Chapter Enam

2355 Kata
            Jarum jam berdetak beraturan. Membuat menit-menit berlalu, dan hari berganti. Semalaman Aster hanya memandangi langit-langit kamar. Menghitung tiap detik yang terdengar nyaring dalam kepala. Padahal bunyi itu hanya berasal dari jam tangannya saja. Namun keheningan malam membuat suara-suara yang ada menjadi terdengar semakin nyaring.             Mata gadis berambut panjang itu tak kunjung ingin terpejam. Tapi kakinya pun terlalu lelah untuk melangkah menuju ladang bunga. Setidaknya jangkrik yang berbunyi di luar rumah tak membiarkannya merasa menjadi satu-satunya yang terjaga sedari malam.             Tatapan mata Aster tampak kosong, namun kepalanya tak pernah begitu. Terlalu banyak hal yang selalu dipikirkan. Kali ini dia tengah memantapkan hati untuk mewujudkan keinginannya untuk berlayar. Meski Alby melarangnya dengan halus, tapi keinginan yang ada jauh lebih kuat untuk bisa melawan hal itu.             Aster memiringkan badan, menghadap ke arah pintu. Dia melihat sepatu boots yang begitu bersih mengilap. Untuk apa aku mempersiapkan benda itu jika pada akhirnya tidak akan kugunakan? Tanyanya kepada diri sendiri. Hal itu memantapkan hati Aster untuk membuat sebuah keputusan. Setelah fajar menyingsing, dia bertekad untuk memulai pelayaran. Seorang diri. Tanpa ditemani siapa-siapa, bahkan Alby sekalipun. Aster tak ingin membuat orang lain terluka hanya karena keegoisannya sendiri. Karena misi kali ini merupakan pemikirannya seorang diri, maka dia pulalah yang harus menanggung semua resiko yang ada.             Aster bangkit dari tidurnya. Dia berjalan menuju meja, meraih ransel miliknya. Satu persatu barang yang dirasa perlu dimasukkan ke dalam ransel tersebut. Peta, kompas, buku, pensil, beberapa stel pakaian, dan yang terpenting makanan. Tampaknya Aster memerlukan lebih dari sekedar sebuah roti dan sebotol air. Tapi, karena dia berencana untuk berlayar menggunakan perahu, jadi hal itu tak perlu dikhawatirkan. Yang cukup membuat kekhawatiran adalah keharusan meminta izin saat hendak keluar dari Nibbana. Sebelum berangkat, dia harus menemui Sarah untuk melaporkan rencananya, meminjam sebuah perahu, serta meminta beberapa makanan untuk persediaan.             Apa yang akan Sarah katakana setelah mendengar niatanku nanti ya? Apa dia akan mengizinkanku pergi?             Aster mulai tidak yakin wanita tua tersebut akan memberikan izin dengan mudah. Tapi, dia berpikir untuk tidak menyerah sebelum benar-benar mencobanya.             Semua barang sudah tertata rapi dalam ransel yang dulu dipakai saat bersekolah di akademi militer. Aster melirik jam tangan yang masih tergeletak pada meja kecil samping kasur. Jarumnya menunjukkan pukul lima tiga puluh. Setidaknya dia harus bersabar sedikit lagi hingga pukul enam. Karena biasanya Nibbanian baru mulai beraktivitas disekitaran waktu tersebut.             Tidak ada hal lain yang perlu Aster lakukan selain menemui Sarah. Dia terduduk di atas kasur empuknya. Terdiam menghitung detik yang tak kunjung mempercepat lajunya. Waktu lima menit terasa menjelma menjadi lima jam. Aster tidak bisa hanya duduk menunggu satu setengah jamnya berlalu.             Rasa ketidaksabaran membuat kaki Aster memutuskan untuk melangkah menuju ladang bunga. Kali ini dia membawa serta ranselnya agar dapat langsung pergi setelah itu. Tak lupa dikenakannya jaket yang bertengger di atas kursi sebelum keluar rumah. Udara dingin begitu menusuk namun menyegarkan. Permukaan sepatu boots-nya sedikit basah terkena embun pada rerumputan.             Langkahnya terhenti di hadapan makam Edy. Dia tak meneruskan perjalanan hingga ke atas rumah pohon. Aster lebih suka merebahkan badan di atas rerumputan untuk saat ini, memandangi awan di atasnya. Cahaya mentari sudah mulai bersinar dengan samar. "Aku akan pergi tak lama lagi. Jangan pernah luput memperhatikanku dari atas sana ya, Edy! Terutama jika aku berhasil menemukan kedua orang tuaku," ujarnya pelan.             