Hari yang tak diinginkan Marco pun terjadi. Dia dan juga Aleyah sudah sah menjadi suami istri di catatan sipil. Pria itu kembali ke rumah Aleyah dengan Pamela dan juga Dion. Tamara baru saja menelponnya dan memberitahu Marco jika dia tidak bisa pulang lebih cepat untuk bertemu suaminya. Pekerjaan ini sangat mendadak dan Tamara tidak ingin mengecewakan klien, dia juga meminta salah satu orang kepercayaan Tamara untuk menyusulnya, membantu Tamara untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Tamara negara tidak tahu kapan dia bisa pulang dan memeluk suaminya untuk melepaskan rasa rindu yang dia rasakan. Ini masih satu hari, bagaimana jika satu minggu atau bahkan satu bulan? Sudah dipastikan Tamara akan berhenti menjadi desainer dan juga menutup butik nya demi menghabiskan waktu bersama dengan Marco.
Duduk di kursi yang tidak begitu empuk, Marco pun menatap segelas teh hangat yang baru saja Aleyah berikan. Marco menatap wanita itu yang sudah membersihkan diri. Katanya, dia cukup gerah dengan make up di wajahnya.
"Mas gak mandi?" pertanyaan itu keluar dari bibir Aleyah dengan spontan. Meskipun dia menunduk malu karena baru pertama kalinya dia berbicara dengan Marco.
"Gak bawa baju ganti," jawab Marco sesekali menilai penampilan Aleyah yang terbilang biasa saja. "Mending kamu siapkan semua baju kamu, kebutuhan kamu. Saya mau ngajak kamu bulan madu." ucapnya secara frontal.
Aleyah menelan salivanya dengan begitu kasar. Pasalnya mereka baju saja menikah pagi tadi jam delapan pagi. Dan siang ini masih ada banyak tamu yang datang berkunjung untuk memberikan selamat, termasuk teman kerja Aleyah yang langsung tertawa malu mendengar ucapan Marco. Setidaknya tahan sedikit lagi, atau mungkin besok atau lusa ketika Aleyah sudah siap untuk di sentuh.
Dia ini tidak pernah dekat dengan pria manapun, sedangkan ketika dia menikah dan mendengar ucapan itu entah kenapa jantung Aleyah seperti mau lepas dari tempatnya.
"Beh … Leyah, bilangin bentar lagi nunggu malam. Ini masih siang, tamu masih banyak. Ya kali mau honeymoon sekarang." kekeh Bunga salah satu telah kerja Aleyah di salon.
Aleyah tersipu malu, dia bahkan sampai memalingkan wajahnya ke arah samping untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin dia dengarkan sama sekali. Lagian, Aleyah masih ingin bersama dengan temannya bukan malah di ajak berkemas untuk honeymoon.
Masalahnya Marco ingin mengajak Aleyah pergi keluar kota untuk honeymoon mereka. Kota ini cukup jauh, dan memakan waktu enam jam. Pikir Marco, jika mereka berangkat sekarang sudah dipastikan sampai di sana akan malam dan tinggal istirahat saja karena lelah. Mereka tidak perlu melakukan aktivitas lainnya selain tidur. Jika ingin melakukan hubungan suami istri, Marco akan menunggu sampai Aleyah siap untuk di sentuh. Marco tidak memaksa semua keputusan ada ditangan Aleyah sendiri.
Bingung dengan hal itu, Pamela pun turun tangan. Dia meminta menuruti apapun yang Marco inginkan. Bagaimanapun Pamela itu sudah menjadi istri sah Marco, lagian mereka pergi juga cuma satu minggu lamanya untuk mengenal satu sama lain dan juga menghabiskan waktu bersama. Menurut Pamela tidak masalah jika Aleyah pergi bersama dengan Marco saat ini untuk honeymoon. Dan masalah para tamu dan juga beberapa teman Aleyah mungkin yang datang untuk berkunjung. Pamela rasa sia bisa mengatasinya dengan Marni, Aleyah tidak perlu khawatir akan hal itu. Setelah satu minggu Aleyah bisa kembali ke aktivitas dia sebelumnya.
"Tapi Bu–"
"Panggil saya Mami," potong Pamela cepat. "Ayo cepat bereskan semua barangmu, Marco udah nunggu loh." ujarnya kembali.
Main tidak mau Aleyah pun mengangguk malu. Dia masuk ke dalam kamarnya dan membereskan barang apa saja yang akan dia bawa. Hanya handuk, baju ganti dan juga beberapa alat kecantikan yang dia punya dan wajib dipakai setiap hari. Masuk dalam satu tas kecil, Aleyah pun keluar dengan apakah memerah. Belum lagi sorakan dari banyak orang yang membuat Aleyah kembali gugup. Setelah ini, mereka satu mobil duduk berdua dan tidak tahu harus mengatakan apa. Belum lagi Aleyah adalah tipe wanita yang jarang sekali berbicara jika tidak ada yang terlalu penting.
"Sudah siap?" tanya Marco memastikan.
Aleyah mengangguk kecil, hingga Marco pun bangkit dari duduknya dan berpamitan pada Pamela dan juga Marni. Berjalan menuju ke arah mobil, Aleyah bisa melihat Marco yang langsung mengenakan kacamata hitamnya, yang dimana menambah ketampanan Marco najik berlevel-level. Apakah Aleyah harus bersyukur memiliki suami tampan seperti Marco?
Mencoba untuk duduk tenang, Aleyah lebih memilih memalingkan wajahnya melihat ke arah luar jendela. Para tetangga Aleyah semuanya menatap mobil mewah ini melewati depan rumah mereka sambil menunjuk. Entah apa yang mereka bahas tapi Aleyah yakin, jika pembahasan mereka tidak jauh dari pernikahan Aleyah dan juga Marco yang mendadak.
Untuk mengusik keheningan mereka, Marco lebih memilih menyalakan sebuah lagu untuk menghibur mereka. Selain tidak saling kenal, Marco juga tidak tahu harus bertanya apa pada Aleyah. Dia juga merasa canggung dengan situasi ini. Belum lagi Aleyah yang lebih memilih melihat luar jendela mobil ketimbang berbicara dengan Marco. Mungkin, wanita itu juga tidak tahu apa yang harus mereka bahas.
Marco berdehem mencoba untuk mencairkan suasana. Jika begini terus proses pembuatan bayi akan tertunda. Akhirnya dia pun menoleh, menatap Aleyah yang ternyata juga melihatnya.
Wanita itu memperbaiki posisi duduknya, "Ada apa Mas?" tanya Aleyah yang terlihat khawatir dengan deh emang Marco.
Pria itu menggeleng. "Kita akan menempuh perjalanan enam jam. Di mobil ini tidak ada apapun, kecuali air minum. Jika kamu membutuhkan sesuatu tolong beritahu saya."
Wanita itu hanya mengangguk kecil, dia tidak tahu membutuhkan apa. Tapi masalahnya kali ini dia sangat lapar, hanya saja Aleya sungkan jika harus mengatakan hal itu pada Marco. Dan wanita itu memutuskan untuk kembali diam, enam jam bukanlah waktu yang sebentar. Yang dimana Aleyah bisa tertidur pulas di dalam mobil nyaman ini.
***
Menepikan mobilnya, Marco melihat Aleyah yang tertidur lelap di sampingnya. Jika itu Tamara sudah dipastikan Marco akan menumbuk wanita itu, mengecup nya hingga bangun. Sayangnya … dia bukan Tamara.
Tanpa mematikan mobilnya, Marco pun memilih untuk turun dari mobilnya. Dia membeli banyak sekali cemilan, roti dan juga minuman lainnya, termasuk minuman soda dan juga bir kalengan. Bahkan di dalam mobil ini Marco sudah menyiapkan satu botol anggur semalam yang dia minum. Dan malam ini dia ingin minum anggur itu kembali bersama dengan Aleyah. Setidaknya, jika hal itu terjadi salah satu diantara mereka tidak sadar, dan Marco tidak perlu merasa bersalah hanya karena pernikahan palsu ini.
Setelah membeli banyak sekali cemilan, pria itu kembali ke mobil dan melihat Aleyah sudah terbangun dan mengucek kedua matanya. Marco memberikan satu kantong plastik putih itu pada Aleyah.
"Saya membelikan itu, karena kita jauh dari resto atau tempat makan lainnya." ucap Marco tanpa menatap Aleyah sedikitpun. "Setidaknya cemilan ini bisa mengganjal perut mu." ujar Marco kembali penuh perhatian.
Dan kali ini Aleyah berpikir jika apa yang dikatakan Pamela itu benar. Dia adalah pria baik dan penuh perhatian. Mengambil satu roti dan membukanya, Aleyah tak lupa untuk memberikan pada Marco lebih dulu dan barulah dia mengambil satu potong kembali untuk dia makan. Aleyah juga membuka minuman dingin untuk dirinya.
"Mas mau minum apa?" tanya Aleyah bingung, karena melihat banyaknya minuman di kantong plastik satunya.
Marco menatap sejenak, "Bir. Tolong bukakan."
Aleyah mengangguk, dia mengambil satu kaleng bir dan dia berikan pada Marco. Sejujurnya, Marco sedikit risih mendengar kata Mas yang terus keluar dari bibir Aleyah. Tapi dia cukup sadar diri, ketika orang pinggiran menikah maka panggilannya akan berbeda. Sedangkan selama ini Tamara saja masih memanggil dirinya dengan sebutan sayang. Sedangkan dengan Aleyah … kenapa rasanya berbeda.
Mas … terdengar aneh. Tapi mungkin tidak terbiasa makanya seperti itu.
Bingung dengan roti yang harus dimakan, dan juga minuman kaleng yang ada di sampingnya terus bergoyang. Hingga membagi isi minuman itu sedikit demi sedikit tumpah, akhirnya Aleyah yang menyadari hal itu langsung memilih menyuapi Marco dengan roti yang dia pegang. Wanita itu meminta Marco untuk memegang minumannya agar tidak terus tumpah. Meskipun ada tisu, bukan berarti cairan itu tidak lengket. Dia hanya takut jika cairan itu mengenai baju mahal Marco dan membekas.
"Masih ada dua jam lagi untuk sampai. Kalau mau tidur kembali, silahkan."
Aleyah menggeleng, "Nggak Mas, tadi kan aku sudah tidur."
"Kalau begitu terserah kamu." ucap Marco dan membuat Aleyah mengangguk kecil.
Kali ini Aleyah ingin menikmati perjalanan ini dengan mata terbuka. Perutnya sudah tidak lapar kembali, berkat roti dan juga cemilan yang Marco belikan. Dia juga meminta Marco untuk makan lebih banyak lagi, mengingat jika tempat makan sangat jauh dari tempat mereka berada.
Sesekali Marco menatap Aleyah yang diam saja di sampingnya. Wanita itu tak lagi memakan roti yang tinggal setengah, sedangkan Marco lebih memilih menikmati sekaleng bir untuk menemani dirinya menyetir hingga tujuan. Dalam hati dia berharap Aleyah kembali tidur, agar dia bisa menghubungi Tamara. Sejak tadi, Marco mengabaikan pesan masuk dari wanita yang dia cintai selama ini.
"Kamu bisa tidur kalau ngantuk. Jangan memaksa diri untuk terbangun." ucap Marco akhirnya.
"Iya nanti aja Mas kalau ngantuk lagi, aku pasti tidur lagi." jawab Aleyah dan membuat Marco menghela nafasnya berat.
***
Akhirnya, mereka pun sampai di salah satu resort yang menurut Aleyah sangat indah dan bagus. Ini kali pertama untuk Aleyah yang pergi jauh dari rumah. Ada banyak pohon kamboja, dari warna putih hingga warna merah muda. Terlihat sangat cantik dengan dahan yang memiliki banyak daun. Tapi ada juga tidak memiliki daun tapi memiliki bunga yang banyak.
Aleyah tersenyum, dia mengeluarkan tas kecil yang dia bawa dan mencoba membawanya. Namun, Aleyah terkejut ketika melihat satu koper kecil berwarna hitam dari bagasi mobil ini.
"Loh Mas tadi katanya gak bawa baju ganti, kok sekarang ada koper." kata Aleyah bingung, dengan wajah polosnya
Marco hanya tersenyum, "Saya cuma pengen cepat pergi. Selain saya tidak nyaman dengan banyak orang, saya juga sempat merasa pusing melihat orang keluar masuk rumah kamu."
Aleyah meminta maaf atas hal itu, dia tidak tahu jika Marci merasa tidak nyaman. Jika dia tahu akan hal itu, mungkin Aleyah akan meminta ibunya untuk mengurangi tamu yang datang. Tapi ini bukan kota besar, yang dimana orang-orang akan tidak peduli jika ada orang datang atau tidak. Atau mungkin mereka akan datang dengan membawa undangan untuk menghadiri acara. Sedangkan di pinggiran kota seperti tempat tinggal Aleyah tentu saja berbeda, dimana jika salah satu rumah di antara mereka ada acara. Pasti banyak tetangga datang untuk membantu mereka.
"Tidak perlu minta maaf. Angkat barangmu, ayo kita masuk ke kamar."
Aleyah mengangguk malu sambil menunduk. Tentu saja hal itu membuat Marco gemas sendiri. Sudah berapa kali dia melihat warna merah di pipi Aleyah. Hanya karena hal kecil saja bisa membuat wanita itu merasa dicintai.
Menaruh barangnya di depan kamar, ponsel Marco malah berdering menandakan jika ada panggilan masuk. Marco langsung menatap ponselnya dengan cepat, melihat id call sayangku dengan emotikon love merah muda disana. Marco tersenyum, menyerahkan kunci kamar pada Aleyah, meminta wanita itu untuk masuk lebih dulu.
"Saya angkat telepon dulu, sepertinya ini penting." Aleyah mengangguk kecil, dia akan membawa barang dirinya dan juga Marco ke dalam. Buru-buru Marco menekan tombol hijau pada layar ponselnya, dan menempelkan benda pipih persegi panjang itu di telinga kiri nya. "Hallo sayang … "
Mendengar kata sayang, tentu saja Aleyah langsung menoleh. Melihat Marco yang berbicara di dekat pilar besar tempat ini. Bersamaan dengan itu, Aleyah melihat satu orang melintas di depannya tengah menelpon juga.
"Iya sayang, habis gini aku langsung pulang." katanya.
Ternyata Aleyah salah dengar, bukan Marco yang menelpon dan memanggil sayang. Ternyata orang yang baru saja lewat yang memanggil sayang. Mungkin saja kekasihnya atau mungkin istrinya. Buru-buru Aleyah masuk ke dalam kamar ini dan menyimpan tas miliknya dan juga taa Marco. Disini, Aleyah bisa melihat kasur putih dengan taburan bunga. Handuk yang berbentuk dua angsa, ada juga sandal putih yang mungkin biasa orang gunakan di tempat ini. Jubah mandi dan juga peralatan mandi lainnya juga tersedia. Pengharum ruangan yang membuat Aleyah langsung tenang.
Duduk di pinggiran jalan, Aleyah malah lebih memilih memilin tangannya sendiri. Dia mendadak gugup, membayangkan banyak sekali adegan panas di pikirannya untuk nanti malam. Sedangkan Marco sudah bilang jika dia akan menyentuh Aleyah ketika wanita itu mengizinkannya. Menarik nafasnya, Aleyah pun melepas jaket yang membungkus badannya. Dia memilih pindah tempat duduk di sofa ruangan, sambil menunggu Marco yang tak kunjung masuk juga. Sejujurnya, Aleyah suka hanya saja dia harus mengambil beberapa cemilan dan juga minum di mobil Marco. Yang dimana Aleyah hanya bisa membuka pintu tanpa bisa menekan tombol kunci di remot mobil.
Detik berikutnya Marco pun masuk, sambil menenteng dua kantong plastik di tangannya. "Kamu lupa membawa ini." kata Marco, menaruh dua kantong plastik di depan Aleyah.
Aleyah hanya mengangguk, sambil melihat Marco yang membuka bajunya. Memalingkan wajahnya adalah hal yang dilakukan oleh Aleyah, dia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Marco hanya bertelanjang d**a saja tidak bagian bawah. Aleyah tahu jika pria itu akan pergi mandi, tapi yang ada pikiran Aleyah saja yang mengarah ke arah yang negatif.
Memukul kepalanya pelan, Aleyah pun tertawa kecil. "Bodoh!!"
To be continued