5. Preach

1521 Kata
Al bersandar di pinggiran pintu dengan kedua tangan terselip di saku celana. Sorot matanya datar menatap Sam yang tengah terlelap di atas tempat tidur. “Masih belum bangun juga, Bang?” celetuk Ian melongok dari belakang. Ia melihat Al masih setia menunggui adik kesayangan yang belakangan tak lagi diakuinya itu. “Hmm,” gumam Al pendek mengangkat bahunya. “Siram aja!” “Kasihan.” Ian mendengkus. “Huh! Masih kasihan aja sama tuh monyet?”  “Kalian ini kenapa, sih? Ada masalah?” tukas Al bingung. “Gue aja seumur-umur nggak pernah bawa cewek kesini. Lha, dia?” Ian iseng memprovokasi Al. Padahal ia tahu betul, Liona datang kemari bukan atas kehendak Sam. Belum lagi, perkara Lexus yang melayang tempo hari masih membuatnya jengkel. “Masa?” Al mengangkat alis. “Terus, lo kencan dimana?” “Hotel.” Al menatap Ian serius. “Lo kapan mau tobat, sih? Ingat, nanti lo punya anak perempuan, ditidurin sama laki-laki b******k macam ayahnya, lo rela?” Ian terdiam merasa tertohok. Ia cengengesan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Santai saja, Bang, mumpung masih belum nikah.” Al mendengkus. Menasehati Ian ibarat membuang garam ke laut. Percuma. Omongannya hanya masuk di telinga kanan, lalu memantul lagi keluar secepat kilat di tempat yang sama. Pikirannya kembali berkelana pada gadis setengah telanjang yang tadi ia temukan di kamar Samudera. Di luar negeri, ia telah terbiasa melihat teman-teman bulenya mengenakan pakaian kurang bahan, apalagi berbikini ria di musim panas. Kali ini terasa berbeda. Ada denyut tidak rela di hatinya melihat perempuan tadi yang entah apa maksudnya, menelanjangi diri di kamar Samudera. Lamunannya terputus. Matanya menangkap Samudera bergerak duduk dan memijit-mijit kepala bangkit dari tidurnya. Ia segera memasang sorot mata dingin dan menyingkirkan perempuan tadi dari benaknya. Masalah Sam dan adik kandungnya, Fara, harus ia selesaikan terlebih dahulu. Apalagi setelah mendengar pengakuan Ben, perihal sang ayah telah merestui keduanya sebelum Sam berangkat melanjutkan pendidikannya. Al bergidik. Cinta memang terkadang absurd. Setidaknya itulah yang ia lihat pada beberapa temannya yang menemukan jodoh dari jalan yang tak di sangka-sangka. Namun, berjodoh dengan adik angkat sendiri, adakah yang lebih absurd dari itu? Ia geleng-geleng kepala. Sebegitu kuatkah cinta Sam terhadap Fara, sampai rela menunggu tujuh belas tahun, dan sempat terpuruk dalam depresi berbulan-bulan saat ditinggal menikah. Gila! Jika saja Sam menggunakan waktu tujuh belas tahun itu untuk beternak sapi, mungkin saat ini ia telah memiliki ratusan ekor dan menjadi juragan hewan berkaki empat itu dengan omset ratusan juta perbulan, daripada hanya memelihara cinta yang membuatnya jungkir balik, lintang pungkang dipermainkan rasa. Sosok yang diperhatikan semenjak tadi, mengerjabkan mata dan mengangkat kepala memandangnya. Wajah jenaka itu seketika pucat pasi. “Udah sadar lo?” Al menyeringai sinis. Sam berdehem sungkan. “Abang ngapain di sini?” “Pakai nanya lagi! Keluar!” bentaknya sangar. Bahu Sam merosot tajam. Ia menghela napas dan bangkit dari tempat tidur. Langkahnya sempoyongan keluar dari kamarnya. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba sangat mengantuk sebelum mengunci diri di kamar mandi. Dan kini ia harus bersiap-siap, entah itu mendengar khotbah dari Alfaraz, atau harus merelakan wajahnya babak belur sekali lagi. *** “Abang memergoki si Lio tadi,” bisik Ian nyengir lebar. Ia ikut duduk di samping Sam yang bergerak resah bagai pesakitan. Dengan santainya, ia mengunyah kacang telur di mulutnya, seakan mengejek sahabatnya tanpa perasaan. Sementara Al berjalan mondar mandir di depan seraya memegang dagu. “Jadi, lo beneran cinta sama adik gue?” tanya Al memecah keheningan. “Iya, Bang.” Sam mengangguk dan menunduk. Nyalinya ciut. Aura intimidasi Al masih membara meski dalam keadaan normal, hubungan persaudaraan mereka luar biasa dekat. Sikap lancang Sam yang berani mencintai Fara diam-diam di belakang punggung Al, membuat si sulung itu murka. “Omong kosong!” Sam mengangkat kepala. “Demi Allah, Bang! Gue cinta sama Fara!” “Cinta sama adik gue, tapi masih main gila dengan perempuan lain?” tuduhnya sinis. Matanya menatap tajam pada Samudera. “Itu, tidak seperti yang lo bayangkan.” “Dan perempuan itu, siapa?” Sam menceritakan secara garis besar siapa Liona dan hubungan yang mengikat mereka. Al mangut-mangut. Perusahaannya memang bekerja sama dengan perusahaan Frederick. Tetapi, ia memang belum pernah bertemu gadis itu di sana, karena belakangan ia hanya mengutus Fara untuk meeting menyelesaikan proyek mereka. “Terus, ngapain dia disini? Hampir b***l pula.” “Tadinya ngurus kerjaan aja. Pas gue keluar dari kamar mandi, dia udah b***l di depan gue. Masih untung gue bisa kabur.” Al bertepuk tangan. “Hebat banget! Kenapa nggak lo tidurin aja sekalian?” “Gila lo, Bang! Gue nggak serendah itu!” balas Sam marah. Rahangnya mengeras. “Hah! Masa? Lalu, buat apa dia ada disini? Almost naked!” sahut Al ketus. “Sumpah demi Allah, Bang! Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia!” Al menghela napas. Tangannya bersidekap kaku di perutnya. Ia mengambil tempat duduk tepat di depan Sam dan menantang matanya. “Adik gue sudah cukup menderita dengan rumah tangganya terdahulu, Sam. Lo ngerti ‘kan, apa maksud gue?” Sam mengangguk. “Jadi, mau dibawa kemana hubungan lo dengan Fara?” “Gue mohon restu lo untuk menikahinya, Bang.” Al menyeringai. “Bagaimana kalau gue nggak merestui kalian?” “Gue mati saja!” “Eh, kunyuk!” Al menyumpah dan melemparkan bantal ke kepala Sam. Matanya melotot sangar. “Gampang amat mulut lo bilang mati? Udah siap dipanggang api neraka, hah?!” Ian terkekeh. Sam menggaruk pelipisnya. “Lihat mata gue, Sam!” perintah Al. Sam mengangkat kepala. “Apa lo berjanji, nggak akan menyakiti Fara? Apa lo mau berjanji setia padanya, sama seperti Papa setia pada Bunda sampai akhir hayatnya?” Sam membalas menantang mata Alfaraz dan berkata, “Gue janji, Bang.” Al menyandarkan punggungnya. “Ya sudah, kapan lo lamar Fara?” Mata jenaka itu langsung berbinar. “Serius, Bang?” Al berdecak. “Nggak, bercanda!” “Makasih, Bang,” jawab Sam sambil berdiri. “Nggak usah peluk-peluk gue, najis!” Seru Al beringsut dari tempat duduknya. Ian terbahak. Sam kembali duduk di kursinya. Wajahnya berseri-seri seperti habis menang lotre. “Awas lo ya, kalau sampai main serong kayak tadi!” “Sumpah pocong pun gue mau, Bang! Gue nggak ngapa-ngapain, kok!” jawab Sam bersungguh-sungguh. “Jangan berani-berani lo nyakitin adik gue, atau gue gorok leher lo!” ancam Al setelah memberikan restunya. “Nggak akan, Bang. Gue janji. Lagian, gue ‘kan juga adik lo.” “Lo bukan adik gue lagi, ‘kan udah di bilangin kemarin?” “Tapi nanti abis nikah sama Fara, gue ‘kan jadi adik lo lagi, Bang?” Alfaraz terdiam dengan mata menyala seram. Ia mati kutu melawan jago ngeles di depannya. Sam nyengir penuh kemenangan. *** “Lo harus hati-hati sama dia, Sam, siapa namanya tadi?” Al mengulang bertanya. “Liona.,” jawab Sam. “Gue udah resign dari sana, Bang. Frederick memaksa gue untuk menikahi Lio, dan gue menolak.” Al menoleh kaget. “Hmm? Seberapa dekat sih, lo sama dia sebelumnya?” “Kok pertanyaan lo detail amat sih, Bang?” celetuk Ian tiba-tiba curiga. “Detail gimana? Wajar dong, gue pengen tahu. Kalau dia nekat lain kali ngerusak hubungan Sam dan Fara, gimana?” ujar Al membela diri. Cause seems like her eyes belong to someone I knew, batinnya. “Iya, sih. Calon pelakor,” sahut Ian. Al mengerinyit. “Pelakor? Apaan, tuh?” “Perebut laki orang.” Ian mendelik. “Masa itu aja nggak tahu sih, Bang? Udah jadi tren di media sosial.” Al balas mendelik. “Gue nggak punya media sosial. Wasting time. Cuma emak-emak yang bentar-bentar buka medsos.” “Lo ngatain gue emak-emak?” “Lo ngerasa? Baguslah!” “Anjir!” Ian melotot dan menoleh pada Sam. “Apa salahnya sih, punya media sosial?” Sam mengangkat bahu. “Gue juga nggak punya media sosial.” “F*ck!” Ian menyumpah. *** Al sampai di apartemennya dini hari. Ia mengguyur tubuhnya yang lengket-lengket di bawah shower air panas lalu beranjak ke kamar hendak memejamkan mata. Sekian menit berlalu, kantuk itu tak jua datang. Ia bergerak resah di atas tempat tidur. Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang pada gadis yang ia temui sekilas tadi sore. Mengingat gadis itu, bukan hanya tubuh sintal itu yang membuat darahnya berdesir. Namun sepasang mata indah yang menyorot tajam, dengan sebuah t**i lalat kecil di bawah alisnya. Mata itu menyeretnya kembali ke pusaran waktu di bawah lautan Larnaka, tujuh tahun yang lalu saat ia nyaris saja mati konyol dan mendapat gelar almarhum di depan namanya. Mata itu juga yang membuat jantungnya kala itu berdebar tak karuan hingga mempercepat habisnya gas dalam tangki udaranya. Setelah sekian tahun berlalu, wajah gadis itu tak lagi jelas di ingatan, hanya berupa kelebatan samar saat sang gadis ikut ambruk di depannya akibat pengaruh nitrogen. Apalagi saat itu, kesadarannya timbul tenggelam dan penglihatannya berkunang-kunang. Dua jam setelahnya, ia terbangun di kamar dekompresi dan tidak menemukan siapa-siapa. Al mengusap ponselnya dan mengetik pesan di benda pipih tersebut. [Juna, lo punya koneksi di Imigrasi?] Satu menit kemudian ia mendapat balasannya. [Nggak ada. Buat apa?] Al tidak menjawab lagi dan memilih memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN