6. Payment

2208 Kata
Panas matahari mulai menyengat. Sinarnya menembus jendela kaca, tempat dimana gadis kecil itu termenung. Kepalanya menempel erat ke dinding. Piyama tidur yang semalam membalut tubuhnya, berganti dengan kaos santai berwarna kuning gading dan jeans selutut setelah ia dimandikan oleh pengasuhnya. Rambut panjangnya yang setengah basah, terurai menutupi seluruh punggungnya. Tangannya memeluk boneka kelinci kecil yang diberi nama Momo, pemberian sang ibu sebagai hadiah ulang tahun yang ke dua. Replika makhluk berkuping panjang itu, terlihat lusuh dan kucel. Bulunya sudah mulai jarang dan di beberapa bagian hampir tercerabut dari akarnya. Setiap kali ibunya mengganti boneka tersebut dengan yang baru, ia masih tetap mencari Momo sebagai teman mendengar dongeng pengantar tidur, lalu menemaninya dalam pelukan sampai esok pagi. Semenjak subuh tadi, suasana di rumah mewah tersebut mendadak sibuk. Terdengar suara kepala asisten rumah tangga memberi instruksi pada bawahannya dengan intonasi tertahan. Barangkali agar sang nona kecil tidak terganggu. Namun begitu, Lio kecil dapat menangkap aura tegang dalam ekspresi orang-orang tersebut. Beberapa pelayan berlalu-lalang di lorong di depan kamarnya, sambil sesekali mengintip ke dalam dengan tatapan iba. Sebentar lagi, ia akan di jemput sang paman dan rumah ini akan di kosongkan sampai waktu yang tidak ditentukan. Asisten rumah tangga yang bekerja di sana sudah mengepak koper dan bersiap-siap untuk di pulangkan. Gadis itu bertanya-tanya, kenapa bukan ayahnya yang datang menjemput. Ia terus menunggu dalam beberapa hari dan pria itu tak sekalipun datang. Ia bahkan sering bermenung di samping meja telepon. Tangannya segera menyambar gagang telepon saat benda itu berdering dan seketika kecewa begitu yang bicara bukan sang ayah. Terakhir kali pria itu di sini, memarahi ibunya yang bersujud di lantai kamar dengan berurai air mata. Lio kecil mengintip dari balik pintu dan menutup mulutnya saat sang ibu memekik nyaring sambil memegang pipinya. Telinganya menangkap kata cerai yang saat itu tidak ia mengerti apa maksudnya. Ia rindu dibacakan cerita sebelum tidur oleh sang ibu yang telah pergi. Sang ayah teramat sibuk hingga tidak sempat bercengkrama dengannya sebelum tidur. Dalam beberapa hari ini, hanya pengasuh yang menemani dan membacakan cerita dengan mimik yang tak seceria biasanya. Pintu kamarnya terbuka lebar meninggalkan suara berderit samar. Liona menolehkan kepala dan tersenyum. “Tante Wina!” Wajahnya dalam sekejap berseri-seri. Selain dengan ibunya, ia cukup dekat dengan Wina, isteri pamannya, Frederick. Wina mendekat dan meraih gadis itu dalam pelukan. Jemarinya mengusap rambut panjang Lio. “Hai Sayang.”  “Papa mana, Tante?” tanya Lio lirih. Wina mengangkat kepala menoleh pada suaminya. Ia sekuat tenaga menghalau airmatanya yang menggenang. Sedangkan Frederick masih berdiri dengan raut datar menyembunyikan perasaannya. “Papa lagi kerja di luar kota, Sayang. Tenang saja, nanti Papa pasti datang menjemput Lio, kok.” Wina tersenyum menutupi kebohongannya. Ia menyelipkan rambut panjang keponakannya ke samping telinga. “Lio ikut dengan Om dan Tante, ya?” Liona terdiam. Ia dilema. Ia tidak ingin meninggalkan rumah sejuta kenangan tempat ia dibesarkan. Namun, sang ayah tak kunjung datang menjemput, sedangkan ibunya juga sudah pergi meninggalkannya. Ia terpaksa mengangguk. Wina menghembuskan napas lega dan membimbing tangannya keluar dari kamar. Wanita itu memerintahkan salah seorang pelayan untuk membereskan barang-barang Liona. Gadis kecil itu membuka pintu kamar orang tuanya seraya memeluk Momo erat-erat. Tempat itu telah dibersihkan oleh para pelayan. Matanya menerawang menyapu segenap isi kamar. Pandangannya jatuh ke atas nakas. Ia melangkahkan kaki kecilnya dan menatap sebuah pigura di mana mereka bertiga tersenyum bersama dalam keabadian. Ia meraih pigura itu lalu membawanya ke dadanya. Belasan koper telah berada di luar rumah. Semua pelayan yang ikut dipulangkan, memeluknya bergantian dengan menahan air mata. Ia tidak mengerti mengapa semua orang bersedih. Suster pengasuhnya tak kuasa menahan tangis dan memeluknya sesenggukan. Liona kecil tak putus-putus menoleh ke belakang, menatap rumah megah dan mewah tempat ia di besarkan hingga berumur enam tahun. Banyak kenangan tercipta di sana. Meski ia belum begitu mengerti dengan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, yang ia tahu, dirinya telah ditinggalkan. Rumah tersebut semakin lama semakin mengecil lalu menghilang di tikungan. Ia terus memeluk Momo ke dadanya, bersamaan dengan pigura kecil yang tadi ia ambil. Hanya dua benda itu kenangan yang tersisa. Telinganya sayup-sayup mendengar penghiburan dari Wina. Sesekali wanita itu mengoceh dengan suaminya, menyebut-nyebut perihal mengurus kepindahannya ke sekolah yang baru. *** Mata wanita itu menerawang kosong menembus jendela mobil yang ia tumpangi. Sengaja malam ini ia tidak membawa mobil sendiri menuju tempat acara melainkan memakai jasa taksi online. Gaun ketat yang hampir menyapu lantai dan kedua kaki memakai heels tinggi, menyulitkan pergerakannya. Liona sesekali tersenyum miris mengenang nasibnya yang tak seberuntung gadis lain. Ia ingin bebas, lepas menentukan hidupnya sendiri. Meski Frederick dan Wina menyayanginya, tetap saja ia merasa ada sekat tak kasat mata yang membatasi mereka dan membelenggu langkahnya. Apalagi dirinya terlahir sebagai perempuan yang dalam keluarga besar mereka tak begitu diperhitungkan eksistensinya. Posisinya sebagai CEO tidak lama lagi akan terdepak, begitu Erland, sepupunya yang merupakan putera satu-satunya Frederick, menyelesaikan pendidikannya di Inggris dan bersiap diserahi tampuk kepemimpinan. Sementara Yori, sepupu perempuannya, setelah lulus kuliah akan segera menikah dengan jodoh pilihan orang tuanya. Para wanita dalam keluarganya seolah hanya dijadikan alat untuk memperbesar kerajaan bisnis. Hanya Lio yang bersikukuh menolak dijodohkan dengan Costa meski ia telah mengenal pria itu cukup lama. Walaupun Costa sangat baik dan sering hadir mendengar keluh kesahnya, sama halnya dengan Tama, Lio tak pernah punya perasaan lebih untuk pria yang hanya ia anggap sebagai teman itu. Ia terus saja menutup hati dan berharap pada Samudera. Terkadang rasa jenuh itu tiba. Ia lelah terus menunggu. Sampai umurnya saat ini berkepala tiga dan Frederick semakin tidak sabar menikahkannya dengan Costa, Lio merasa telah membuang-buang umurnya demi cinta tanpa balasan. Tragis memang! Liona sadar ia harus membalas budi baik Frederick yang telah membesarkannya dan memberinya kehidupan yang teramat layak. Seperti saat ini misalnya, untuk kesekian kali ia harus rela dijadikan pion untuk memenangkan tender bisnis bernilai miliaran, sekaligus sebagai bayaran atas permintaan konyolnya pada Frederick yang menekan Sam agar menikahinya. Lio hanya bagaikan penumpang kereta, yang kapan diminta, harus membayar karcis atau mesti siap diturunkan di mana saja. Tidak ada makan siang gratis, meski dalam keluarga sendiri. *** Ia merapikan gaunnya memasuki tempat acara. Tangannya memegang tas tangannya erat-erat. Heels yang ia kenakan tiba-tiba terasa amat sempit dan menyesak di jari-jari kakinya. Napasnya berhembus tak beraturan. Di kejauhan ia melihat Costa bersama ayahnya. Lio mengangkat tas tangannya dan berbelok ke kiri menutupi wajahnya. Costa sendiri adalah pewaris perusahaan besar milik ayahnya. Pantas saja Frederick getol menjodohkan mereka. Kolaborasi bisnis kedua perusahaan itu akan menghasilkan pundi-pundi yang tak sedikit. Sesekali Liona berpikir, apa gunanya punya banyak uang tapi pergerakan terbatas dan hidup dalam kebahagiaan semu dan batin merana? Senyuman lebar yang ditampakkan di luar hanyalah topeng dari dongeng maha sempurna. Tapi di dalamnya, menyimpan borok yang sudah membusuk dan bernanah. “Hallo, apakah Anda miss Harald?” sapa seorang pegawai hotel yang mengenakan tuxedo menyapanya sopan. Liona mengangguk samar.  “Silakan lewat di sini, Nona,” ajaknya sembari membungkuk menunjukkan jalan menuju private room tempat lelang proyek di laksanakan. Lio duduk di sebelah partner bisnis Frederick yang berkali-kaki mengerling kurang ajar padanya. Pria menjijikkan berperut tambun itu sesekali mengelus lengan telanjangnya yang mau tak mau harus ia tahan dengan gigi bertaut geram dan senyuman tipis yang dipalsukan. Liona bergidik ngeri. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Kata-kata penuh penekanan dari Frederick yang diputar berulang seperti kaset usang, terngiang-ngiang di telinganya. “Kamu harus melakukan apa saja untuk memenangkan tender tersebut. Anything! Dua jam lelang di laksanakan. Perusahaan partnernya berhasil memenangkan tender yang secara langsung berpengaruh pada perusahaannya yang terlibat secara penuh mengerjakan proyek tersebut. Liona menghembuskan napas lega. Ia berdiri dan bersiap-siap melenyapkan diri sebelum terjebak lebih lama lagi di sini. Setelah berbasa-basi sebentar, baru dua langkah ia berjalan, seseorang memanggilnya dari belakang. “Nona Liona!” Liona menghentikan langkah dan menoleh lagi ke belakang. Pria berperut buncit tadi menatapnya genit. “Ya? Ada yang bisa saya bantu, Sir?” sahutnya memaksakan senyuman ramah. Pria itu mengibaskan tangan membalas tersenyum. “Ah, saya hanya punya beberapa titipan untuk paman Anda. Bisakah Anda ikut dengan saya sebentar?” Liona mengambil napas tertahan. “Tentu saja.” “Mari, ikuti saya.” Mereka masuk ke dalam lift. Pria itu menekan angka menuju empat lantai di atasnya. Sebelum pintu lift menutup sempurna, seorang wanita dan seorang pria yang mengenakan masker dan bertopi hitam bergegas ikut masuk mengambil tempat di pojokan lift. Liona mengikuti langkah si tambun tersebut menuju deluxe room yang cukup besar. Pria itu mengambil sesuatu dari dalam koper dan mengulurkannya pada Liona. Sebelum tangan Lio mengambil berkas tersebut, pria itu menariknya kembali sembari menyunggingkan senyuman licik. “Tidak semudah itu, Nona.” “Apa maksud Anda?” balas Lio heran. “Anda diutus Frederick bukan hanya untuk menemani saya selama dua jam di bawah tadi, bukan? Setidaknya, kita bisa mengukir kenangan manis di sini sebelum pulang.” Lio mengerinyit bingung. “Kita bersenang-senang terlebih dahulu,” Ujarnya genit sembari menghempaskan dokumen ke atas nakas. Tangannya bergegas membuka jas dan mendekat pada Liona. Senyuman kurang ajar yang terukir di wajah menjijikkan itu membuat Liona pucat pasi. Ia ketakutan. Saking takutnya, kakinya seolah terpaku ke lantai tak mampu digerakkan. Dalam hati ia menyumpah-nyumpah dengan bodohnya masuk dalam jebakan murahan seperti ini. Pria itu mengulurkan tangan membelai lengannya. Lio mengibaskan lengan menepis tangan gempal pria itu. Mulutnya mendesis geram. “Jangan kurang ajar, Sir!” “Atau apa?” Pria itu kembali menyeringai di hadapannya. “Tak akan ada yang bisa menolongmu di sini. Frederick telah memberimu padaku untuk dicicipi. Jangan terlalu munafik, nikmati saja!” Lio terkesiap. Kemarahan menjalar dengan cepat ke kepalanya. Plak! Tangan Lio melayang ke pipi pria itu. Ia menarik langkahnya yang terasa amat berat dan mundur perlahan-lahan. Pria itu menggeram marah. Sorot matanya menyala-nyala.  “Kau pikir kau siapa, hah?!” bentaknya mencekal tangan Lio dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. “TOLONG!!!” Lio memekik nyaring. “Tak akan ada yang mendengar suaramu!” Pria itu menghempaskan tubuhnya di atas Liona dan berusaha mencium bibirnya. Lio sekuat tenaga menahan d**a pria itu dan menolehkan kepalanya kesamping berusaha menghindar. Brak! Pintu kamar terbuka kasar. Pria di atasnya terkejut dan menoleh. Raut wajahnya berubah sangar. “Siapa...?” Bugh! Seketika Liona merasa ringan. Beban puluhan kilo terangkat dari tubuhnya. Pria yang tadi menindihnya terkapar di lantai sambil menyumpah-nyumpah mengusap darah dari bibirnya. Liona menggigil ketakutan. Seseorang menarik tangannya berdiri. Ia mengangkat kepala dan melihat pria bermasker serta wanita cantik yang ia temui dalam lift tadi, berada di dekatnya. Pria itu menyeret tangannya keluar dari sana setelah sebelumnya menyambar dokumen di atas nakas dan tas tangan Liona yang terjatuh di lantai. “Lakukan tugasmu!” perintahnya pada wanita yang bersamanya tadi. Liona tidak bisa berpikir. Tubuhnya terasa tak bertulang. Ia mengikuti langkah pria penolongnya dengan langkah tersaruk-saruk menuju lift. Setelah benda itu bergerak turun membawanya, Liona terduduk lunglai di lantai. Lututnya lemas. Ia menggigil duduk di pojokan lift sambil memeluk lututnya. Begitu lift berhenti dan berbunyi, ia mengangkat sedikit kepalanya. Matanya nanar menatap kaki pria itu yang tidak mengenakan apapun sebagai alasnya dan melihat t**i lalat sebesar kelereng menghiasi telapak kakinya. Rasanya seperti dejavu. Ia seperti pernah melihat kaki dengan t**i lalat itu entah dimana. “Ayo!” Pria itu kembali ke dalam dan mengulurkan tangannya padanya. Ia menyambut uluran tangan tersebut dengan gigi gemeletuk hebat. Yang Lio tahu, ia telah selamat dan pasrah saja saat pria itu memapahnya keluar hotel dan menyetop sebuah taksi lalu menyuruhnya masuk. Sebelum pintu menutup, pria itu mengambil berkas dari punggungnya serta tas tangan Lio dan meletakannya di atas pahanya. “Jangan ada lain kali. Saya bukan superhero yang bisa setiap saat menolongmu. Jaga dirimu sendiri!” tegasnya dengan nada suara rendah yang masih bisa didengar jelas oleh Lio. Kembali suara itu seperti pernah ia dengar di suatu tempat. Pria itu menutup pintu taksi dan segera berlalu dari sana. Beberapa detik setelah taksi berjalan, Lio tersadar dan menoleh. Ia bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih. *** Liona sampai di apartemen Tama masih dengan tubuh gemetaran. Unit dua kamar itu gelap gulita pertanda sang empunya belum pulang. Ia menghidupkan lampu dan menghempaskan dokumen serta tas yang ia bawa sembarangan. Tangannya buru-buru melepas sepatunya dan bergegas menyeret langkahnya yang sempoyongan menuju kamar mandi. Gemericik air berbunyi setelah kran dinyalakan. Ia mengambil sabun lalu menggosoknya keras-keras di sepanjang lengannya yang terbuka. Membilasnya, lalu menggosoknya lagi berulangkali sampai kulitnya memerah seakan hendak menghapus jejak menjijikkan yang diberikan pria tadi. Perutnya mual dan melilit. Air matanya bercucuran. Ia mendongak melihat cermin dengan mata buram. Seketika ia teramat jijik dengan dirinya sendiri. Harga dirinya habis sudah. Walau telah berulangkali dijadikan pion bisnis oleh Frederick, sebelumnya tidak sampai sejauh ini. Kali ini sang paman sangat keterlaluan, mengumpankannya pada buaya lapar demi tender bernilai miliaran rupiah. Apakah itu sepadan? Tiba-tiba saja ia ingat perbuatannya yang menghambakan diri di hadapan Sam. Apakah harga diri yang saat ini ia selamatkan, masih berharga di mata pria itu? Atau pria yang kemarin ikut memergokinya? Atau sekretaris yang ia bawa? Ya Tuhan! Lio tergugu pilu. Tubuhnya terasa amat lelah dan ia merosot lemas ke lantai kamar mandi. Kepalanya menunduk dan kedua tangan memeluk lututnya sendiri. “AARGHHHH!!! Ia berteriak nyaring dan menangis tersedu-sedu. Apakah ini harga yang pantas atas cinta tak kesampaian yang ia perjuangkan? Entahlah. Yang jelas, ia lelah. Dan mungkin, inilah saat yang tepat untuk menyerah. Kalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN