Marni mencoba menjelaskan pada Pamela jika keputusan menikah itu ada di tangan Aleyah. Dia tidak bisa memaksa putrinya untuk menikah dengan pria yang tidak dia kenal. Selama ini Aleyah terkenal sebagai gadis pendiam, usianya memang tak lagi muda. Bahkan Marni juga susah mewanti karena tak kunjung menikah. Tapi, Marni juga berpikir luas keadaannya yang membuat putrinya melajang sampai sekarang. Dia hanya menginginkan putrinya hidup bahagia dengan pria yang dia cintai. Dia tidak memiliki syarat apapun untuk menjadi menantunya.
Pamela melirik Parni yang diam saja di samping Marni. "Lalu … apa kita bisa bertemu kembali dengan Aleyah?"
"Untuk saat ini mungkin belum, Ibu. Aleyah pulang kerja jam enam sore, dan ini masih jam tiga sore."
Mengingat kata jam, buru-buru Marco mengingat janjinya dengan Tamara. Jika dia terlambat menjemputnya sudah dipastikan Tamara akan marah dengannya karena hal ini. Walaupun Yudha mengatakan jika ada rapat penting yang tidak bisa ditinggal, bukan berarti tidak bisa digantikan meskipun hanya untuk satu jam ke depan.
Marco mencoba membujuk Pamela, mengajak wanita tua itu untuk pulang. Mereka bisa datang kesini kembali esok hari, lagian masih ada banyak hari untuk bertemu dengan gadis itu. Marco harus menemui Tamara dan membelikan hadiah untuk istrinya, Marco tidak mungkin menemui Tamara dengan tangan kosong. Tapi sayangnya pamela malah ngotot dan meminta Marco untuk menunggu Aleyah datang. Dia tahu masih ada hari, tapi Pamela ingin semuanya selesai saat ini juga.
“Mami … aku ada janji dengan Tamara, dia bisa ngamuk kalau aku gak datang.” bisik Marco pelan, mencoba membuat Pamela mengerti. “Besok kita bisa kembali lagi.” ujarnya.
Pamela menggeleng, dia tidak ingin. Dia lebih baik menunggu Aleyah datang dan mendengar jawaban langsung dari gadis itu. Dia ingin tahu apakah dia mau menikah dengan Marco atau tidak. Hanya itu saja, tapi jika mengingat kondisi Aleyah tentu saja gadis itu akan mau menerima pinangan Marco.
Mengacak rambutnya, Marco pun bangkit dari duduknya hingga membuat semua orang langsung menatapnya heran, termasuk Pamela. "Saya pamit undur diri dulu, nanti saya kembali lagi jika gadis itu kembali. Selamat sore."
Setelah mengatakan hal itu, Marco pun langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Marni maupun Pamela yang hanya diam saja menatap punggung Marco yang pergi. Belum lagi, Dion yang ingin menahan Marco namun pria itu berjalan cepat menuju mobilnya dan pergi. Dion mendesah, dia ingat jika putranya ada janji dengan istrinya untuk pergi bersama.
Keluar dari pinggiran kota, Marco mampir lebih dulu ke sebuah toko bunga. Dia membeli bunga mawar kesukaan Tamara, ditambah Dion juga mampir di salah satu toko perhiasan untuk membeli satu gelang perak yang sangat cantik. Marco tersenyum kecil, membayangkan bagaimana wajah bahagia Tamara ketika melihat hadiah dari Marco. Sudah dipastikan jika perempuan itu akan tersenyum sepanjang hari.
Mengambil ponselnya, Marco meminta Tamara untuk mengirim lokasi dimana restoran itu berada. Sayangnya, wanita itu tidak bisa dihubungi dan membuat Marco cemas. Tidak biasanya wanita itu mematikan ponselnya, dan sulit dihubungi seperti saat ini.
Mampir di butik, Marco juga hanya melihat butik ini sudah tutup. Ini jam lima sore, dan yang jelas Marco terlambat satu jam. Pria itu mencoba untuk menghubungi Tamara kembali dan nyatanya tidak bisa, mencoba untuk mengirim pesan meskipun tidak berfaedah sama sekali karena memang nomor ponsel itu tidak bisa di hubungi.
Pada akhirnya, Marco pun menghubungi salah satu orang yang bekerja di butik Tamara. Lebih tepatnya orang yang dipercaya oleh Tamara tentang butik Tamara. Tapi yang ada orang itu tidak menerima panggilan Marco.
"Sial!! Kemana mereka semua!!" gumam Marco yang mulai kesal.
Pria itu kembali masuk ke mobil, namun, baru juga duduk, ponsel pria itu bergetar dan memberitahu jika Tamara tidak ada di butik sejak jam dua siang. Tamara pergi ke luar kota untuk pekerjaan yang mendadak. Dia lupa membawa powerbank hingga tidak bisa menghubungi Marco. Itu sebabnya sejak tadi Tamara sempat pusing menghubungi Marco. Dan wanita yang baru saja mengirim pesan pada Marco pun juga lupa karena banyak sekali pesanan baju masuk untuk bulan depan. Dan dia baru ingat, ketika Marco mencoba untuk menghubunginya.
Marco mendesah, akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali ke rumah sederhana tadi untuk menjemput ibu dan ayahnya. Marco tidak mungkin meninggalkan mereka berdua hanya karena janji temunya dengan Tamara batal. Dia juga berharap jika Tamara akan segera kembali dengan selamat malam ini juga
Membutuhkan waktu empat puluh lima menit, karena memang jaraknya yang jauh dan melawan arah. Akhirnya Marco pun sampai di rumah tadi, bersamaan dengan itu salah satu wanita masuk dengan menundukkan kepalanya pelan. Apa iya wanita itu yang akan menikah dengan Marco?
Marco menghampiri Dion yang masih duduk di depan rumah ini sambil menghela nafasnya berat. Di depannya ada segelas teh yang tinggal setengah.
"Belum selesai juga Pi?" tanya Marco heran.
"Mami kamu kalau punya mau, mana mungkin mau pergi kalau belum kelar. Papu udah laper banget lagi." Dion memelankan suaranya di akhir. Selain tidak sopan, Dion juga merasa sungkan kalau pemilik rumah sampai tahu dan mendengar ucapan Dion. Dikasih minum saja sudah bisa dikatakan bagus apalagi makanan.
Marco menggeleng cepat. Ini memang sudah saatnya masuk jam makan malam. Bahkan Marco di jam segini sudah makan buah atau makan apapun yang biasa ditemui di dalam kamar atau area dapur. Tapi kali ini tidak hanya Dion, Marco pun juga menahan rasa laparnya hanya karena Pamela.
Terlalu asyik duduk berdua di depan rumah dengan Dion. Bi Parmi datang meminta Dion dan juga Marco untuk masuk ke dalam. Mereka akan makan malam bersama di rumah ini dengan masakan ala rumahan. Begitu juga dengan Pamela yang ingin melancarkan aksinya dengan wanita tadi.
Mau tidak mau, Marco dan Dion pun langsung masuk ke dalam rumah ini. Tidak ada meja makan, hanya ada meja ruang tamu dengan banyak sekali hidangan untuk makan malam mereka. Masakan rumahan yang sama sekali belum pernah Marco makan sebelumnya.
"Ini makanan apa?" tanya Marco dengan wajah polosnya.
Pamela yang sungkan meminta Marco untuk duduk lebih dulu. Di depannya ada dua sayur, satu sayur bayam dan satunya lagi sayur kangkung. Ada tempe, tahu dah juga ayam. Bahkan ada juga bakwan jagung yang terlihat menggiurkan di lidah Pamela.
Tentu saja hal itu langsung mendapat Marco mengerutkan keningnya. Dia heran, kenapa bisa mereka makan makanan seperti ini? Sedangkan Marco sejak kecil tidak pernah makan makanan seperti ini. Ingin rasanya Marco menolak dan membeli masakan lainnya, tapi yang ada Pamela langsung mendelik dan meminta Marco untuk duduk tenang dan menikmati hidangan yang mereka berikan. Ini hanya sementara, jika keterusan semoga saja Marco suka.
"Saya minta maaf Nak Marco, hanya ada ini di rumah." ucap Marni yang tidak enak hati dengan ucapan Marco
Marco diam menatap sejenak. Hingga tatapannya mengarahkan pada wanita yang tadi sempat menganggukkan kepala padanya dan tersenyum tipis. Sekarang Marco melihat wanita itu membawa satu teko minuman dingin dan juga beberapa gelas diatas nampan.
"Gak masalah. saya yang minta maaf atas sikap saya yang tidak sopan. Saya tidak pernah makan seperti ini, saya minta maaf."
Oleh sebab itu, Pamela meminta Marco untuk mencicipi lebih dulu. Mereka pun akhirnya makan dalam diam, lebih tepatnya keluarga Marco yang diam karena tidak tahu adat istiadat rumah Marni bagaimana ketika mereka berada di meja makan seperti ini.
Sampai akhirnya Parni lebih dulu memulai pembicaraan ketika merasa semua orang di meja ini sudah lengkap. Tidak peduli jika mereka sedang menikmati makan, karena Parni sendiri juga tahu kalau keluarga Pamela masih berbicara sesekali ketika mereka makan.
"Aleyah … kamu kan udah ketemu sama Bu Pamela kemarin kan," Aleyah mengangguk mengiyakan. Dia memang sudah bertemu, tapi Aleyah tidak tahu tujuan ibu itu untuk apa bertemu dengan Aleyah. "Nah Bu Pamela kembali ingin bertemu, karena suatu hal." Aleyah tidak memotong pembicaraan Parmi, seolah dia juga penasaran kenapa ibu itu kembali. Sedangkan Aleyah berharap jika ibu itu tidak kembali untuk bertemu dengannya. Sambil mengunyah makanannya, Aleyah terus menatap Parmi seolah meminta budhenya itu untuk mengatakan tujuan ibu Pamela datang menemuinya kembali. "Mereka datang ke sini, pengen ngelamar kamu."
Tersedak!! Marni yang ada di dekat Aleyah langsung mengambilkan minum untuk wanita itu. Marco hanya melihat saja, lebih tepatnya mengamati wanita itu dan bagaimana reaksinya.
"Apa!!" katanya, ketika sudah merasa membaik dari sedaknya. "Budhe bilang apa?" kata Aleyah kembali dengan wajah bingungnya.
Sekali lagi, Parmi kembali menjelaskan jika Pamela datang ke rumah ini karena ingin mempersunting Aleyah untuk dijadikan menantu Pamela. Bahkan Parmi mengatakan jika ibu Pamela sudah jatuh hati dengan Aleyah ketika bertemu pertama kalinya di rumah Parmi. Mungkin ini sudah saatnya Aleyah menikah, usianya sudah sudah terbilang cukup. Tidak mungkin kan Aleyah akan menjadi perawan tua hanya karena mengurus ibunya terus menerus? Dia juga harus memikirkan kehidupannya, kebahagiaannya juga. Mengurus ibu itu memang kewajiban, bukan berarti Lemah harus membunuh kehidupan selanjutnya. Itu sebabnya kali ini Parmi berharap jika Aleyah tidak akan menolak kembali
"Setelah menikah, kamu bisa tinggal dengan Ibumu dan merawatnya. Marco akan mengunjungimu kemari." tambah Pamela.
Aleyah semakin goyah, dia menatap Marco yang diam saja. Lebih tepatnya, pria itu juga sedang menatap Aleyah. Dia menunduk, dia membutuhkan waktu untuk hal ini. Pernikahan bukanlah hal untuk dimainkan, karena Aleyah berpikir menikah sekali seumur hidup. Jatuh cinta sekali, dan sisanya untuk melanjutkan hidup. Dia tidak mengenal Marco sama sekali, bertemu pun hanya satu kali. Lalu bagaimana caranya Aleyah mengetahui sifat Marco seperti apa? Pria itu baik atau tidak Aleyah juga tidak tahu. Pria itu kasar atau tidak, Aleyah juga tidak tahu. Dia membutuhkan waktu untuk mendekatkan diri lebih dulu, setidaknya agar Aleyah yakin jika Marco bukanlah seperti pria pada umumnya
Disini, Pamela menggeleng. Dia ingin melihat Marco dan juga Aleyah menikah cepat. Dia bisa menjamin jika Marco adalah pria yang baik. Dia tidak memiliki sifat kasar atau sampai mengangkat tangannya. Marco memiliki hati yang lembut dan tegas. Dia juga tidak keras kepala seperti Pamela, dia lebih ke penurut karena tidak ingin menyakiti orang lain. Bagaimana bisa Aleyah berpikir jika Marco adalah pria yang jahat?
"Bagaimana jika besok kalian menikah? Saya akan menyiapkan semuanya, dan kalian tidak perlu khawatir." kata Pamela hingga membuat semua orang melotot menatapnya.
***
"Mami jangan konyol!!" kata Marco. "Pernikahan ini tidak akan terjadi." ujarnya.
Aleyah tidak jelek, badannya juga tidak gemuk. Lebih bisa dikatakan sedang, bahkan jika dipeluk pun terasa pas. Tapi masalahnya Marco tidak nyaman dengan semua ini. Dia tidak nyaman jika harus menikah kembali dengan wanita yang tidak dia kenal. Dia akan tetap mengadopsi anak dari lantai asuhan dibanding harus menikah dengan Aleyah.
Mendengar penolakan itu, Pamela pun tersenyum kecil. Mengambil pisau buah yang ada di sampingnya dan langsung mengarahkan ke pergelangan tangannya. "Sudah siap melihat Mami mati saat ini juga? Kalau iya, kamu bisa menolak pernikahan ini, Marco."
"Mami buang pisaunya!!" perintah Marco.
Jangan tanya Dion, pria itu hanya diam saja sambil melihat pelipisnya. Dia sudah bosan dengan drama Pamela yang hanya karena cucu. Entah dapat sogokan dari mana sehingga membuat Pamela berbuat senekat itu.
Tidak ada pilihan!! Pikir Marco. Akhirnya dia pun mengiyakan ucapan Pamela, jika dia akan menikah dengan Aleyah sesuai dengan apa yang Pamela inginkan. Marco ingin Pamela dan juga Dion untuk tutup mulut, dia tidak ingin Tamara tahu soal ini. Soal pernikahan Marco yang kedua kalinya hanya karena bayi. Jika bukan karena ancaman Pamela, jangan harap Marco kau menikah kembali dengan wanita lain.
Pamela berjanji akan menjaga rahasia ini sedemikian rupa. Dia tidak akan memberitahu Tamara tentang ide gilanya, bahkan Pamela juga yakin jika Tamara tidak akan tahu apapun tentang pernikahan Marco dan juga Aleyah. Wanita itu langsung memberitahu Parmi jika pernikahan akan dilangsungkan di kantor sipil saja. Masalah berkas semuanya bisa diatur, yang penting mereka sah dulu saja membuat Pamela tenang. Tidak masalah tidak ada pemberkatan gereja, karena memang akan jauh lebih sulit untuk mereka menikah, apalagi Marco. Dimana pernikahan gereja itu bisa sah jika salah satunya sudah meninggal dunia. Meskipun mereka bercerai, tetap saja di mata Tuhan mereka masih suami istri.
Marco mendesah, dia memutuskan untuk masuk ke sebuah ruangan di bawah tangga. Ruangan itu sangat privasi, bahkan Dion saja tidak tahu itu ruangan apa. Isinya hanya ada banyak sekali minuman alkohol dari berbagai negara dengan kasar alkohol yang berbeda. Ada anggur merah yang paling enak, yang pernah Marco belum. Anggur merah ini tidak bisa di teguk hanya dalam sekali tegukan, tapi cara minimnya yang perlahan sambil menikmati sensasi aneh sedikit demi sedikit yang naik dan langsung menghancurkan kesadaran Marco.
Baru kali ini Marco merasa jika dirinya tidak berdaya di depan ibunya. Bagaimana bisa dia akan mengkhianati wanita yang dia cintai selama ini, hanya karena bayi yang diinginkan oleh Pamela.
Sekali lagi, meneguk minumannya, Marco pun melepas bajunya yang membalut tubuhnya yang terasa panas. Jika hal itu terjadi, hidup Marco sudah benar-benar hancur karena ibunya.
To be continued