang manis disimpan dalam bungkus diplomasi. Rox menyalakan proyektor. Cahaya biru lembut menari di dinding, menampilkan diagram yang terlihat seperti urat nadi kota yaitu sungai uang, jaringan komunikasi, ketiak-ketiak relasi yang dari luar tampak tak berbahaya—rekening bank, perusahaan cangkang, kontrak pasokan—tetapi bila dipotong, bisa membuat organ tubuh organisasi roboh. “Setiap organisasi punya jantung,” kata Rox. “Beberapa orang pikir itu pemimpinnya. Salah. Jantungnya adalah jalur uang dan informasi. Kamu tidak perlu menembak musuhmu kalau bisa membuat mereka bangkrut.” Diagram berubah, panah-panah menghubungkan nama-nama dan angka-angka yang tersusun rapi memancarkan bau logika. Josephine mecondongkan tubuh, matanya yang abu-abu menangkis cahaya proyektor seperti kaca yang memantulkan api. Ada sesuatu tentang angka yang membuatnya sama tenang seperti memegang pistol—strategi bisa sama dinginnya dengan peluru. “Dan kalau uangnya tidak cukup?” ia bertanya, suaranya kecil namun menuntut jawaban yang konkret. “Cari orang-orang yang memegangnya.” Rox menatapnya tajam. “Kadang satu tanda tangan bisa menimbulkan lebih banyak darah daripada sepuluh peluru.” Kata-kata itu mendesis di udara seperti benang halus yang terpotong. Josephine menulis cepat di buku catatannya—bukan sekadar kalimat, tetapi pola pikir. Dibenaknya, gambaran dunia berubah bukan hanya bentrokan di jalan, tetapi juga perang lembar perkiraan, perseteruan audit, ancaman pencabutan lisensi yang seketika membuat jaringan-jejaring runtuh. “Siapa yang akan mengajariku bagian itu?” “Jeremi,” jawab Rox. “Dia bukan petarung, tapi dia yang memastikan kita tetap legal di mata pemerintah.” Ia membuka pintu mobilnya mengisyaratkan Josephine untuk masuk. Nama Jeremi mengundang bayangan laki-laki yang berbeda tidak ada otot yang menonjol, tetapi otak yang dilapisi oleh kode-kode yang tak terlihat. Josephine tahu, Rox memilih Jeremi bukan karena kelembutan, melainkan karena kecerdikan—orang yang bisa menari di antara aturan sehingga langit-langit hukum terasa seperti kain yang bisa ditarik ke samping. Sepanjang perjalanan Josephine membaca dengan seksama riwayat hidup Jeremi. Pria Beta paruh baya dengan rambut perak dan kacamata bundar, ia sudah 24 tahun bekerja di perusahaan. Dia juga seorang yang memimpin langsung firma hukum milik Rox. Sesampainya di kantor cabang milik Rox, Josephine memasuki lorong demi lorong yang jauh dari pusat perkantoran. Di dalam sudah menunggu Jeremi, pria itu tampak lebih muda dari usianya. Persis seperti di foto. Ia duduk di meja yang penuh catatan pajak, slip gaji, dan dokumen-dokumen yang jika dibaca secara dangkal, terlihat legal—tetapi siapa yang membaca secara dangkal ketika hidup dipertaruhkan? “Kamu Josephine, ya?” katanya sambil memandang dari balik kacamatanya. Suaranya halus, mengandung keheranan yang dilumasi pengalaman. “Keponakan Rox yang katanya bisa menembak sambil menghitung pajak?” “Bisa menembak, iya,” jawab Josephine. “Tapi pajak masih membingungkan.” Jeremi tersenyum lembut, sebuah gerak kecil pada bibir yang memperlihatkan ada rahasia yang hampir tidak bisa ditahan. “Membingungkan, tapi penting. Kamu ingin organisasi bertahan? Maka kamu harus tahu bagaimana menipu pemerintah tanpa terlihat menipu.” Ia memberikan setumpuk dokumen ke meja Josephine. “Pelajari semua ini. Dalam dua hari, kita punya audit palsu.” Josephine menatap tumpukan itu seperti menatap medan perang. Setiap lembar seperti permukaan es yang tipis salah pijak dan tubuh organisasi bisa selip ke jurang yang tak terselamatkan. Ia mengangguk, menelan gugup yang disamarkan menjadi ketenangan. “Baik,” katanya. “Anda tidak perlu mudah pada saya.” “Tidak ada yang mudah di bawah Rox,” gumam Jeremi, suaranya mengandung nada peringatan sekaligus tantangan. Sedangkan Rox yang sudah tidak mereka anggap hanya menonton keduanya. Jeremi dan Josephine sudah seperti guru dan murid. Rox awalnya ingin mengawasi takut-takut Josephine akan bosan atau meledakkan feromonnya. Namun, justru ia takjub akan kemampuan menyerap informasi Josephine. Bahkan ia berulang kali bertukar mata ke Jeremi, ia bangga. Malamnya, ketika markas sudah lengang, Josephine duduk sendiri dengan buku catatannya. Di meja, pena perak dari Machi berkilau samar. Ia terus menatap kalimat yang tertulis dari pena tinta isi ulang itu. “Kamu boleh pulang Josephine, Rox sudah tidak ada.” Josephine mendongak saat Jeremi mulai menyusun berkas. “Anda pulang?” “Aku seorang orang tua tunggal kalau sering lembur anak-anakku tidak ada yang jaga.” Josephine mengangguk, dia juga membaca biografi keluarga Jeremi. Dan fakta menarik anak-anak Jeremi satu kelas dengan Elizah. Mungkin dia bisa menanyakan ke Elizah soal mereka. “Kupikir Pak Jeremi sangat dekat dengan Paman.” Kalimat Josephine membuat seluruh berkas dari tangan Jeremi jatuh berantakan. “Ah, apakah berat? Anda harusnya meminta bantuan.” Tanggap, Jeremi menghentikan tangan Josephine dan menunduk. Ia pergi seperti terburu-buru. Josephine sendiri masih kaget malah terduduk di lantai. Ia menyisir rambutnya ke belakang telinga menampilkan ekspresi senang dari wajahnya. “Heh, tadi dia bersikap profesional tapi begitu Rox tidak ada sikapnya tidak ada bedanya dengan tikus.” Josephine ingin melaporkan kejadian itu tetapi ponselnya bergetar di saku—pesan dari Rox. Layar menampilkan teks tunggal yang singkat namun berat. [Pesan masuk: Ada kerusuhan di cabang selatan. Uji keberanianmu. Jangan pakai peluru, pakai kepala.] Josephine menarik napas panjang seakan menghirup seluruh aerosol ketegangan yang menempel di seluruh dunia. “Jadi, hari wisuda selesai, perang baru dimulai.” Kalimat itu tidak menceritakan keluhan hanya pernyataan fakta. Ia berdiri, merapikan mantel hitamnya yang menempel pada tubuh rampingnya, menyelipkan pena Machi di saku d**a seperti pedang yang dimasukkan ke sarung. Di luar, malam menggulung seperti kain gelap. Cahaya lampu memantul pada wajah Josephine, menggambar garis-garis tegas di pipinya. Bayangan kota tampak kaku, hampir seperti panggung yang menanti aksi namun di mata Josephine, semuanya nyata — bukan sandiwara. Matanya sekarang tidak lagi seperti mahasiswa yang baru lulus. Mereka lebih tajam, berlapis kewaspadaan. Ada sesuatu tentangnya yang kini menyerupai ratu kecil yang baru naik takhta, penguasa kecil atas keputusan yang belum dipahami sepenuhnya oleh semua orang, tapi yang akan mereka rasakan ketika dunia mulai berubah arahnya. Ia mengunci pintu markas. Di baliknya, kota berdenyut — tetapi malam itu, denyut itu terasa seperti jantung yang baru saja dipelajari cara memanipulasinya. Josephine menarik jaket lebih rapat, menengok sejenak pada rak- rak peta yang menempel di dinding. Di sana ada rencana, daftar nama, foto-foto yang kosong. Di bawah aura lampu jalan, ia melangkah keluar, menyusuri gang-gang yang beraroma hujan dan oli. Setiap langkahnya terasa berirama, terprogram pas setiap tarikan nafasnya terasa seperti latihan dalam menahan gejolak tubuh yang dulu terbiasa tunduk pada aroma lain. Malam itu, ia bukan hanya pergi ke sebuah kerusuhan. Ia pergi menjadi eksekutor yang belum sepenuhnya memahami betapa dalam ia akan menekan tombol-tombol yang mengubah banyak nyawa. Di langit, awan menutup bulan, seolah memberi tirai yang tepat bagi awal permainan baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN