"Suka?"
Renata terdiam mendengar suara ketukan sepatu Hendra yang beradu dengan lantai kamar ini.
Lelaki itu melangkah mendekatinya yang tengah menatap ke arah jendela.
"Suka, Pak."
Renata seketika membulatkan matanya ketika tangan Hendra melingkari perutnya dan ia dengan cepat merasakan kehangatan d**a lelaki itu yang memeluk dirinya.
Hendra kemudian menyandarkan dagunya di pundak Renata.
"Kamu bilang perlu refreshing, kan? Jadi nikmati semua yang ada disini sampe kamu ngerasa bisa bekerja lagi di kantor dengan fokus."
Renata sebenarnya tidak paham apa yang dipikirkan bosnya itu.
Mereka pergi ke Bali selama satu minggu dengan dalih pemeriksaan proyek pembangunan hotel.
Nyatanya ia dibawa kemari untuk liburan.
Hendra telah memerintahkan orang kepercayaannya untuk melakukan tugas pemeriksaan itu.
Padahal Renata hanya ingin menghindari bosnya kala itu. Bukan bermaksud untuk meminta liburan. Apalagi satu minggu.
Renata tentu akan senang bila ia berlibur sendiri.
Masalahnya ada Hendra yang ikut bersamanya.
Renata sudah bisa membayangkan ia harus memberikan laporan setiap empat jam sekali kepada Olivia agar gadis itu tidak merasa curiga.
cup..
Renata membulatkan matanya ketika Hendra menjatuhkan kecupan di leher gadis itu.
"Pak.."
Renata sungguh tidak ingin melakukan apapun sekarang. Ia masih sedikit shock karena harus melakukan perjalanan ke Bali secara mendadak.
"Sebentar saja. Nggak akan lebih dari ciuman."
Renata menggigit bibir bawahnya.
Pasalnya ia sudah sering mendengar ucapan itu namun kenyataannya tetap saja Hendra menerobos batas ciuman yang ia ucapkan sendiri.
Ponsel di tangan Renata tiba-tiba saja berdering. Renata membulatkan matanya ketika melihat Olivia menelpon.
Detak jantung Renata pun berubah menjadi semakin cepat karena ia belum mempersiapkan apapun untuk mengatasi Olivia.
"Pak. Mbak Olivia.."
Renata menggigit bibir bawahnya karena Hendra justru kini menggigit lehernya itu.
Hal itu menimbulkan gelenyar aneh dalam tubuhnya.
"Pak. Jangan.. Saya mau angkat.."
Renata bahkan tidak sempat melanjutkan ucapannya karena ia harus mengigit bibir untuk menahan desahannya.
"Angkatlah. Dia akan curiga."
Renata menggenggam tangan Hendra bermaksud agar membuat tangan itu tidak lagi melingkari perutnya. Akan tetapi pelukan Hendra justru menjadi semakin kuat.
"Angkat, Ren."
Hendra mengucapkan itu sebelum kembali memberikan kecupan di berbagai titik leher Renata.
Renata tidak mungkin mengangkat telepon dalam kondisi Hendra begini.
Bisa-bisa suara kecupan Hendra terdengar dan desahan Renata tiba-tiba lolos. Itu akan membawa malapetaka besar.
"Saya selesaikan ini setelah kamu selesai bicara dengan Olivia."
Panggilan masuk itu terhenti. Renata pun merasa lega.
Di luar dugaan, tangan Hendra justru mulai bergerilya diiringin dengan gigitan di leher gadis itu.
Perpaduan yang kuat sehingga membuat Renata tidak lagi bisa menahan desahannya.
"Ahh.."
Ponselnya kembali berdering. Renata pun reflek menggenggam satu tangan Hendra yang masih memeluk perutnya.
"Pak.."
Suaranya sangat lirih. Ia sangat memohon agar Hendra melakukan ini.
"Angkat, Ren."
Lelaki itu mengatakannya dengan suara yang lembut.
Ah, lebih tepatnya secara sensual.
Renata benci bila harus terjebak di situasi seperti ini.
Gadis itu kemudian menatap layar ponsel yang menunjukkan telepon masuk dari Olivia.
Ia berdehem untuk memastikan suaranya tidak serak kemudian ia mengangkat telepon itu.
"Halo, Mbak."
"Halo, Ren. Kamu udah sampe di Bali? Katanya kamu sama Hendra ke Bali ya ngurus hotel disana."
Renata memejamkan matanya ketika Hendra mengecup lehernya. Ia benar-benar takut suara akibat perbuatannya itu bisa diketahui oleh Olivia.
"Iya, Mbak. Sudah sampai."
"Hendra dimana? Seperti biasa dia nggak bales chatku. Ditelpon juga nggak diangkat."
Renata memejamkan matanya ketika tangan Hendra mulai bergerilya semakin jauh ke bawah dan mulai mencapai roknya.
Renata rasanya tidak bisa berpikir sekarang.
Hendra biasanya akan mengarahkan apa yang harus ia ucapkan bila Olivia menelpon. Akan tetapi sekarang laki-laki itu seolah ingin membongkar semuanya dengan bermain-main bersama Renata saat Olivia menelpon seperti ini.
"Pak Hendra lagi tidur, Mbak. Beliau capek karena buru-buru ke Bali sambil ngurus kerjaan juga."
Rasanya Renata ingin sekali berteriak dengan keras bahwa tunangan gadis itu sekarang sedang memancing ga*irah Renata. Renata benar-benar kesal dan rasanya ingin meloloskan desahan untuk memberitahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh lelaki itu.
"Oh, gitu. Nanti kalau Hendra udah bangun kabarin aku ya, Ren."
cup..
Jantung Renata rasanya hampir mencelos ketika bibir Hendra yang mengecup lehernya itu menimbulkan suara yang cukup besar.
"Ren?"
Mata Renata juga ingin melompat dari tempatnya karena ia tidak tahu harus menjawab apa bila Olivia mendengar suara tak pantas itu.
"Itu suara apa?"
Detak jantung Renata mulai tidak dapat dikendalikan lagi karena ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Olivia. Rasanya ia ingin mati ditelan bumi saja.
"Ren?"
"Oke, Mbak. Nanti saya pasti kabarin. Mbak maaf ya. Saya lagi di dalem lift. Ada bule lagi begituan. Saya mau buru-buru keluar. Maaf ya, Mbak."
"Oh iya. Pantes. Kamu hati-hati ya disana, Ren. Jaga diri dan kesehatan, oke?"
Renata langsung menahan tangan Hendra yang ingin menyingkap roknya. Lelaki itu benar-benar mencari gara-gara rupanya.
"Iya, Mbak. Mbak juga ya jaga kesehatan."
"Makasih banyak ya, Ren."
Sambungan telepon terputus. Renata pun langsung mematikan ponsel itu.
Hendra yang tahu bahwa percakapan tunangannya dengan Renata via telepon telah berakhir pun lantas menjatuhkan kecupan dengan suara-suara yang begitu jelas.
"Saya bukan bule dan kamu lagi nggak di lift, Renata."
Renata dengan sekuat tenaganya lantas menjauhkan diri dari Hendra hingga pelukan mereka terlepas dan aksi Hendra terhenti.
Gadis itu kemudian menatap Hendra dengan pandangan kesal.
"Bapak mau semuanya kebongkar?" tanya Renata kesal.
"Nggak. Kamu udah terlalu pinter sandiwara sampai tunangan saya sangat percaya sama kamu."
Renata menghela napasnya.
Ia lantas menatap kemejanya yang kini telah berantakan karena ulah Hendra.
Padahal lelaki itu tadi sendiri yang mengatakan aksinya hanya sebatas ciuman. Nyatanya tiga kancing kemeja teratas Renata telah terbuka karena tangan lelaki itu.
"Kamu marah, Ren?" tanya Hendra.
Lelaki itu memajukan langkahnya sehingga mengikis jarak antara dirinya dan Renata.
Renata hanya diam saja.
Bahkan bila ia marah kepada lelaki itu, tidak akan ada yang bisa Renata lakukan.
Ia hanya bisa tunduk dengan semua ucapan Hendra layaknya pela*yan yang patuh.
Hendra menatap manik mata gadis itu dengan lekat.
Renata tengah menundukkan pandangan sehingga matanya tidak bersitatap dengan mata Hendra.
Lelaki itu menggerakkan jari telunjuk kanannya untuk mengangkat dagu Renata sehingga kini mata mereka bersitatap.
"Saya akan telepon Olivia dan bicara dengan dia sampai dia nggak mengganggu kamu lagi selama kita satu minggu di Bali."
Renata membulatkan matanya karena terkejut.
Hendra menelpon Olivia lebih dahulu?
Rasanya Renata akan menjadi orang yang lebih terkejut dari Olivia.
Laki-laki itu sama sekali tidak pernah mau berhubungan atau berkomunikasi dengan Olivia layaknya orang yang bertunangan.
Itu sebabnya Olivia selalu mengandalkan Renata untuk mengetahui kabar Hendra.
Lalu mendengar bahwa Hendra akan menelpon Olivia, Renata merasa itu seperti keajaiban dunia saja.
"So.."
Hendra menatap bibir Renata dan jari yang tadi menyentuh dagu gadis itu kini berpindah membelai bibir gadis itu.
"Enjoy your time."
Hendra kemudian menatap mata Renata dan terus memajukan wajahnya.
"With me," bisiknya seraya mengecup bibir gadis itu.