Chapter 3

1401 Kata
Siang ini Renata memutuskan untuk menikmati makan siang di cafetaria kantornya. Tentu saja setelah memastikan bahwa Hendra aman untuk ditinggal pergi. Terkadang Renata juga harus sedikit bersabar karena Hendra tidak akan mudah melepaskannya begitu saja. Lelaki itu pasti selalu memiliki sesuatu hal agar Renata tetap berada di sisinya. "Tau nggak, sih. Denger-denger ada senior yang dipecat di bagian keuangan gara-gara Mbak Renata." Renata seketika terdiam ketika mendengarkan obrolan tersebut. Dirinya tengah berada di dalam bilik toilet cafetaria. Sedikit disayangkan karena ia merasa ingin buang air kecil disaat tengah menanti pesanannya tiba. Terlebih lagi dirinya pergi ke cafetaria sendirian. Akan tetapi dirinya tidak punya pilihan lain. Lalu sekarang ia justru mendengar hal mengenai dirinya tanpa sengaja. "Emangnya ada apa?" "Katanya sih karena senior di bagian keuangan itu akhir-akhir ini sering masuk ruangan Pak Hendra. Takut kesaing kali mbak Renatanya." Renata pun hening dan terus mendengarkan perbincangan mengenai dirinya itu. Salahkan mereka yang bergosip di toilet dengan suara cukup keras. "Mbak Renata yang mecat langsung?" "Ya, Pak Hendra. Pasti Mbak Renata yang ngerayu Pak Hendra biar pecat orang itu. Pak Hendra kan nurut terus sama Mbak Renata." "Tapi denger-denger Pak Hendra udah punya tunangan. Masak mau kerayu sama Mbak Renata? Pak Hendra juga kan galak gitu. Gimana coba ngerayunya?" "Ya mana kita tau, kan? Mbak Renata itu udah kerja lama lo bareng Pak Hendra. Udah bertahun-tahun. Denger-denger dari senior yang udah kerja lama disini, katanya Mbak Renata sama Pak Hendra ada main. Mereka yakin Mbak Renata godain Pak Hendra soalnya cuma sama Mbak Renata, Pak Hendra bisa jinak gitu. Sekretaris-sekretaris Pak Hendra sebelumnya paling lama kerja satu setengah bulan. Lah ini Mbak Renata sampe bertahun-tahun." "Kalo kayak gitu, berarti Mbak Renata selama ini jadi simpenannya Bos?" tuk tuk tuk Suara higheels Renata yang beradu dengan ubin toilet membuat dua gadis yang sejak tadi berbincang di depan wastafel itu terdiam. Renata melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Tentu saja kemunculan Renata dari balik bilik toilet itu membuat dua orang yang tadi membicarakannya menjadi terkejut. Mereka tidak dapat berkata sepatah kata pun. Begitu selesai membilas tangannya, Renata menatap mereka berdua dan memberikan senyumannya. "Saya duluan, ya." Renata kemudian pergi meninggalkan toilet setelah pamit dengan ramah. "Aduh. Jangan bilang abis ini dia ngadu ke Pak Hendra." Renata pun memilih untuk langsung pergi meninggalkan cafetaria. Keinginannya untuk makan siang pun langsung hilang seketika. ------- "Kenapa?" Seolah menyadari ada yang mengganggu Renata, Hendra pun akhirnya menanyakan satu kata itu. "Iya, Pak? Ada apa?" tanya Renata seraya menoleh kepada lelaki itu. "Kamu jadi pendiam." Sebenarnya Renata sungguh ingin merubuhkan gedung kantor tempatnya bekerja itu. Ia bukan hanya sekali mendengar pembicaraan buruk mengenai dirinya yang bekerja sebagai sekretaris Hendra. Renata sudah mengetahui seburuk apa berita yang beredar mengenai dirinya di kantor. Perbincangan mereka memang benar bahwa dirinya dan Hendra memiliki sebuah hubungan terlarang. Kenyataan aslinya bahkan lebih parah dari yang mereka duga. Hanya saja Renata sungguh ingin mengklarifikasi pada dunia bahwa ia sama sekali tidak pernah menggoda Rendra. Dirinya selama ini benar-benar bekerja keras dengan profesional sehingga bisa bertahan bertahun-tahun. "Beritahu saya. Ada apa?" Pintu lift terbuka. Begitu melangkah keluar dari lift ini maka Renata dapat segera memasuki apartemennya dan ia bisa beristirahat. Hanya saja entah bila Hendra sedang ingin main malam ini. Atau mungkin lelaki itu akan membuat Renata begadang dengan mengerjakan begitu banyak tugas. "Mari, Pak." Renata pun melangkah kakinya untuk meninggalkan lift. Akan tetapi Hendra menahan tangannya sehingga langkahnya terhenti. "Jawab saya." Renata kemudian melepaskan tangan Hendra yang menahan tangannya. "Mungkin karena saya sedang lelah, Pak. Akhir-akhir ini saya cepat lelah." Hendra pun mengangkat satu alisnya dan menatap Renata penuh selidik. "Kamu berubah jadi pendiam setelah kembali dari cafetaria. Apa yang terjadi disana?" "Pak, sebaiknya-" "Saya sudah katakan kalau ada yang membuat kamu terganggu, bicara." "Tidak ada, Pak." Renata pun menundukkan kepalanya. Ia malas berdebat dan ingin segera merebahkan diri di atas ranjangnya. "Oke. Kalau kamu tidak mau memberitahu, saya akan cari tau sendiri." Hendra kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan lift. Renata membulatkan matanya. Bila sampai Hendra tahu mengenai penyebab badmood Renata adalah karena dua karyawan tadi yang membicarakannya, maka pasti dua orang itu akan langsung dipecat. "Pak." Renata spontan langsung menarik tangan lelaki itu. Hendra pun menghentikan langkahnya dan kemudian menatap Renata. "Saya hanya lelah setelah begitu banyak kegiatan akhir-akhir ini." Hendra terdiam dan menatap Renata. Lelaki itu kemudian menatap tangan Renata yang menggenggam tangannya. Setelah beberapa detik, pandangannya kembali beralih menatap mata Renata. "Mandi, setelah itu ke kamar saya." Renata pun menahan napasnya. Ia jadi ingin menusuk mata Hendra yang mengatakan hal itu. Padahal dirinya sudah mengatakan bahwa ia lelah. Akan tetapi lelaki itu justru meminta Renata datang ke kamarnya. Hendra memang sungguh menyebalkan. Lalu Hendra pun mendekatkan tubuhnya dengan Renata dan dan lantas menjatuhkan kecupan di pipi gadis itu. "Saya tunggu kamu." -------- Pakaian tidur dengan motif polkadot menjadi pilihan Renata saat ini. Dirinya kemudian memasuki apartemen Hendra dan langsung menuju kamar lelaki itu. Ia sudah sering datang kemari jadi terasa biasa saja. Akan tetapi jantunganya akan langsung berdetak kencang ketika sudah tiba di kamar Hendra. tok tok tok "Pak?" Tidak kunjung ada jawaban sehingga Renata memutuskan untuk langsung masuk saja. Tidak ada Hendra di dalam kamar sehingga Renata pun menunggu seraya menatap pemandangan yang ada di jendela. Pemandangan dari kamar Hendra sebenarnya sama saja dengan pemandangan yang disajikan dari kamar apartemen Renata. Terdengar suara pintu terbuka dan kemudian tertutup disusul suara langkah. Renata pun membalikkan tubuhnya dan terkejut menatap Hendra yang baru keluar dari kamar mandi. Lelaki itu rupanya baru selesai mandi dan keluar hanya dengan handuk yang dililitkan di pinggang. Tubuh bagian atas yang begitu sempurna membuat Renata menahan napasnya. Lelaki itu benar-benar terlihat seksi. Padahal Renata sudah sering melihat tubuh Hendra bahkan dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Akan tetapi rasanya tidak membosankan dan selalu saja menggoda. "Kamu udah ngantuk, Ren?" tanya Hendra. Rasanya jarang sekali Hendra memanggil namanya ketika mereka sedang tidak dalam keadaan bekerja. Pertanyaan dengan nada biasa saja itu membuat hati Renata menghangat. Tidak ada nada perintah seperti yang selalu Renata dengar. Baik itu nada perintah dalam urusan pekerjaan ataupun dalam urusan memuaskan lelaki itu. "Udah, Pak." Sungguh Renata tidak tahu apa maksud Hendra memintanya datang kemari. Ia sudah merasa curiga bahwa lelaki itu pasti sedang ingin main sekarang. Renata sungguh tidak ingin. Dirinya masih kesal dengan perbincangan dua gadis itu tadi. Hendra duduk di atas kasur dan kemudian menatap Renata. "Sini," ucapnya seraya menepuk tepi kasur sebelahnya seolah meminta Renata untuk duduk disana. Renata menghela napasnya dan kemudian melangkah mendekati Hendra. Ia lantas duduk di atas kasur. Tepat di sebelah Hendra. Begitu Renata duduk di sebelahnya, Hendra mengambil ponselnya dari atas nakas. Ia lantas menyerahkan ponselnya kepada gadis itu. "Siapin waktu liburan untuk kita berdua dua. Bebas terserah kamu mau kemana." Renata pun membulatkan matanya dan kemudian menatap ponsel yang diberikan oleh Hendra. "Tapi, Pak-" "Setengah jam setelah itu kita tidur. Tidur yang bener-bener tidur karena kamu capek." Renata masih merasa terkejut. "Tapi agenda-" "Kamu mau membantah saya?" Empat kata keramat khas Mahendra Hardinata itu sudah terucap maka tidak ada yang bisa Renata lakukan. Renata kemudian mengambil ponsel milik Hendra. Padahal sebenarnya masalah mengatur jadwal bisa Renata lakukan di kamarnya dengan menggunakan tablet dan laptopnya sendiri. "Kerjakan disini dan kamu tidur disini malam ini." Renata pun menganggukkan kepalanya. Seharusnya ia tadi berpikiran untuk membawa ponselnya. "Pak saya ambil-" "Kamu kirim aja chat pembatalan semua jadwal." Renata kembali menganggukkan kepalanya. Hendra sebenarnya terkenal dengan image bos yang galak dan dingin. Lelaki itu jarang bicara dan sekalinya bicara cukup menyakitkan. Ia juga cukup ditakuti. Itu sebabnya Hendra cukup percaya diri dengan hanya membatalkan jadwal melalui pesan langsung dari kontaknya. Karena tidak akan ada yang berani membantah ucapan lelaki itu. "Kerjakan dengan cepat. Supaya kamu lebih cepat istirahat " "Baik, Pak." Hendra lantas bangkit dari duduknya dan hendak melangkah menuju walk in closet untuk mengenakan pakaian. Renata terdiam ketika melihat pesan masuk di ponsel Hendra. Pesan dari Olivia. Kontak Olivia berada nomor dua teratas di aplikasi WA Hendra karena gadis itu baru saja mengirimkan pesan. Sementara kontak Renata berada di kontak paling teratas karena dipasangkan pin. Renata pun menghela napasnya. Ia jadi merasa tidak enak dengan Olivia. Terlebih membaca pesan yang dikirimkan Olivia. Gadis itu menanyakan apakah Hendra sudah pulang dari kantor atau belum. Jika saja gadis itu tahu bahwa saat ini Hendra tengah bersama dirinya dan malam ini Renata akan tidur satu ranjang lagi dengan lelaki itu. Entah akan seperti apa perasaan Olivia. Renata sungguh merasa sangat bersalah dan berdosa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN