“Panggil Atha ke ruangan saya!” perintah Al pada sekretarisnya lewat interkom.
“Baik, Pak,” sahut Dian. Ia beranjak menuju ruangan para drafter dan memanggil Athalia yang sibuk menggambar ke ruangan Alfaraz.
Semenjak kena semprot tempo hari, Dian tak berani lagi mendekati bosnya tersebut. Harapannya musnah. Ternyata, label 'Awas Anjing Galak' yang tercetak tanpa tinta di kening Alfaraz, bukan isapan jempol belaka. Meski ganteng, apa gunanya jika hanya membuat jantung berhenti bekerja tiba-tiba.
Ia hanya berusaha mengerjakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Menimimalisir kesalahan atau harus kena pecat seperti ancaman Athalia dan beberapa karyawan lain. Cukup sudah ia mendengar gunjingan tentang nasib sekretaris sebelumnya di sana yang tak pernah mulus seperti kulit oppa Korea.
Tok tok tok!
“Masuk!” seru Al tegas. Ia mendongakkan kepala melihat Thalia melenggang masuk dengan langkah tak bersemangat. “Kenapa kamu, Tha? Capek?” sindirnya.
“Ih, tumben Pak Bos perhatian?” kata gadis itu mencibir.
“Siapa yang perhatian? Ge-er!” jawab Al ketus. “Mana gambar yang saya minta?”
Thalia menyodorkan gulungan kertas ukuran A3 berisi gambar rancangan yang dimaksud. Ia telah bekerja tiga hari ditambah lembur sampai pukul sebelas malam demi mengerjakan ini. Jika si perfeksionis di depannya masih menolak pekerjaannya, lebih baik ia mundur saja dan mencari pekerjaan di tempat lain, yang ia jamin saat ini tidaklah mudah. Apalagi, kantor ini menggajinya di atas rata-rata bayaran para drafter pada umumnya, di tambah bonus jika proyek mereka sukses.
Sisi positifnya, Al bukan tipe pimpinan serakah yang meraup keuntungan untuk dirinya sendiri, melainkan melebihkan bonus pada tim yang telah bekerja keras. Para karyawan betah bekerja dengannya karena hal tersebut. Meski mulutnya pedas dan mereka dituntut bekerja se disiplin mungkin.
“Kenapa masih ada kesalahan?” sungut Al memijit-mijit keningnya.
“Salahnya dimana lagi sih, Pak Bos?” keluh Thalia. Bahunya merosot tajam. Ia menekuk wajahnya mengharap simpati dari Al. Jangan sampai ia lembur lagi hari ini atau rencana yang telah ia susun gagal berantakan.
Al meraih pensil dari atas meja. Keningnya berkerut sembari mencoret-coret gambar rancangan yang ada di tangannya.
“Perbaiki! Saya tunggu dalam dua jam!” tegas Al sambil mengulung kembali kertas tersebut lalu mengulurkannya ke tangan Thalia.
Gadis itu melotot. “Alamak, Pak! Satu jam lagi sudah jam pulang kantor, lho! Masa saya harus lembur lagi?”
“Kerjakan atau kamu saya pecat!” balas Al garang.
“Benerin ini lama lho, Pak!”
“Benerin itu doang, kok bisa lama? Masih untung saya kasih kamu waktu dua jam. Kalau kamu kerja di Jerman, sudah dipecat kamu!”
Thalia mencebik. “Susah memang punya bos jomblo. Makanya nikah, biar nggak tegangan tinggi terus. Kasihan tuh, emosinya nggak tersalurkan!” rutuknya kesal.
Al mendelik sebal. “Apa hubungannya sama status saya?”
Ia bosan terus-menerus disinggung tentang kejombloannya yang sering dipertanyakan. Bahkan karyawannya ada yang berani bergosip ria di belakangnya, mengatakan bahwa ia mengidap penyimpangan seksual alias penggemar kaum berbatang.
Thalia membungkukkan tubuhnya dan berbicara setengah berbisik pada Al. Di kantor ini, hanya dirinya yang berani berargumen dengan sang pimpinan. Sedangkan karyawan lain, lebih memilih menghindar sebelum mendapat semburan mulut pedas pria itu.
“Si Dian kayaknya naksir Bapak, deh!” bisiknya pelan.
Al mengangkat alis. “Lalu? Penting, gitu?”
“Sikat saja, Pak! Mumpung masih ada yang mau sama Bapak.”
“Kamu pikir saya nggak laku?” ketus Al.
Thalia mendengkus. “Kalau Bapak laku, mana mungkin sampai sekarang masih jomblo?”
“Belum ada yang cukup qualified jadi isteri saya,”
“Idihh, sombong amat!” Thalia mencibir.
“Lagipula, saya nggak suka tipe perempuan macam si Dian itu. Bentar-bentar mewek, dibentak dikit nangis, dimarahin ngambek. Kamu mau kepala saya cepat botak? Saya butuh perempuan cerdas yang bisa saya ajak berdebat.”
“Memangnya Bapak cerdas?” Thalia mengangkat alis.
Al bersidekap. “Oh, jelas! Menurutmu?”
Thalia bergidik. Ternyata selain bertegangan tinggi, bos nya ini juga mengidap penyakit over percaya diri dan narsisme tingkat kronis. “Jangan terlalu memilih, Pak Bos. Takutnya situ keburu karatan sebelum laku!”
“Apanya yang karatan?”
“Ya barangnya Pak Bos, lah!”
“Barang apa?”
Thalia menghentakkan kaki. “Ah, sudahlah! Susah ngomong sama alien!” decaknya berlalu pergi sambil bersungut-sungut. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya setidaknya sampai jam enam nanti sebelum rencana kencannya harus batal dan ia diputuskan oleh pacarnya untuk kesekian kali.
“Dasar perempuan!” Al mendengus masam dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Jarinya bergerak lincah memainkan mouse di depannya. Sesekali ia mencondongkan tubuhnya mendekatkan mata ke monitor besar berlayar datar tersebut.
Katakanlah ia polos akut dan akibat kepolosannya ia sering diejek oleh saudara-saudaranya. Bila para lelaki berkumpul, kebanyakan ia lebih memilih mengusap-usap iPad. Apalagi, ketika mulut-mulut maskulin itu bergosip layaknya perempuan, ia lebih memilih menghindar sehingga ia buta dengan istilah-istilah kekinian yang menjurus ke bagian pribadi itu. Apalagi, Al bukan penggemar acara televisi khas negeri ini yang lebih banyak membahas gosip artis dan sinetron ala emak-emak yang tak ada habisnya.
Ia tinggal lama di luar negeri dengan gaya hidup selurus mistar. Waktu yang ia punya di Jerman sana, sebagian besar digunakan untuk belajar dan bekerja.
Di akhir minggu, biasanya ia mendatangi klub bilyar dan bermain bola sodok tersebut sampai tengah malam. Itupun, bukan dilewati bersama perempuan-perempuan seksi seperti dalam serial TV. Al lebih memilih bergabung dengan para pensiunan uzur yang tangannya terkadang sudah gemetaran memegang stik. Bukan karena apa-apa, bergabung bersama anak muda yang bermain bersama para perempuan di sampingnya, dapat merusak kadar imannya yang tak seberapa.
Jika Sam mahir memetik gitar, Al lebih memilih mengikuti les piano yang katanya dapat mengasah otak dan menyeimbangkan otak kanan dan kirinya, serta meminimalkan resiko mengidap demensia di masa tua nanti.
Perjaka lapuk itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Ia mengeluarkan seuntai kalung dari lehernya. Jemarinya menimbang-nimbang mainan kalung tersebut yang berupa koin lawas dari zaman perang dunia pertama.
Angannya melayang pada gadis tanpa nama pemilik koin tersebut yang ia temui di Siprus tujuh tahun yang lalu, dan telah ia cari-cari ke berbagai belahan negara.
Mulutnya menyunggingkan senyuman miris. Di tengah-tengah pikirannya yang seperti benang kusut memikirkan masalah adik-adiknya, ia masih sempat-sempatnya mengenang kenangan lama.
Where do you hide, woman? I miss you in a heartbeat.
***
Bunyi detak stiletto menggema dalam tempo cepat. Pria yang memanggilnya kakak itu, tergesa-gesa mengiringinya yang bergegas menuju ruangan kantornya. Meski tanpa dipersilakan, ia tetap merengsek masuk setelah sang sekretaris gagal menjegal langkahnya.
“Mau apa lagi kau?!” bentaknya nyaring.
Ia menghempaskan setumpuk dokumen yang ia bawa di tangannya ke atas meja dengan kasar. Mukanya merah padam menahan marah. Giginya bertaut geram. Ia sama sekali tidak mengharapkan orang-orang ini mengusik hidupnya lagi setelah puluhan tahun ia ditinggalkan.
“Kak, jangan seperti ini,” pinta pria itu lirih dengan sorot mata memohon.
“Aku bukan kakakmu dan aku tak pernah punya saudara yang lahir dari perempuan hina seperti ibumu!” balasnya mendesis. Ia menyandarkan pinggulnya ke pinggiran meja menahan tungkainya yang gemetaran. Amarahnya meledak mendengar pria tua tadi memanggilnya dengan nama kecil, yang hanya membuka luka lama di batinnya.
“Tolong maafkan Papa, Kak. Dia sangat menyesal. Temuilah sebentar saja,” rayunya mengabaikan penghinaan untuk ibunya. Melihat sang ayah menangis merindukan anak perempuannya, membuat hatinya ikut bergerimis.
“Gampang sekali dia meminta maaf?” Ia menyunggingkan senyuman sinis. “Katakan padanya. Bagiku, Hendrick Harald sudah lama mati!”
Pria itu menghela napas dan berucap pelan berusaha melunakkan hati kakaknya. “Kak, biar bagaimanapun kamu mengingkarinya, darahnya tetap mengalir di tubuhmu.”
“Dan menurutmu, apa yang harus ku lakukan untuk memutus hubungan darah tersebut? Bukan aku yang meninggalkan b******n itu, tapi dia yang meninggalkanku!”
Ia bersidekap. “Kenapa baru sekarang dia datang meminta maaf? Apa dia sedang sakit keras? Perlu donor organ, hingga ia harus merendahkan diri meminta maaf pada anak yang ditelantarkan puluhan tahun lamanya? Bukankah selama ini kalian hidup bahagia di atas kesakitan ibuku?”
“Bukan begitu. Papa hanya mau minta maaf. Beliau merasa sangat bersalah,” sanggah pria itu.
“Hah! Satu hal yang harus kau tahu, Kai, meski dia bersujud sekalipun, aku tak akan pernah memberinya kata maaf. Sampaikan padanya seperti itu!”
“Jangan terlalu sombong, Kak!” Kai merasakan sesak di dadanya. Kesalahan itu bukanlah miliknya. Ia merasa tak punya kewajiban merendahkan diri memohon seperti ini karena apa yang menjebak mereka berdua adalah perbuatan orang tuanya di masa lalu. Namun, permintaan sang ayah untuk ikut membantu meluluhkan hati kakaknya, tak mampu ia tolak.
“Sudahlah!” Wanita itu menautkan geraham. Jari telunjuknya terangkat lurus ke arah Kai. “Aku merasa tidak perlu mendengar ocehan basa-basi kalian lagi. Sudah cukup aku menderita, kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua, gara-gara jalang yang kau panggil ibu!”
Kai mengangkat kepala dan menggeram. Urat-urat lehernya bertonjolan. Ia menyeret langkahnya maju. “Kakak boleh menghina saya, tetapi tidak dengan ibu saya!”
Ia mengangkat alis. “Oh, ya? Tanpa perlu ku hina pun, ibumu sudah terlalu hina, boy! She's a b***h! Perempuan apa namanya kalau bukan jalang, yang berselingkuh dengan pria beristri dan menghancurkan rumah tangganya. Sehingga sang pria tega menceraikan isteri sahnya dan membuang anak perempuannya sendiri, lalu melahirkan anak haram di luar nikah?”
“Cukup, Kak! Saya bukan anak haram!” bentaknya membalas.
Wanita itu tidak terpengaruh. “Kau mungkin bukan anak haram. Tetapi, bagaimana dengan kakak perempuanmu? Bukankah dia lahir dua bulan setelah Hendrick menikahi ibumu, secara S-I-R-I? Apa kau tak pernah penasaran?”
Kai terhenyak. Ia mengerutkan kening mendengar fakta yang baru ia dengar.
“Kau masih menyebut ibumu terhormat? Apa kau tidak memikirkan, bagaimana nasib kakak perempuanmu? Bahkan ayahmu tak bisa menjadi wali nikahnya. Ck! Kasihan sekali nasibnya.” Sindirnya sinis. “Ah, I know. Kakakmu mungkin tak akan pernah menikah, bukan? Once b***h stay b***h, its in your blood!”
Pria itu tak mampu menjawab. Matanya memerah masih dengan amarah menyala di sana. Ia tertohok sampai ke ulu hati. Meski amat marah atas penghinaan wanita ini, tetap saja yang diucapkannya adalah fakta yang amat nyata.
Ibunya adalah wanita jahat yang hadir dalam pernikahan sang mantan pacar yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, biar bagaimanapun, wanita yang hina itu tetaplah ibunya, yang berjuang sembilan bulan membawanya dalam perut dan melahirkannya dengan bertaruh nyawa.
“Kalian tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku, dibuang, dicampakkan tanpa belas kasihan.” Ia berucap lirih dan berhenti sejenak mengambil napas. Dadanya dihantam sesak yang amat menyiksa. “Sampaikan pada ayahmu, bahwa aku tidak akan pernah memaafkannya sebelum dia bisa mengembalikan ibuku.”
Kai mengangkat kepala dan menggeleng. “Kak, itu tidak mungkin.”
Wanita itu tertawa miring dan mengibaskan tangannya. “Pulanglah, Kai. Percuma kau datang kesini. Bahkan menyebut namamu saja, rasanya perutku ingin muntah! Jangan pernah panggil namaku Valiona Harald jika suatu hari aku mau memaafkan kalian sebelum ibuku kembali! Never in a million years!”
Kai menghela napas. Ia telah kalah dan harus melambaikan bendera putih tanda menyerah. Mungkin, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mencoba mencairkan hati yang terlanjur membatu akibat perbuatan ayahnya.
Ia menyeret langkahnya mundur dan menoleh kebelakang sekali lagi. Matanya melihat sang kakak menatap kepergiannya dengan raut geram. Mata wanita itu nampak berkaca-kaca. Namun, meski bagaimana pun dia menghina dan tidak mengakuinya sebagai adik, meski hanya adik tiri, tetap saja ia tak bisa balas membenci.
Ikatan darah memang tak pernah bohong, bukan?
***
Sepeninggal Kai, Liona merosot ke lantai. Ia memeluk lututnya sendiri. Bahunya naik turun menahan isak yang tak mampu ia tahan. Sesak di dadanya semakin menyakitkan.
Setelah sekian lama ia ditinggal pergi oleh sang ayah yang memilih meninggalkannya dan ibunya demi perempuan lain, kenapa baru sekarang pria itu datang meminta maaf dan berkata menyesal? Apakah belum cukup luka yang ia torehkan?
Luka di rongga jiwanya tak pernah sembuh, melainkan menyisakan lubang yang semakin menganga. Entah dengan apa ia harus menjahit luka itu jika sang penggoresnya kembali dengan kata maaf yang dulu pernah ia tunggu-tunggu namun tak pernah datang puluhan tahun lamanya.
Lio terpaksa menerima, dirinya harus tumbuh dan dibesarkan oleh Frederick dan isterinya sejak umur enam tahun tanpa sekalipun sang ayah menanyakan keberadaannya. Keluarga pamannya lah yang ia anggap keluarga sesungguhnya.
Bayangkan, bagaimana terlukanya ia ketika sang tante mengajaknya berbelanja di akhir pekan, dan di kejauhan ia melihat sang ayah menggendong anak lain sambil bergandengan tangan dengan isteri barunya. Mereka tertawa layaknya keluarga paling bahagia, sedangkan dirinya? Dianggap tak pernah ada.
Hatinya sudah terlanjur babak belur hingga lama-lama membeku. Dengan keangkuhan ia memeluk luka. Membentengi diri dari kepahitan. Meski nyawanya berada di ujung tenggorokan sekalipun, kata maaf itu adalah hal terakhir yang akan ia berikan.
Lio mengeluarkan dompet dari dalam tasnya dan mengambil selembar foto usang dimana ia tengah berada dalam pelukan sang ibu dengan Hendrick muda berada di sampingnya.
Sosok keluarga yang begitu sempurna. Tersenyum bahagia di depan kamera. Setidaknya, itulah yang ia percayai dulu, sampai sang ayah mentalak ibunya, tepat di depan matanya, meski wanita itu bersujud, menghiba untuk tidak ditinggalkan.
Ia menghapus sisa buliran bening yang mengalir di sudut mata dan berniat menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Ah, masa lalu. Bisakah kau berlalu tanpa menyisakan pilu?