Secercah doa dan harapan gadis itu panjatkan di depan hamparan bunga aster yang ada. Dia tersenyum karena merasa telah mendapatkan semangat baru untuk mulai melangkah, mewujudkan mimpinya. Dia pasti bisa membuktikan kepada orang-orang bahwa apa yang ada dalam pikirannya bukan sekedar khayalan semata. Sama seperti yang dulu pernah dia lakukan dalam akademi.             "Aku pergi," ucap Aster pelan sebelum akhirnya meninggalkan lading bungan.             Semakin melangkahkan kaki, semakin hilanglah keyakinan yang sudah susah payah dibangun hingga tadi. Kini secuil keraguan menghentikan langkah Aster di depan gedung utama Nibbana. Matanya menatap kayu-kayu yang ada. Menarik napas untuk menelan keraguan tersebut.             Mungkin Sarah akan dengan senang hati memberikan izin. Tapi tidak menutup kemungkinan dia tidak mengizinkannya sama sekali. Jika hal itu terjadi, Aster harus bisa membuatnya berubah pikiran.             "Aster? Sedang apa?" sebuah suara muncul dari belakang. Bianca dan kedua teman barunya memergoki Aster yang sedang tertegun.             "Aku ingin bertemu Sarah. Tapi aku takut dia masih belum bangun."             "Siapa yang belum bangun?" Kini suara Sarah terdengar di depan pintu yang sedang dipunggunginya.             "Nah itu dia. Panjang umur sekali," ucap Bianca sembari tertawa kecil. "Ya sudah kalau begitu, aku pergi dulu, ya." Bianca melanjutkan perjalanan. Sementara Aster membalikkan badan menghadap Sarah.             Baru saja Aster membuka mulut untuk mulai berbicara, Sarah sudah lebih dulu berkata. "Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?"             "I-iya."             "Lebih baik kita mengobrol di dalam. Ayo masuk!"             Wanita tua itu berjalan memasuki bangunan bersama Aster yang mengekor di belakangnya. Dia sama sekali tak berbicara apapun hingga benar-benar sampai di ruangan Sarah.             "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" Sarah duduk di atas kursi empuknya. Dia sama sekali belum mencurigai apapun dari adis yang berdiri di hadapannya itu. "Ayo silahkan duduk!"             "Tidak perlu, terima kasih." Aster tersenyum semanis mungkin meski hatinya mulai berdebar. "Aku hanya ingin meminta izin untuk pergi keluar Nibbana."             "Kamu ingin menemui teman-temanmu di Oakland?"             "Umm, tidak. Maksudku aku tidak pergi ke Oakland. Aku ingin berlayar ke suatu tempat."             Sarah sedikit terdiam, sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu yang entah apa. Mungkin juga dia sudah merasakan hawa aneh yang terpancar dari sang tamu. "Begitu ya. Kalau boleh aku tahu, kamu ingin berlayar kemana?             Aster mulai terlihat kebingungan harus menjelaskan seperti apa. Sesaat dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tidak tahu. Aku pun belum tahu tempat yang ingin kukunjungi. Oleh karena itu, aku bermaksud untuk menemukan tempat tersebut, di mana pun dia berada. Mungkin untuk waktu yang tidak bisa aku tentukan."             "Dengan siapa kamu akan pergi?"             Aster masih merasa ragu untuk menjawab pada awalnya. "Sendiri. Aku tidak ingin memaksa orang lain untuk mengikuti keinginanku. Tapi aku yakin bisa melakukannya seorang diri," jelasnya. Dia melirik ke arah wanita di hadapannya yang masih terdiam. Menunggu sebuah jawaban dengan sedikit berdebar. "Jadi, apa aku mendapat izin?" tanyanya dengan tidak sabar.             "Tidak," jawab Sarah mantap.             "Kalau begitu, aku akan mengajak beberapa orang. Mungkin Alby, atau Johan, atau yang lainnya."             "Tetap tidak."             "Kenapa?" nada bicara Aster penuh dengan kekecewaan.             "Aku tidak ingin membiarkanmu melakukan perjalanan yang tidak tahu akan memakan resiko seperti apa. Kamu tidak tahu apa yang ada di dalam lautan. Bahkan kamu pun belum tahu kemana tujuanmu itu."             "Itu bukan masalah. Dengan cara yang sama buktinya aku bisa menemukan Nibbana seorang diri!"             "Saat itu kamu beruntung dapat lolos dari berbagai ancaman yang ada. Tapi kali ini bisa saja kamu tidak akan pernah kembali lagi. Aku tidak ingin membiarkan hal itu terjadi."             "Tapi..."             "Cukup! Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi. Lebih baik kamu segera kembali ke rumah! Sepertinya matamu itu butuh lebih banyak istirahat."             Semua perkataan yang ingin dilontarkan kembali tertelan oleh kesia-siaan yang dirasakan Aster. Dia pergi tanpa berkata apapun lagi. Hanya kekesalan yang bertumpuk dalam hati. Tidak peduli dia telah lancang meninggalkan Sarah bergitu saja tanpa permisi. Yang jelas amarahnya sudah tidak dapat terbendung lagi.             Aster menjejakkan kakinya pada tanah dengan sangat kasar. Napasnya menggebu-gebu menahan emosi. Dia berjalan entah kemana. Melewati orang-orang yang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya.             Dari kejauhan, Erik yang saat itu tengah membawa balok-balok kayu di atas bahu, menangkap kehadiran Aster. Dia melihat gadis itu sedang tidak dalam kondisi prima. Langsung saja lelaki tersebut mencegat jalan Aster setelah menaruh kayu pada tempatnya.             "Wow, wow, mau kemana? Terburu-buru sekali."             "Menyingkir Erik! Aku sedang tidak ingin bercanda," sahut Aster sinis.             "Sepertinya kamu sudah bersiap akan pergi ke suatu tempat?"             "Ya. Rencananya seperti itu kalau saja Sarah tidak melarangnya."             "Mau menjelajah lagi, hah?" Erik sedikit tertawa karena hanya bermaksud menerka-nerka apa yang akan dilakukan Aster. Tanpa tahu bahwa hal itulah yang menjadi rencana sesungguhnya.             "Iya," jawab Aster singkat. Membuat Erik tidak lagi menganggap lucu perkataannya tadi.             "Kupikir kamu sudah berubah." Aster hanya terdiam sembari membuang muka. Erik tahu teman perempuannya itu sudah mulai merasa ingin pergi menjauh darinya. "Alby tahu tentang ini? Kurasa dia pun akan satu pemikiran dengan Sarah."             "Mungkin tahu. Mungkin juga tidak."             Erik sedikit terdiam, tidak menangkap maksud perkataan Aster. Sebuah kebetulan matanya menangkap kehadiran Alby tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dia bergegas berteriak memanggil temannya itu. "Alby!"             Aster merasa keadaan akan lebih buruk karena Erik memanggil Alby tanpa seizinnya. Dia berdecak keras dengan penuh kekesalan. "Kamu benar-benar tidak berniat menyelesaikan masalah!"             "Hai! Jarang sekali aku melihat kalian bersama," ujar Alby dengan sedikit keheranan. Aster yang memalingkan wajah semakin menimbulkan rasa aneh pada benaknya.             "Tebak apa yang ingin dilakukan pacarmu hari ini. Dia ingin kembali menjelajah seorang diri," jelas Erik sembari melipat tangannya di depan d**a.             Alby sedikit terlonjak mendengar berita tersebut. "Apa?!"             "Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin mendengar ceramah atau apapun itu!"             "Aku pikir kamu mengerti apa yang aku katakan kemarin?!"             "Cukup, Alby!"             "Kenapa kamu masih saja keras kepala seperti ini?"             "Apa kamu tidak mengerti kata-kataku barusan? Aku sedang tidak ingin membicarakannya!"             "Aku perlu mendengar penjelasan darimu."             "Sepanjang apapun kata-kata yang aku ucapkan tidak akan bisa membuatmu mengerti!"             "Tapi aku berhak mengetahui apa yang sebenarnya akan kamu lakukan!"             Pasangan itu saling bersahutan di hadapan Erik yang terdiam. Untuk kali ini Alby sedikit tak bisa membendung emosinya lagi. Terutama Aster yang benar-benar sudah tak bisa mengontrol perasaannya sendiri. Tak peduli siapa yang ada di hadapannya, saat ini semua orang tampak menyebalkan dalam matanya.             Alby masih terus berbicara dengan nada tinggi. Membuat Aster merasa ingin bergegas berlari meninggalkan tempat itu. Berlari sejauh-jauhnya, tak peduli ke mana arah tujuannya. Bahkan di sarang beruang pun akan menjadi tempat yang lebih baik.             "Kamu sama saja dengan mereka!" kalimat tersebut menutup kata-kata Aster. Dia membiarkan ranselnya terjatuh ke atas tanah. Lalu mulai berjalan menjauh dengan sangat cepat. Tak peduli Alby memanggil-manggil namanya untuk memintanya kembali.             Air mata Aster mengalir lebih cepat daripada langkah kakinya. Dia berjalan menuju ke hutan. Menyusuri sungai hingga keramaian desa sudah tak terdengar lagi.             Alby meraih ransel Aster dengan kasar dari atas tanah. Masih berusaha mengembalikan emosi seperti sedia kala dengan susah payah. Napasnya pun masih belum beraturan.             "Sepertinya kamu terlalu keras kepada anak itu." Erik belum pernah melihat Alby yang selalu tenang berwajah seperti sekarang.             Alby menghela napas panjang. Membuang semua kekesalan bersama hembusan napasnya. "Terkadang dia bisa jadi sangat keras kepala."             "Jika tidak seperti itu, berarti perempuan tadi bukan Aster." Erik menepuk punggung Alby seraya menenangkannya. "Bukankah kamu lebih mengenalnya dari siapapun?"             Lelaki berambut pirang itu hanya tertunduk memikirkan kata-kata yang didengar. Dia tengah beradu argumen dengan dirinya sendiri di dalam hati.             "Biar aku bawa itu. Ada hal yang harus kamu lakukan." Ransel Aster direnggut dari genggaman Alby. Erik hanya memberikan isyarat bahwa sahabatnya itu lebih baik menyusul Aster sebelum berjalan terlalu jauh.             Alby hanya mengangguk sebelum akhirnya pergi. Hatinya sudah jauh lebih lega daripada beberapa saat lalu. Dia memang lihai dalam mengatur perasaan. Hampir bertolak belakang dengan kekasihnya itu.             Suasana semakin sunyi senyap seiring langkah Alby memasuki hutan. Kemarahan membuat kaki Aster meninggalkan jejak sepatu boots-nya di atas tanah lembab. Diikutilah jejak tersebut. Membuat suara tangisan sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Tidak kencang, namun cukup jelas. Keheningan hutan membuatnya seperti itu.             Setelah mengikuti darimana arah suara tangis yang didengarnya berasar, Alby melihat seorang gadis tengah terduduk menenggelamkan kepala di antara kedua lututnya. Menangis dengan sesegukkan. Rambut bergelombangnya masih saja terlihat indah. Padahal jelas-jelas pemiliknya sedang dilanda duka. Alby segera membuang pemikiran yang seenaknya datang itu.             Suara tangisan perlahan menghilang. Tampaknya Aster menyadari kehadiran seseorang yang sudah pasti Alby. Lelaki itu berjalan mendekat. Berjongkok tepat di sebelah kanannya. Namun badannya dibiarkan tetap menghadap ke arah yang sama dengan Aster.             Alby memainkan jarinya. Sembari berpikir harus berkata seperti apa. Wajah Aster sedikit terangkat meski masih belum sanggup menatap Alby. Begitu pula dengan Alby. Dia masih terlalu bingung.             "Maaf," ucap mereka hampir bersamaan. Membuat keadaan semakin canggung dari sebelumnya.             "Kau duluan," ucap Alby.             "Aku terlalu keras kepala. Tanpa sadar sikapku membuat banyak orang khawatir. Tapi aku sudah mengerti sekarang." Aster terdiam beberapa saat. Sepertinya dia sudah selesai dengan kata-katanya.             "Aku pun sama. Aku tidak sadar sudah membuat orang didekatku merasa kecewa karena keegoisanku sendiri. Aku melarangmu untuk melakukan sesuatu yang kupikir berbahaya karena tidak ingin kamu terluka pada saat hal itu benar-benar terjadi." Alby sedikit menertawakan dirinya sendiri. Bukan nada tawa yang menyatakan bahwa perkataannya lucu. Melainkan perasaan malu, kesal terhadap diri sendiri, merasa konyol, dan hal lainnya yang bercampur jadi satu.             "Kamu mau memaafkanku?"             "Hanya jika kamu juga memaafkanku." Alby memperlihatkan senyum terbaiknya. Hal itu membuat perasaan Aster menjadi lega seketika.             Alby membantu Aster berdiri. Memeluknya dengan sekuat tenaga, tanpa berkata-kata. Tapi perasaan sayangnya benar-benar tersampaikan sepenuhnya.             "Sepertinya kita harus melakukan sesuatu," ujar Alby.             "Bukannya kamu masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan?"             "Erik yang menyuruhku ke sini mengejarmu. Jadi, kurasa dia harus mau mengerjakan bagianku juga."             Aster pun tertawa, sudah melupakan rasa kesal yang sempat menguasai hatinya beberapa saat lalu. "Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?"             "Kita akan berlayar di atas awan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN