Chapter Tujuh

1841 Kata
            Alby mengajak Aster berjalan semakin jauh ke dalam hutan. Menapaki tiap tanah lembab yang ada. Namun, tetap menyusuri tepian sungai. "Kamu seharusnya masih ingat," kata Alby. Langkahnya terhenti di depan semak belukar yang tinggi, di mana ada sesuatu tersebunyi di tengahnya.             "Bagaimana aku bisa lupa!" sahut Aster.             Mereka berdua mendekati semak belukar tersebut. Menyibakkan rumput tingginya. Beberapa buah motor terbang yang dulu sempat digunakan masih bersembunyi di sana. Sejak saat itu, entah kenapa mereka tetap membiarkan benda itu ada pada tempatnya. Untuk berjaga-jaga di saat darurat, pikir mereka semua.             Alby mendekati salah satu motor berbahan bakar penuh. Membersihkan tanaman rambat yang menjerat joknya. Aster segera duduk pada jok belakang, tepat setelah Alby menempati posisi pada bangku pengemudi. Dinyalakanlah mesin motor tersebut. Beruntung benda itu masih dapat bekerja dengan baik. Persis seperti saat pertama kali mereka gunakan.             "Siap untuk terbang?" tanya Alby.             "Ya!" sahut Aster penuh semangat.             "Pegangan yang erat!"             Alby menginjak gas sedalam-dalamnya. Membuat motor itu melesat menuju udara. Keluar dari hutan rindang menuju langit biru cerah. Aster merindukan saat-saat seperti itu. Membuat sekelebat kenangan masa lalu kembali terlintas. Bau angin itu, bunyi mesin itu, masih jelas terpatri dalam ingatan, meski lelaki di hadapannya tidak lagi sama.             Dari kejauhan, Erik menangkap sebuah benda yang terbang di udara. Keluar dari dalam pepohonan lebat di dalam hutan. Tampak seperti seekor kutu yang tengah meloncat keluar dari dalam rambut seseorang. "Lihat, siapa yang kabur?" ucapnya kepada diri sendiri. Tangannya menghalangi sinar matahari yang menusuk mata. "Dasar anak itu." Dia tertawa kecil sebelum melanjutkan pekerjaannya.             "Menurutmu sebaiknya kita pergi kemana? Oakland?" tanya Alby.             Aster menggeleng-geleng, meski Alby tak mungkin melihatnya. "Aku sedang tak ingin pergi ke sana." Dia berpikir sejenak. "Ke sana saja!" Aster menunjuk ke arah Barat Daya. Arah yang menjadi tujuan dari ekspedisi gagalnya.             "Dengan senang hati, nona."             Angin segar membuat pikiran mereka menjadi sama segarnya. Seperti orang yang baru saja terbangun dari tidur panjang. Tak dapat dipercaya bahwa belum lama mereka baru saja melakukan sebuah pertengkaran hebat. Kini keduanya sedang berada di bawah langit biru yang sama. Melepas kepenatan dan berbagi tawa.             Alby masih terus memacu motornya dengan kecepatan konstan. Tak terasa dia melaju pada kecepatan seratus kilometer perjam. Sepasang kekasih itu terlalu terbuai oleh suasana untuk bisa menyadari laju kendaraannya. Tapi hal itu memang bukan masalah. Mengingat hanya awan satu-satunya benda yang bisa mereka tabrak di atas sana. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Bahkan elang raksasa pun takkan berani menyerang benda yang melaju dengan sangat cepat itu.             "Aku jadi semakin mengerti kenapa kamu senang sekali terbang seperti ini."             "Benarkan kataku?!" Aster berkata dengan penuh rasa bangga. "Terkadang kamu hanya terlalu khawatir!"             "Iya, iya, dasar cerewet!"             Aster dan Alby kembali tertawa bersama. Tampaknya laju kecepatan motor tidak menghentikan mereka berdua untuk terus berbincang dan bercanda sepanjang perjalanan. Terkadang Alby sengaja mengguncang-guncangkan motornya hanya untuk melihat kepanikan Aster. Hanya saja gadis itu terlalu tangguh untuk bisa merasa takut.             Lebih dari setengah jam mereka terus melaju di atas awan. Kaki Alby mulai pegal karena harus menginjak pedal gas. Akhirnya dia mengurangi kecepatan untuk sedikit meregangkan badan. Sementara Aster sendiri terus memandangi lautan yang ada di bawahnya. Dia merasa genangan air tersebut masih sama tenangnya seperti yang terakhir kali dia lihat.             Entah sudah sejauh apa mereka terbang. Keberadaan Nibbana kini tak terlihat lagi. Aster memandang ke sekeliling. Lautan biru yang luas ada di sekelilingnya, seakan mereka tidak memiliki ujung. Gelombangnya membuat pantulan cahaya mentari tampak seperti bintang yang berkelap-kelip. Di antaranya, mata Aster menangkap sebuah bayangan yang berasal dari benda di dalam laut. Benda itu semakin lama semakin besar, melintasi daerah di bawah motornya.             Aster bisa melihat dengan jelas seekor ikan yang berbadan amat sangat besar itu. Bahkan panjang kapal milik pasukan militer Oakland tidak bisa menandinginya. Meski agak takut, tapi disatu sisi dia pun merasakan ketakjuban akan apa yang pertama kali dia lihat.             "Alby, lihat!" Aster menunjuk kea rah bawah.             "Binatang apa itu?" dahi Alby mengerut karena keheranan.             "Entahlah, yang pasti itu seekor ikan."             "Seekor ikan yang sangat besar. Apa berbahaya?"             Aster memperhatikan laju binatang raksasa itu yang amat pelan. Mungkin pengaruh dari tubuh besarnya, jadi terlihat seakan ikan tersebut bergerak sangat lambat. "Tapi dia tidak melakukan apa-apa kepada kita. Atau mungkin tidak bisa melihat keberadaan kita di atas sini. Sepertinya kita harus melihat lebih dekat, Alby."             "Kamu yakin?"             "Ya! Tampaknya ikan itu tidak berbahaya, karena dilihat dari..."             'Byur', mendadak air laut menyembur dari arah bawah. Membuat badan Aster dan Alby kini basa kuyup karenanya. Sementara ikan paus yang menjadi pelaku itu pergi tanpa rasa bersalah setelah mengeluarkan suara nyaringnya yang menggema di udara. Seakan menertawakan mereka yang menjadi korban dari semburannya.             "Kamu masih yakin?" Alby mengulangi pertanyaannya.             "Sepertinya tidak."             "Bagus." Alby kembali mengendarai motornya. Kali ini dengan kecepatan yang lebih lambat.             Angin membuat tubuh mereka sedikit menggigil karena basah. "Sepertinya lebih baik kita pulang sekarang. Angin ini membuatku kedinginan."             "Iya." Aster sependapat. "Jangan sampai kita masuk angin."             Akan tetapi, di saat yang sama, mata Aster lagi-lagi menangkap sesuatu yang ganjil. Dari kejauhan, dia merasa melihat sebuah pipa besi mencuat dari dalam laut. "Tapi tunggu, Alby!"             "Ada apa?"             "Apa aku sedang bermimpi?"             Alby memasang ekspresi penuh tanda tanya besar pada wajahnya.             "Aku merasa sedang melihat sebuah pipa tertancap di tengah laut," tambah gadis itu lagi.             Si lelaki berambut emas langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Aster. Dia mencari-cari benda yang dimaksud oleh kekasihnya itu. "Apa kita mengalami mimpi yang sama?" katanya setelah menemukan yang dicari.             "Ayo kita mendekat ke sana sebelum pulang!"             "Tapi hanya sebentar saja ya!"             Aster hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya, motor terbang pun mulai bergerak kembali dengan pelan. Tampaknya si pengendara berusaha mengemudi dengan sangat hati-hati.             Posisi Aster semakin lama semakin dekat dengan benda yang dituju. Ternyata pipa tersebut lebih besar dari bayangannya. Diameternya mungkin sekitar satu meter. Dan entah sedalam apa benda itu menancap di dalam lautan.             Saat memperhatikan sekeliling, tenyata benda tersebut tidak hanya ada satu. Pipa serupa yang berukuran lebih kecil juga bertebaran di sekitarnya.             "Kamu tahu benda apa itu, Alby?"             "Hm... Mungkin sisa dari pabrik yang tenggelam."             Aster mengangguk-angguk. Dia merasa opini Alby masuk akal. "Tapi apa tidak aneh, karena aku rasa benda itu terlalu bersih? Itu artinya..."             "Ada orang yang membersihkannya?"             "Ya!"             Mereka berdua terdiam menatap pipa-pipa yang ada. Berdiskusi tentang segala hal yang sekiranya masuk akal mengenai identitas dari benda tersebut. Meski belum ada penjelasan yang berhasil membuat kedua orang itu merasa puas.             Benda asing itu ternyata benar-benar menyita perhatian. Hingga kehadiran beberapa orang yang sedang memperhatikan mereka dari belakang sama sekali tak disadari. Mata Aster tak sengaja menangkap pantulan banyangannya melalui spion motor. Dia bergegas menengok ke belakang. "Alby!" panggilnya dengan sedikit berteriak.             Aster dan Alby amat terkejut karena tidak tahu sejak kapan ada banyak orang di belakang mereka. Jumlahnya tak kurang dari delapan orang. Sepertinya bukan berasal dari Oakland, apalagi Nibbana, meski tak ada yang dapat membuktikannya karena mereka menggunakan kain sebagai penutup wajah. Kain putih yang tampak lusuh, sudah tak terlihat murni berwarna putih lagi. Mungkin mereka sudah memakainya sangat lama, hingga warnanya mulai berubah mejadi kekuning-kuningan. Kain itu membalut kepala mereka, hanya menyisakan lubang untuk mata yang menyorot tajam pada Aster dan Alby.             Mesin-mesin yang orang-oran asing tersebut naiki tak menimbulkan bunyi sedikitpun. Atau mungkin suaranya terlalu halus untuk bisa terdengar. Bentuknya seperti otopet, namun terlihat jauh lebih canggih. Salah satu orang yang ada menaiki kendaraan menyerupai kapal tempur mini. Tampaknya dia pemimpin dari kelompok tersebut.             "Diam di tempat! Jangan coba-coba untuk kabur!" teriak salah satunya yang berjarak paling dekat dengan Aster. "Angkat tangan kalian!" teriaknya lagi dengan kasar.             "Alby!" bisik Aster sembari mengangkat tangannya perlahan.             Lelaki itu mengangguk seakan mengerti apa yang hendak Aster katakan. "Berpeganganlah!" balasnya dengan berbisik.             Alby bergegas menginjakkan kaki di atas pedal gas. Membuat motor itu melesat dengan kencang. Tubuh Aster hampir saja terbanting akibatnya. Dia bergegas berpegangan pada Alby, sembari memperhatikan orang-orang asing yang kini mengejar mereka.             Kendaraan milik si orang asing tampaknya jauh lebih canggih dibanding motor polisi Oakland. Dengan mudah orang-orang itu dapat menyusul mereka. Kini dua orang berpakaian sama berada di sisi kanan dan kiri Aster. "Kami peringatkan kalian untuk berhenti!" teriak salah satunya.             "Lebih cepat lagi, Alby!"             "Sedang aku coba!"             "Hentikan kendaraan kalian sekarang juga!" perintah orang yang sama. Entah kenapa terjangan angin yang kencang sama sekali tidak menganggu mereka. Dengan tenangnya orang-orang asing itu berdiri di atas mesinnya tanpa berpegangan kepada apapun. Kaki mereka seakan tertanam di dalamnya.             "Kuperingatkan kalian sekali lagi untuk berhenti!" teriaknya lagi.             Alby dan Aster sama sekali tak menghiraukannya. Hingga akhirnya salah satu pria di sebelah kanan mengeluarkan sesuatu dari balik baju. Sebuah tongkat besi menyeramkan. Aster tahu benar apa fungsi dari benda itu. Sialnya dia merasa sangat menyesal karena harus meninggalkan ranselnya di Nibbana.             Tiba-tiba, lelaki dengan tongkat besi menyusul motor Aster dan pergi ke bagian depannya. Membalikkan badan menjadi berhadap-hadapan dengan Alby. Hal tersebut tentu membuat lelaki berambut pirang itu terkejut, dan berusaha menghindar. Hanya saja masih ada kawanan mereka yang langsung mengepung di bagian samping serta belakang motor.             Lelaki yang ada di hadapan Alby mengayunkan besinya sekuat tenaga mengenai kepala Alby. Tentu saja serangan itu pasti memberikan rasa sakit yang luar biasa. Alby kehilangan kendali pada motornya. Tangannya memegangi kepala yang terkena pukulan. Darah merah mulai mengalir membasahi wajah tampannya.             "Alby! Kamu baik-baik saja?" teriak Aster panik.             Seseorang yang ada di sebelah kanan menendang tubuh Aster hingga terbanting. Tangannya tak sempat meraih sesuatu untuk dijadikan pegangan. Dengan cepat tubuh Aster membentur permukaan laut yang mulai menelannya perlahan.             Aster memang suka laut, tapi dia tidak suka jika harus berhubungan dengannya langsung. Dia masih belum bisa berenang. Mungkin sampai kapanpun dia tak akan pernah bisa.             Bayangan masa lalu kembali bermunculan. Rasa asin yang sama seperti tempo hari kembali terasa dilidahnya. Rasa perih yang sama. Mungkin setelah itu Edy akan segera berenang ke arahnya, seperti yang pernah dilakukan pada waktu menyelamatkan Aster tempo hari. Meski mustahil, namun gadis itu tak pernah berhenti berharap seperti itu.             "Tolong aku, Edy..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN